PKS, Anies Rasyid Baswedan, dan Oligarki
KEMPALAN: Sebenarnya baik Anies Baswedan dan PKS sama-sama yang tidak dikehendaki oleh sistem politik Indonesia, yang dikendalikan oleh oligarki. Keduanya (Anies Baswedan dan PKS) punya karakter, sikap, dan pendirian tentang cara mengelola Indonesia yang tidak mudah bagi oligarki untuk mengendalikan/mengontrolnya. Ada yang menyebutnya kayak dua sisi mata uang (two sides of a coin).
Kedua Sikap tersebut telah teruji di Jakarta. Pak Anies Baswedan banyak kebijakan di Jakarta tidak sejalan dengan kepentingan oligarki, sedangkan PKS dengan berbagai upaya yang dilakukan oleh oligarki untuk menghadangnya, tetap saja sebagai parpol pemenang (2024) (sekalipun belum maksimal), yang kemudian hari melahirkan dinamika tersendiri.
Konstalasi politik subtantif hari ini di Indonesia bukan persoalan Jokowi vs PDI vs PKS, tetapi antara oligarki vs non oligarki. Rakyat yang mulai merasakan penderitaan akibat hegemoni oligarki berharap ada kekuatan yang mau menyuarakan. Mereka berpikir Anies Baswedan dan PKS yang sebenarnya diharapkan mengawal aspirasi mereka yang tidak menghendaki oligarki terus berkuasa.
Secara elektoral baik PKS dan Anies Baswedan saling melengkapi dan saling membutuhkan. Sebaliknya jika keduanya berpisah akan merugikan kedua belah pihak, baik Anies Baswedan maupun PKS. Itulah yang dikehendaki oligarki. Atau dengan kata lain cara untuk melemahkan keduanya dengan cara dipisah dengan berbagai skenario dan narasi yang mereka buat, sehingga konsep berbangsa dan bernegara yang dicita-citakan keduanya (ARB dan PKS) ikut tenggelam.
Masyarakat yang merasakan penderitaan hegemoni oligarki sekitar 90%, tetapi yang menyadari baru 10-30% (terutama kalangan akademisi dan aktivis pro demokrasi, termasuk kader PKS). Maka disinilah terjadinya anomali dalam politik bahwa suara oposisi tidak berbanding lurus dengan ketidakpuasan pada rezim. Apresiasi masyarakat sendiri pada oposisi segitu-gitu saja. Itu yang menjadikan kegalauan sebagian elit PKS (terutama kalangan praktisi/caleg dan sejenisnya, untuk membedakan kader PKS yang akademisi dan aktivis).
Ponorogo, 13 Agustus 2024
*Pendapat pribadi, tidak mewakili institusi.
Oleh: Assoc. Prof. Dr. Muhamad Fajar Pramono, M.Si, Dosen Universitas Darussalam Gontor