Daerah Miskin di Houston

waktu baca 6 menit
Salah satu rumah di kawasan kumuh Houston, Texas, Amerika Serikat. (Foto: dari channel Martin Arek Vlog).

KEMPALAN: Berapa orang Indonesia di Amerika Serikat (AS) yang (nyambi) jadi YouTuber? Saya tidak tahu. Yang jelas, sebagaimana vlog yang pernah saya tonton, tercatat: Adjie Canavan (36.6000 subscriber), Andri Indonesia (215.900), Puri Viera (594.000), Sherly Stefani (81.600), Pita’s Life (1.060.000), Hidayat Squad (506.000 ), M. Hidayat (965.000 subcriber), dan masih banyak lagi.

Jumlah catatan ‘vlogger’ dan subcriber di atas terhitung pada tanggal 12 Juli 2024.

Mereka tercatat sebagai TKI, sedang kuliah, atau ikut suami/istri yang warga negara AS.

Dari sekian konten kreator berkebangsaan Indonesia itu, saya terkesan dengan channel Martin Arek Vlog, karena mula-mula mungkin ada tercantum kata ‘Arek’ itu. Dari Surabaya? Betul !

Subscriber yang dipunyai Martin lumayan: 239.000.

Selain karena konten yang disajikan tentang hal-hal keseharian yang barangkali ada pada banyak pikiran penonton, juga cara membawakannya: santai, terukur — tahu kapan videonya harus diakhiri. Oleh sebab itu, menonton vlog-nya terasa pas durasi. Rata-rata 15 menit. Kalaupun ada yang panjang, oleh Martin lantas dibikin seri. Dan tata-bahasa yang disampaikannya tersusun rapi, terutama saat Martin bernarasi dengan suara ulemnya.

Martin sering mempublikasikan videonya yang berobyek Negara Bagian Texas. Boleh jadi dia tinggal di salah satu kota di negara bagian tersebut: Houston. Karena saat nge-vlog — terutama di kota berpenduduk 2,3 juta jiwa itu — Martin sering menggunakan sepeda.

‘Outfit’ sehari-hari selalu dilengkapi topi koboi dan sesekali berpakaian ala ‘country’. Pada salah satu bagian “poster” vlog-nya (semacam ‘thumbnail’) yang mirip animasi itu tertulis ‘Indo Cowboy’, tampak seorang cowboy menunggang kuda melewati padang kaktus.

Sehari-hari dalam memproduksi videonya untuk menjelajah banyak negara bagian, Martin sering “menunggang” mobil Ford buatan 2006 yang dimodifikasi sedemikian rupa, di mana di dalamnya terdapat tempat tidur, dapur, toilet portabel, pemanas ruangan, dan peralatan penunjang lainnya. Selain itu, pada sisi atap mobil dipasang panel surya untuk mengonversi menjadi daya listrik.

Sebagaimana YouTuber asal Indonesia yang rata-rata sudah menghasilkan puluhan video, demikian juga Martin. Persisnya: 260.

Tercatat antara lain judul-judul vlog-nya: Mandi Sekali Bayar Rp 160.000 (ditonton 22.000 kali); Toko Bebas Jual Ganja di Colorado (ditonton 29.000); Di Amerika Jangan Coba-coba Gali Tanah Sembarangan, Penjara Menanti (67.000 kali); Mengapa Rumah di Amerika tak Berpagar (213.000 kali ditonton); dan masih beberapa judul lainnya. Judul-judul dan jumlah penonton di atas tercatat pada 9 April 2020 dan saya posting di beranda Facebook saya. Mungkin jika ditonton saat ini, jumlah views konten-konten itu sudah bertambah.

Dari sekian yang diproduksi, saya paling terkesan dengan judul: Daerah Miskin di Houston (ditonton 1.300.000 kali). Itu catatan sekitar empat tahun lalu. Saat ini konten tersebut sudah ditonton 3 juta kali.

Video ini menghadirkan kawasan perumahan di dekat pusat kota yang sebagian banyak rumah di situ berbahan papan dicat warna putih. Kalau di Indonesia rumah ini barangkali masuk tipe 70. Hanya yang membedakan, kalau tipe 70 di Indonesia rata-rata menempati lahan seluas 200 meter persegi, di situ kira-kira 2 kalinya. Arsitekturnya mirip perumahan YKP di kawasan Pucang, Surabaya.

Pada video ini Martin tidak banyak bicara, sesekali saja bermonolog. Hanya pada salah satu ‘scene’, sekelebat tertulis seuntai kalimat caption cukup besar : Agak ngeri masuk ke daerah ini.

