Revisi UU Pilkada: Manipulasi Hukum Demi Dominasi Politik?

waktu baca 7 menit
Ahmad Baidowi, Wakil Baleg DPR RI, dalam Rapat Pleno Pengambilan keputusan atas UU Pilkada (21/08)/YouTube DPR RI

Oleh: Sultoni Fikri (Dosen Fakultas Hukum, Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya, dan peneliti di Nusantara Center for Social Research)

KEMPALAN – Revisi Undang-Undang (UU) Pilkada yang disepakati oleh Badan Legislasi (Baleg) DPR untuk dibawa ke rapat paripurna dan disahkan menjadi UU menandai langkah penting dalam dinamika politik dan hukum di Indonesia. Proses revisi ini, yang berlangsung dengan cepat dalam sehari, memunculkan sejumlah poin yang kontroversial, terutama terkait upaya menganulir putusan Mahkamah Konstitusi (MK) mengenai syarat ambang batas pencalonan serta syarat usia calon kepala daerah. Revisi ini tidak hanya berimplikasi pada struktur politik dan demokrasi lokal, tetapi juga menimbulkan berbagai reaksi dari berbagai fraksi di DPR, termasuk penolakan dari Fraksi PDI Perjuangan.

Penting untuk memahami bahwa revisi UU Pilkada ini melibatkan perdebatan mengenai prinsip-prinsip dasar dalam sistem pemilihan kepala daerah. Salah satu poin utama dalam revisi ini adalah terkait dengan ambang batas pencalonan kepala daerah atau threshold. Putusan MK sebelumnya telah melonggarkan syarat ambang batas pencalonan, yang membuka peluang bagi partai politik peserta pemilu untuk mencalonkan kepala daerah meskipun tanpa kursi DPRD. Namun, Baleg mengakalinya dengan merancang revisi yang hanya memberikan pelonggaran threshold tersebut kepada partai politik yang tidak memiliki kursi DPRD.

Sementara itu, threshold 20 persen kursi DPRD atau 25 persen suara sah dalam pemilu legislatif tetap diberlakukan bagi partai-partai politik yang memiliki kursi di parlemen. Selain itu, revisi ini juga mencakup perubahan terkait syarat usia calon kepala daerah. Dalam putusan MK sebelumnya, syarat usia calon kepala daerah dihitung saat pencalonan, namun Baleg memilih untuk tetap berpegang pada putusan Mahkamah Agung yang menghitung usia saat pelantikan. Perubahan ini, meskipun terlihat sebagai aspek teknis, memiliki implikasi yang signifikan terhadap siapa yang dapat mencalonkan diri sebagai kepala daerah. Dengan mengubah syarat usia ini, Baleg tampaknya berusaha untuk membuka ruang bagi calon-calon yang mungkin belum memenuhi syarat usia pada saat pencalonan, tetapi akan memenuhinya pada saat pelantikan.

Montesquieu dalam karyanya, The Spirit of the Laws, menekankan pentingnya pemisahan kekuasaan dan prinsip checks and balances sebagai dasar bagi sistem politik yang ideal. Menurut Montesquieu, kekuasaan harus didistribusikan dan diawasi untuk mencegah terjadinya tirani. Jika kita melihat revisi UU Pilkada dari sudut pandang ini, maka seharusnya setiap upaya legislasi memperkuat partisipasi publik dan menjaga agar proses politik tidak dikuasai oleh satu kelompok saja. Namun, revisi ini, yang dilakukan dengan cepat dan cenderung mengabaikan prinsip partisipasi publik, dapat dilihat sebagai indikasi bahwa prinsip-prinsip dasar demokrasi tersebut sedang terancam. Jika prinsip checks and balances diabaikan, maka potensi penyalahgunaan kekuasaan semakin besar. Proses revisi yang memperlihatkan kecenderungan untuk mengabaikan keputusan Mahkamah Konstitusi dan menguntungkan partai-partai besar seperti yang tergabung dalam Koalisi Indonesia Maju, dapat dilihat sebagai upaya untuk memperkuat kontrol politik tanpa memperhitungkan kepentingan umum.

Koalisi Indonesia Maju, yang merupakan aliansi politik besar yang mendukung pemerintahan Jokowi, memiliki kepentingan untuk mempertahankan kekuasaannya di berbagai tingkatan pemerintahan, termasuk di daerah. Revisi UU Pilkada, dengan mempertahankan threshold yang tinggi bagi partai-partai yang memiliki kursi DPRD, dapat dilihat sebagai upaya untuk memastikan bahwa hanya partai-partai besar yang berada di bawah payung koalisi ini yang dapat mencalonkan kepala daerah. Dengan demikian, revisi ini bukan hanya sekadar soal teknis pencalonan, tetapi juga strategi untuk menjaga agar Koalisi Indonesia Maju tetap dominan di tingkat lokal.

Lebih jauh lagi, indikasi dinasti politik yang dibangun oleh rezim Jokowi menambah dimensi baru dalam fenomena ini. Dinasti politik sering kali ditandai dengan upaya untuk memastikan bahwa kekuasaan politik tetap berada di tangan keluarga atau kelompok tertentu. Jika dikaitkan, revisi UU Pilkada dapat menjadi alat untuk memperkuat dinasti tersebut, dengan memastikan bahwa calon-calon kepala daerah yang memiliki keterkaitan dengan kekuasaan pusat mendapatkan dukungan penuh dari partai-partai besar di bawah Koalisi Indonesia Maju. Misalnya, dengan mempertahankan syarat usia yang dihitung saat pelantikan, bukan saat pencalonan, Baleg dapat membuka jalan bagi calon-calon dari dinasti politik untuk mencalonkan diri, meskipun mereka belum memenuhi syarat pada saat pencalonan.

Merujuk pada karya Machiavelli yakni The Prince, politik adalah tentang bagaimana kekuasaan diperoleh dan dipertahankan. Bagi Machiavelli, segala cara yang diperlukan untuk mencapai tujuan politik dapat dibenarkan, termasuk manipulasi hukum. Revisi UU Pilkada, jika dilihat dari sudut pandang ini, merupakan manifestasi nyata dari prinsip-prinsip Machiavellian. Dengan menetapkan ambang batas pencalonan yang tinggi dan mempertahankan syarat usia yang dihitung saat pelantikan, bukan saat pencalonan, revisi ini secara efektif membatasi akses bagi calon-calon dari partai kecil dan membuka peluang bagi calon-calon yang didukung oleh dinasti politik. Strategi ini menunjukkan bahwa hukum telah dimanfaatkan sebagai alat untuk mempertahankan kekuasaan dan memastikan keberlanjutan pengaruh politik Koalisi Indonesia Maju, yang sejalan dengan kepentingan rezim Jokowi.

Namun, konsekuensi dari strategi semacam ini adalah potensi melemahnya legitimasi politik dan meningkatnya ketidakpuasan publik. Ketika proses legislasi terlihat sebagai alat bagi kelompok tertentu untuk memperkuat kekuasaan mereka, kepercayaan publik terhadap sistem politik bisa menurun. Ini, pada akhirnya, dapat mengancam stabilitas politik dalam jangka panjang, karena masyarakat mungkin merasa bahwa proses politik tidak lagi mewakili kepentingan mereka, tetapi hanya melayani kepentingan elit yang berkuasa.

Dari sudut pandang Critical Legal Studies (CLS), misalnya, yang menekankan pada pemahaman bahwa hukum tidaklah netral atau objektif, melainkan merupakan alat yang merefleksikan dan memperkuat struktur kekuasaan yang ada. CLS muncul sebagai respons terhadap pandangan hukum tradisional yang menganggap hukum sebagai sistem yang netral dan rasional. CLS berpendapat bahwa hukum, pada kenyataannya, merupakan produk dari interaksi kekuatan sosial, politik, dan ekonomi, yang seringkali melayani kepentingan kelompok dominan. Terkait dengan revisi UU Pilkada, pendekatan CLS membantu kita melihat bagaimana hukum telah dimanipulasi oleh kekuatan politik yang berkuasa untuk mempertahankan dominasi mereka dan memperkuat struktur kekuasaan yang ada.

Revisi UU Pilkada yang dilakukan secara cepat dengan mengabaikan partisipasi publik yang bermakna menunjukkan bahwa hukum diperlakukan sebagai alat politik, bukan sebagai sarana untuk mencapai keadilan atau memajukan kepentingan umum. Dalam perspektif CLS, langkah ini mencerminkan bagaimana hukum digunakan untuk melanggengkan kepentingan kelompok elit politik, dalam hal ini Koalisi Indonesia Maju dan dinasti politik yang dibangun oleh rezim Jokowi. Dengan menetapkan ambang batas pencalonan yang tinggi dan mempertahankan syarat usia yang dihitung saat pelantikan, revisi ini menguntungkan kelompok-kelompok yang sudah memiliki kekuasaan, sambil membatasi partisipasi politik bagi kelompok yang lebih lemah atau minoritas.

CLS menekankan bahwa hukum sering digunakan untuk menyembunyikan ketidakadilan dan mempertahankan status quo. Dalam hal ini, revisi UU Pilkada dapat dilihat sebagai upaya untuk menutupi atau merasionalisasi upaya penguasaan politik oleh kelompok tertentu dengan menggunakan dalih hukum. Dengan mengklaim bahwa revisi ini dilakukan untuk “meningkatkan demokratisasi” atau “menjaga stabilitas politik,” para pembuat undang-undang dapat memanipulasi diskursus hukum untuk membenarkan tindakan mereka, meskipun tindakan tersebut sebenarnya bertentangan dengan prinsip-prinsip demokrasi dan keadilan. Dengan menggunakan bahasa hukum yang teknis dan kompleks, proses legislasi seperti revisi UU Pilkada ini dapat menjauhkan masyarakat dari pemahaman yang sebenarnya tentang bagaimana kekuasaan bekerja. Hal ini mengarah pada alienasi publik dari proses politik, di mana keputusan penting yang memengaruhi kehidupan banyak orang dibuat oleh segelintir elit yang berkuasa.

Revisi UU Pilkada yang dilakukan tanpa keterlibatan masyarakat memperkuat kesan bahwa hukum hanyalah instrumen yang digunakan oleh elit politik untuk menjaga kekuasaan mereka. Ketentuan-ketentuan yang diusulkan tampaknya dirancang untuk memperkuat posisi partai-partai besar dan menghalangi partai-partai kecil atau calon independen untuk bersaing secara adil dalam pemilihan kepala daerah. Ini tidak hanya mempertahankan dominasi partai-partai besar tetapi juga mengekalkan struktur kekuasaan yang ada, di mana dinasti politik dan kelompok elit tetap berada di puncak hierarki politik.

Kombinasi dari teori Montesquieu, Machiavelli, dan CLS menunjukkan bahwa revisi UU Pilkada ini merupakan langkah yang menunjukkan perubahan dari sistem politik yang ideal menjadi sistem yang lebih pragmatis dan berorientasi pada kekuasaan. Akibatnya, hukum tidak lagi berfungsi sebagai sarana untuk melindungi kebebasan dan menjaga keseimbangan kekuasaan, tetapi lebih sebagai alat untuk memperkuat dominasi politik.

Kekhawatiran tentang penguatan dinasti politik yang dibangun oleh rezim Jokowi semakin relevan, mengingat revisi ini dapat mempermudah akses bagi tokoh-tokoh yang memiliki keterkaitan dengan kekuasaan pusat untuk mencalonkan diri sebagai kepala daerah. Dengan menggunakan hukum sebagai alat politik, Koalisi Indonesia Maju dan rezim Jokowi menunjukkan bagaimana kekuasaan dapat memanipulasi sistem hukum demi kepentingan mereka sendiri, yang berpotensi merusak tatanan demokrasi dan kepercayaan publik terhadap proses politik. (*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *