Dugaan Pelanggaran HAM dan Penyalahgunaan Prosedur oleh Aparat dalam Penanganan Aksi “Peringatan Darurat” di Depan Gedung DPR
Oleh: Rizky Bangun Wibisono (Peneliti Nusantara Center for Social Research)
KEMPALAN – Aksi “Peringatan Darurat” yang digelar pada 22 Agustus di depan Gedung DPR RI, Jakarta, adalah manifestasi dari kemarahan rakyat terhadap berbagai manuver politik yang dilakukan oleh rezim, khususnya di Badan Legislatif DPR. Aksi ini merupakan respon langsung terhadap upaya DPR yang mencoba untuk tidak taat dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait RUU Pilkada, termasuk threshold dan batas usia calon kepala daerah. Isu ini mencuatkan hastag #KawalPutusanMK di media sosial, yang menjadi simbol perjuangan untuk memastikan bahwa keputusan hukum yang telah ditetapkan harus dihormati dan dilaksanakan.
Aksi ini melibatkan berbagai kelompok masyarakat, termasuk mahasiswa, public figure, dan seniman, yang bersama-sama menuntut keadilan dan transparansi dalam proses demokrasi. Mereka berkumpul di depan Gedung DPR untuk menyuarakan penolakan terhadap segala bentuk penyalahgunaan kekuasaan yang dapat merusak sistem demokrasi Indonesia.
Dugaan Pelanggaran Hukum & HAM dalam Penanganan Aksi
Namun, aksi damai ini diwarnai dengan tindakan represif dari aparat kepolisian yang menimbulkan dugaan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang serius. Penangkapan sewenang-wenang terhadap para demonstran menjadi sorotan utama. Hingga dini hari, tepatnya pukul 01.00 WIB, Tim Advokasi untuk Demokrasi (TAUD) mendata banyaknya massa aksi yang masih ditahan di berbagai lokasi.
Tidak hanya itu, upaya bantuan hukum yang hendak diberikan kepada para demonstran juga dihalangi oleh pihak kepolisian, seperti dilaporkan oleh TEMPO. Tindakan ini menimbulkan kekhawatiran yang mendalam karena hak atas bantuan hukum adalah hak fundamental yang harus dijamin bagi setiap individu yang berhadapan dengan hukum.
Dalam konferensi pers yang diadakan oleh Tim Advokasi untuk Demokrasi (TAUD) dari YLBHI, sejumlah dugaan pelanggaran HAM disampaikan dengan rinci. Salah satunya adalah brutalitas aparat terhadap massa aksi di lapangan, termasuk penghadangan massa aksi menuju lokasi demonstrasi di DPR, serta penggunaan kekerasan yang berlebihan. Gas air mata ditembakkan secara brutal dan tidak terukur, bukan hanya mengenai massa aksi tetapi juga warga sipil yang tidak terlibat. Ada juga laporan mengenai kekerasan fisik menggunakan benda tumpul serta pelibatan TNI dalam pengamanan aksi, yang dianggap tidak diperlukan dalam situasi sipil seperti ini.
Penyalahgunaan Prosedur Hukum dan Pelecehan Profesi Advokat
Selain dugaan pelanggaran HAM, ada juga indikasi penyalahgunaan prosedur hukum dalam penanganan demonstran. Aparat kepolisian diduga melakukan penggeledahan dan penyitaan barang pribadi, seperti handphone, tanpa izin pengadilan yang sah, dengan dalih untuk mengungkap apa yang terjadi. Tindakan ini jelas melanggar hukum, mengingat setiap tindakan penggeledahan dan penyitaan harus berdasarkan izin pengadilan sesuai prinsip hukum acara pidana.
Lebih jauh, proses pemeriksaan yang dilakukan oleh pihak kepolisian juga diduga tidak sesuai dengan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Mereka menggunakan Berita Acara (BA) interogasi dan BA klarifikasi yang tidak dikenal dalam KUHAP. Penangkapan dan pemeriksaan terhadap anak-anak juga tidak sesuai dengan sistem hukum peradilan yang berlaku, di mana anak-anak seharusnya mendapatkan perlakuan khusus.
Selain itu, pihak Polda Metro Jaya juga melakukan tindakan yang dianggap sebagai pelecehan terhadap marwah profesi advokat. Tim Advokasi untuk Demokrasi (TAUD) yang hendak memberikan bantuan hukum kepada para demonstran dihalangi, diteriaki, dan diberikan argumentasi yang tidak logis serta tidak memiliki dasar hukum. Keterangan dari Dirkrimum bahwa TAUD tidak memiliki kedudukan hukum karena tidak memiliki surat kuasa adalah tidak masuk akal. Pendampingan hukum adalah hak seluruh warga sipil, dan kekuatan hukum bukan hanya berdasarkan surat kuasa; kesepakatan lisan sudah cukup untuk memberikan bantuan hukum.
Lebih parah lagi, pihak kepolisian juga menunda memberikan akses bantuan hukum dengan alasan belum ada perintah atau arahan dari atasan. Ini tidak masuk akal, karena dalam proses peradilan pidana, advokat adalah bagian integral dari sistem hukum. Ketika proses hukum sudah berjalan, bantuan hukum adalah hak yang harus diberikan, tanpa perlu menunggu arahan dari atasan.
Penuntutan dan Aksi Kekerasan
Kekhawatiran semakin memuncak dengan adanya laporan bahwa beberapa mahasiswa yang ditangkap belum diketahui keberadaannya. Tindakan penangkapan ini, jika benar terjadi, merupakan pelanggaran serius terhadap hak asasi manusia. Keluarga dan masyarakat menuntut agar mahasiswa yang hilang segera dikembalikan.
Selain itu, aksi kekerasan yang dilakukan oleh aparat kepolisian ini bukanlah yang pertama kali terjadi. Hal serupa pernah terjadi pada aksi unjuk rasa besar-besaran tahun 2019, yang juga diwarnai dengan brutalitas aparat. Upaya menghalangi bantuan hukum bisa memberikan dampak yang tidak sederhana, mengingat bantuan hukum adalah hak yang dimiliki oleh siapapun yang sedang berhadapan dengan proses hukum pidana.
Arogansi dan Ancaman terhadap Kebebasan Sipil
Tidak hanya di lapangan, tindakan aparat kepolisian juga menyebar di media sosial. Beberapa akun pribadi milik anggota polisi diduga melakukan doxing terhadap demonstran, disertai dengan caption ancaman yang menunjukkan arogansi aparat kepolisian. Tindakan ini bukan hanya tidak perlu, tetapi juga memperburuk situasi dengan meningkatkan ketegangan dan ketakutan di kalangan masyarakat.
Pihak kepolisian yang seharusnya hadir untuk menjaga keamanan dan ketertiban justru melakukan tindakan yang bertentangan dengan prinsip demokrasi dan hak asasi manusia. Penangkapan sewenang-wenang, penggunaan kekerasan berlebihan, serta penghalangan upaya bantuan hukum menunjukkan bahwa polisi lebih berperan sebagai alat represif daripada pelindung rakyat.
Kesimpulan
Peristiwa ini mengingatkan kita bahwa pelanggaran HAM dan penyalahgunaan prosedur hukum bisa terjadi di mana saja, termasuk di Indonesia. Tindakan represif yang dilakukan oleh aparat kepolisian dalam menangani aksi “Peringatan Darurat” ini menunjukkan bahwa kebebasan berekspresi dan hak asasi manusia masih rentan dilanggar. Oleh karena itu, penting bagi kita sebagai masyarakat untuk terus mengawasi dan menuntut pertanggungjawaban dari pihak-pihak yang terlibat dalam tindakan ini.
Selain itu, kita menuntut pihak kepolisian yang bertugas pada hari tersebut untuk segera mengembalikan mahasiswa yang diculik dan memberikan kejelasan mengenai status mereka. Tindakan ini bukan hanya melanggar hukum, tetapi juga mencederai nilai-nilai kemanusiaan yang seharusnya dijunjung tinggi oleh aparat penegak hukum.(*)