Saya tidak paham di mana ngerinya. Yang jelas semakin Martin memasuki perumahan itu, warna-warna cat di rumah-rumah tersebut terlihat makin memudar. Ada salah satu rumah yang menampakkan warna asli kayu papan, dan hampir roboh. Padahal berlantai dua.

Juga banyak kusen jendela yang tak berkaca. Pada beberapa rumah, kaca jendela diganti dengan lembaran plastik. Selain itu, daun-daun jendela yang copot sama sekali, ditutup dengan tripleks atau lembaran-lembaran papan mentah.

Yang kontradiktif, pada tepi jalan maupun halaman rumah-rumah kumuh itu, banyak diparkir mobil. Bahkan ada yang dua mobil.

Pada kolom komentar, salah seorang menulis begini: Busyet, dibilang perumahan orang miskin, tapi banyak yang bermobil.

Mungkin mobil-mobil tersebut sudah ‘out of date’ untuk ukuran Amerika Serikat, boleh jadi tidak untuk ukuran kita. Terlihat banyak yang masih bagus.

Untuk kendaraan sehari-hari, sebagian besar penduduk menggunakan mobil pribadi, bukan sepeda motor.

Saya tidak bisa menyimpulkan bagaimana ukuran miskin di Amerika. Apa karena tidak ada uang untuk menormalkan daun jendela yang somplak dan warna rumah yang kusam, lantas dibilang begitu?

O iya, dalam konteks lain ada pertanyaan menarik dari penonton di kolom komentar: Om Martin di Amerika sebetulnya kerja apa sih?

Penonton lain menginterupsi: Konglomerat.

Ada juga yang bilang: Di Surabaya dulu Pak Martin penyiar Radio Sonora. (Kalau tidak salah sebelum berganti menjadi Radio Sonora, nama radio ini Salvatori, berlokasi di kawasan Darmo Permai, Surabaya).

Oleh pertanyaan tersebut, Martin menjawab: Saya kerja serabutan, apa saja saya sambar, yang penting halal.

Pernah Martin menunjukkan sebuah ruangan yang mirip studio rekaman, di mana dinyatakan Martin sebagai tempat kerjanya. Namun, tidak disebutkan di kota mana di AS ruangan itu berada. Saya menduga Martin berprofesi sebagai ‘sound engineering’ dan bekerja kalau ada order atau paruh waktu. Saya rasa dari gaji sebagai YouTuber, Martin sudah bisa menghidupi dirinya.

Yang sering bikin senyum saya, jika Martin menemui seseorang yang tidak sengaja dan tidak dikenalnya –entah itu di mal, pujasera, lokasi wisata, atau di tempat lain– yang beberapa sosoknya mirip wajah kita, sesekali diberi caption atau menjadi bagian dari monolognya: Mbak Yayuk, Ning Heni, atau Mas Slamet. Muncul juga sebutan Cak Sidik.

Mungkin sosok-sosok tersebut mengingatkan kepada kerabatnya saat masih tinggal di Surabaya. Atau mungkin asal sebut karena bisa jadi Martin sangat terkesan dengan orang-orang itu. Mereka yang dinyatakan begitu bukan saja lantaran berwajah latin atau Asia — yang berkulit putih pun juga kena.

Atau kalau Martin menjumpai lokasi dan suasana yang bersangkut-paut dengan masa lalunya di Surabaya, dia lantas, bermonolog: “Kalau seperti ini, di Kedungdoro banyak (dalam bahasa dan dialek Suroboyoan).

Para YouTuber berkebangsaan Indonesia di AS rata-rata terbilang muda, tetapi Martin merupakan “antitesa”. Kalau boleh mengira usianya, mungkin sekitar 50-an. Atau barangkali masuk ke tahap dasawarsa berikut. Makanya dia oleh banyak penggemar sering dipanggil dengan awalan ‘Om’ atau ‘Pak’, di kolom komentar.

Yang jelas Martin yang kalem namun punya selera humor ini, semangatnya untuk menghadirkan vlog yang menghibur dan mendidik selalu mengalir. Rata-rata 5 hari sekali Martin mempersembahkan video-video tentang Amerika Serikat dengan berbagai aspek.

Sayang, vlog-vlognya yang dulu mencatat angka 50.000 views hingga jutaan itu, belakangan rata-rata “hanya” ditonton sekitar 10.000 hingga 20.000-an views.

Kenapa bisa begitu? Dugaan saya, karena Martin dengan konten-kontennya pernah absen cukup lama — sekitar dua tahun tak ada ‘action’, tak mengudara. Selama saat jedah itu, mungkin banyak penggemarnya yang beralih nonton channel YouTuber lain tentang kehidupan di Amerika Serikat yang diproduksi oleh orang-orang Indonesia yang tinggal di negeri tersebut.

Amang Mawardi, penulis, tinggal di Surabaya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *