Hoax Dalam Ranah Tanam-menanam
KEMPALAN: Karena kondisi belakangan mengharuskan saya banyak tinggal di rumah, maka selain aktivitas menulis, yang saya lakukan setelah itu adalah melebarkan hobi tanam-menanam.
Kalau sebelumnya sekadar menanam di pot berbagai tanaman hias murah-meriah seperti sulur-suluran, beberapa jenis sri rejeki, paku-pakuan, dan ada beberapa lagi — selanjutnya saya lakukan penanaman dan pemeliharaan tanaman produktif yang ‘soft’: cabe, terong, tomat, dan kangkung.
Rumah saya tidak besar, ukuran paling kecil, tipe 45 — dengan luas bangunan 45 meter persegi dalam lahan seluas 120 meter persegi.
Lantaran bangunan saya kembangkan, akhirnya tak ada lahan kosong sama sekali. Halaman depan ukuran panjang 4 meter dengan lebar 8 meter sudah jadi teras yang tak bertanah lantaran berganti keramik. Di situlah pot-pot tanaman saya letakkan dan saya gantung.
Beruntung ada berm depan rumah yang ukurannya sekira lebar 1 meter dengan panjang 4 meter (hasil potongan dari lebar pintu besar pagar dan lebar pintu kecil pagar).
Di berm tersebut saya tanami mangga madu anggur dan sawo kecik. Untuk mangga berbuah setahun dua kali: lebat. Sedangkan sawo kecik belum pernah berbuah kendati tinggi batang sudah lumayan, sekira 5 meter.
Di bawah dua pohon itu, saya letakkan pot-pot tanaman hias. Ada juga pandan wangi dan pandan hijau untuk pewarna bahan pembuatan kue. Malah yang di bawah mangga, saya taruh pot setengah besar berisi kelapa hibrida, saya maksudkan untuk lebih mengesankan hijau, rimbun, dan sejuk.
***
Di depan rumah seberang jalan terdapat berm ukuran 1 x 8 meter, bagian dari hook milik pasangan suami-istri pensiunan perwira TNI AU dan profesor doktor ahli gizi.
Letak kedua rumah beliau hadap selatan. Sedangkan rumah saya mengarah ke timur berhadapan dengan tembok pemisah halaman rumah beliau dengan got dan berm.
Kedua beliau sudah almarhum. Empat putra-putrinya tinggal di kawasan perumahan di Sidoarjo yang berjejer tetanggaan.
Lebih kurang 2 tahun sebelum berpulang, ibu yang profesor doktor ini sempat bilang ke salah satu pembantunya, “Yo wis ora opo-opo yen arep diopeni, anggere got yo diresiki”. Maksudnya: ya gak apa-apa lahan berm akan dirawat, asal sepanjang got tepi berm itu selalu rajin dibersihkan.
Pernyataan ini dimaksudkan kepada saya dan tetangga sebelah kanan rumah saya yang seberang depan rumahnya juga berhadapan dengan berm di hook itu. Hanya berm di seberang depan tersebut tak sepanjang “milik” saya.
Oia, pasangan keluarga perwira dan dosen Unair ini menempati rumah tipe terbesar (T 70).
Di berm sepanjang 8 meter tersebut akhirnya saya tanami jambu jamaika (jambu darsono), alpukat, sukun yang tinggi menjulang (dua bulan lalu saya tebang lantas saya remajakan dengan mangga gadung), belimbing (dalam pot besar), kelor, kelengkeng (dalam pot tanggung) dan jeruk nipis (dalam pot kecil).
Di sela pohon-pohon berakar tunjang ini saya isi dengan beberapa tanaman hias, dan belakangan saya letakkan beberapa polibag yang berisi terong, cabe, tomat, dan kangkung.
Sejak sebulan lalu mengawali dengan “proyek” tanaman sayuran ini, saya mulai rajin buka YouTube yang ada channel tutorial menanam dan merawat tanaman non-hias. Mulai dari menebar benih, merawat bibit, cara mencangkok, setek dan lain-lain. Termasuk juga tentang komposisi media tanam.
Dari channel ini saya mengenal istilah: kohe (kotoran hewan), pukan (pupuk kandang), taikam (pukan dari kotoran kambing), taisap (pukan dari kotoran sapi), ZPT (zat pengatur tumbuh), pruning (pemangkasan ranting), grafting (teknologi pembesaran tanaman — sambung pucuk), tabulampot (tanaman buah dalam pot), seedling (pembibitan), sebak (sekam bakar), cocopeat (sabut kelapa yang sudah dihaluskan sebagai salah satu bahan media tanam), dan masih banyak lagi — termasuk istilah ‘metan’ (media tanam).
Selama ini istilah dalam tanam-menanam yang saya hafal cuma ‘setek’ dan ‘cangkok’. Untuk istilah ‘tabulampot’ lupa-lupa ingat.
