Hariono Santoso Sekarang Nulis Novel
KEMPALAN : Awal tahun 1970-an, puisi-puisi kami “bersaing” untuk bisa dimuat di lembaran budaya Jawa Pos yang diasuh Pak D. Soebali yang dosen di Akademi Seni Rupa Surabaya.
Yang dimaksud ‘kami’ di sini adalah : Toto Sonata, M. Djupri, Sam Rahmat, Djulkifli dan Sochieb (keduanya siswa SMA Negeri III Surabaya dan kelak keduanya jadi dokter), Wawan Setiawan, Zoya Herawati, Susi Partosudarmo, saya, Hariono, dan sejumlah sosok lain.
Rerata puisi-puisi di lembaran budaya tersebut dikirim oleh para remaja. Padahal ini lembaran budaya umum, bukan khusus untuk pelajar.
Penyair berusia dewasa yang paling saya hafal namanya adalah dik munthalib (nama penyair ini memang ditulis tanpa awalan huruf besar) dimana puisi-puisi dik munthalib selalu tanpa diberi judul. Dan beliau produktif sekali.
Lama di kemudian waktu, baru saya tahu kalau dik munthalib bersaudara kandung dengan Ibu Muntiana Teja (mohon dikoreksi kalau penyebutan nama keliru) istri pelukis Teja Suminar.
Pada sebagian besar nama yang saya sebut di atas rerata masih siswa SLTA, kecuali M. Djupri dan Wawan Setiawan yang mahasiswa jurusan Sastra Indonesia di IKIP Surabaya dan Susi mahasiswi Ilmu Sejarah IKIP Surabaya.
Nah, tulisan di kolom ‘Apa yang Anda Pikirkan Ini’ sebenarnya saya fokuskan kepada Hariono. Sosok ini saat siswa SLTA –kalau tidak salah di SMA Pemuda atau SMA Sejahtera– sering tampil di sejumlah acara poetry reading yang waktu itu marak terselenggara di sejumlah komunitas seni di kota Surabaya, termasuk di antaranya pada akhirnya ikut membacakan puisi-puisinya di kampus saya studi jurnalistik : Akademi Wartawan Surabaya.
Setelah itu –meski tidak sering– 1-2 kali kami bertemu di medan jurnalistik: Hariono sebagai koresponden Selecta Group dan saya sebagai koresponden Harian Pos Kota.
Sekira setahun di Selecta Group, tahun 1975 Hariono diterima di TVRI. Lantas dia malang melintang sebagai kameraman TVRI dan banyak mendapat tugas liputan dalam dan luar negeri. Dan berbagai jabatan birokrasi di institusi itu diembannya, antara lain sebagai Kepala Stasiun TVRI Jambi dan Kepala TVRI Stasiun Jawa Barat, hingga mengantarkannya
sebagai Direktur Utama TVRI Pusat.
Di tengah kesibukan berkarier di TVRI, Hariono berhasil meraih S1 Ilmu Politik di Universitas Wijaya Kusuma, Surabaya, dan S2 Administrasi Publik di Untag Surabaya.
Facebook pada akhirnya mempertemukan kami setelah Hariono pensiun dari TVRI pada tahun 2010. Cuma waktu itu saya agak kaget saat meng-add, Hariono menggunakan nama Onoirah Santoso. ‘Onoirah’ adalah nama yang dibalik dari ‘Hariono’.
Sejak saat itu kami berteman lagi, dan menjadi lebih akrab dibanding tahun 1970-an. Bahkan saya diundang di rumahnya yang berhalaman luas dipenuhi pepohonan mangga, jambu, sukun, nangka, kedondong, dan masih banyak lagi, di kawasan Medokan, Rungkut, Surabaya.
Di antara mereka yang hadir yang saya kenal adalah : Yudo Herbeno mantan penyiar Radio Merdeka, penyair, kemudian berkarier di TVRI; Agusto B Antoro (Agus Budiantoro) sutradara dan penulis skenario film dokumenter; Hartoyo karyawan Pertamina yang teman masa kecil Hariono di kawasan Kaliasin, Surabaya.
Dari Facebook pula saya tahu dia berhasil menyelesaikan novel perdananya berjudul Halimun Biru di Singosari.
Sehabis orasi kebudayaan Eros Djarot di Balai Budaya Surabaya, kompleks Balai Pemuda, seputar pertengahan 2022 yang diselenggarakan komunitas seni Seduluran Semanggi Suroboyo, saya lihat Eros asyik ngobrol dengan Hariono. Di genggaman tangan Eros saya lirik ada novel Halimun Biru di Singosari.
Dua tahun kemudian, lahir novelnya yang kedua: Asmara Cempaka Gading.
Sekira lima bulan lalu di Balai Wartawan Surabaya dalam rangkaian peringatan Hari Pers Nasional, kami dipertemukan dalam acara launching buku antologi puisi yang dihelat komunitas wartawan usia emas (Warumas). Sebagai tamu undangan Hariono membacakan puisi karyanya. Cukup panjang.
Kemarin saya dijapri Hariono, antara lain pesannya: Mas Amang karena dulu sampeyan sudah beri buku ke saya, sekarang ganti saya yang akan beri. Saya akan kirim 2 eksemplar novel karya saya. Tolong yang satu eksemplar diberikan ke Mas Toto Sonata, kalau ketemu.
Dua jam sebelum saya nulis status ini, paket berisi 2 eksemplar Dwilogi Novel karya Hariono Santoso yang dijadikan dalam satu buku, yaitu Halimun Biru di Singosari dan Asmara Cempaka Gading, saya terima.
Sehabis menerima paket itu, saya pun lantas merenung, ‘di antara 16 judul buku yang telah saya tulis, tak satu pun berupa novel. Kapan ya saya nyusul?’.
Amang Mawardi jurnalis senior dan penulis, tinggal di Surabaya.