Selain dengan tanaman ‘soft’ macam cabe, tomat, terong, dan kangkung — dalam polybag, saya kepingin belajar dan mengembangkan tanaman keras seperti jambu air, jambu jamaika, mangga, alpukat, dan srikaya dengan sistem tabulampot. Caranya? Setelah saya buka-buka channel YouTube tentang seputar ranah itu, ternyata: Masya Allah — betapa dunia agro demikian banyak channel, konten dan viewer. Dari yang cuma ditonton ratusan viewers hingga jutaan. Bahkan ada yang ditonton hingga 33 juta.
Dalam dunia medsos macam YouTube, viewers berkonotasi cuan. Biar subscriber relatif tidak begitu banyak, tapi kalau viewers-nya bejibun, berarti cuan melambai-lambai di depan mata. Dari konten yang ditonton banyak orang, iklan banyak terpasang di situ.
Apa dampak ikutannya? Di antaranya ada yang menghadirkan video dengan merekayasa teknologi berbau hoax!
Salah satu channel mempertontonkan cara setek pohon alpukat. Di situ terlihat, setelah dipilih ranting yang bagus yang masih memperlihatkan beberapa daun (ada terlihat sehelai yang berwarna kuning hampir layu), maka ujung bawah ranting itu sepanjang lebih kurang 2 sentimeter dikupas kulitnya, sehingga terlihat bagian dalam ranting (“tulang”) yang berwarna putih.
Lantas bagian yang putih ini diolesi daging tanaman lidah buaya yang berlendir, kemudian dimasukkan ke dalam botol air mineral yang bagian atas sudah dipotong dan di dalamnya sudah terdapat media tanam.
Setelah itu disungkup (ditutup) dengan plastik transparan. Setelah lebih kurang 10 hari, sungkup dibuka, maka terlihatlah akar-akar yang bersuluran di dalam botol plastik tersebut.
Kemudian setekan diambil dari bekas botol plastik tersebut, dan disiram dengan air untuk menghilangkan gumpalan (media) tana-h(m) yang masih menempel.
Namun, begitu terlihat akar, hampir semua penonton yang ada di kolom komentar melakukan kritik dan kecaman: kok akarnya halus kayak akar rumput; pohon alpukat itu berakar tunjang, bukan serabut; daun kuningnya saat dimulai penyetekan kok masih nempel, mestinya kan luruh dalam waktu 10 hari (proses penyetekan); batang yang ada akarnya dilem alteco ya, bro; eladalah, demi konten kok bisa ya melakukan tindakan seperti ini; dan lain sebagainya.
Yang saya agak heran, kok masih ada yang mengira viewers itu bodoh? Padahal kebanyakan viewers konten-konten macam itu adalah YouTuber-YouTuber pemula yang terus berprogres. Atau kalau tidak, banyak juga yang punya channel-channel khusus dunia agro. Vlogger itu lupa bahwa para penghobi adalah juga pembelajar. Karena terus berproses, ilmu yang dimiliki tentu makin bertambah.
Ada juga konten dari salah satu channel yang bermotif bisnis (terselubung).
Misal: dalam sebuah tutorial setek tanaman berakar tunjang, YouTuber-nya menjelaskan dalam vlog seperti biasa — saat batang dalam yang sudah dikelupas — dimana kalau biasanya bagian yang putih itu diolesi bawang merah atau daging tanaman lidah buaya untuk merangsang tumbuhnya akar, tapi vlogger ini mengoleskan cairan putih seperti cat tembok atau kapur.
Saat mengoleskan bagian putih ini, dia tidak menyebut itu “obat” atau zat apa.
“Setelah diolesi, biarkan beberapa saat agar kering. Setelah kering, baru dimasukkan ke media tanam (dalam bekas gelas/botol air mineral).” Hanya itu yang diucapkan, tanpa menyebut zat cair putih itu apa.
Tentu ada yang penasaran. Nah, saat penonton menanyakan di kolom komentar, dijawab: “Itu obat setek, untuk merangsang tumbuhnya akar. Jika berminat, silakan japri. Nomor WA saya sudah ada di layar video”.
***
Tentu ada banyak channel teknologi agro yang berkualitas. Mungkin lebih banyak yang bermutu dibanding konten-konten yang mencoba membodohi penonton yang berkonotasi hoax.
Salah satunya yang disuguhkan sebuah channel mulai dari penyetekan, pemindahan ke polybag, pemupukan dan perawatan, penyemprotan pencegahan akan adanya hama, hingga pemindahan ke pot besar. Semuanya dilakukan tahap demi dari hasil setek hingga tanaman cukup besar dalam rentang waktu sekitar 6 bulan. Artinya, proses pembuatan video berjalan tidak langsung jadi, dan tidak ada muatan nipu. Ada effort (upaya) disertai kerja telaten dan kerja keras dari YouTuber channel ini.
Hasilnya, hampir semua pendapat di kolom komentar memuji. Sisanya berkomentar standar. Intinya vlogger channel ini adalah orang baik. Mau bersusah-payah menularkan ilmunya.
Bahkan seorang penonton berkomentar bernada filosofis: “Anda orang baik dan pintar. Saya suka orang pintar yang baik. Dan, saya juga suka orang yang meski tidak pintar tapi baik. Namun, saya benci orang pintar yang tidak baik!”
*Amang Mawardi, penulis sejumlah buku*
