Indonesia di Malam Hari

KEMPALAN: Bagaimana menilai pembangunan di Indonesia? Gampang. Lihatlah Indonesia di malam hari. Kalau sebuah wilayah terlihat terang di malam hari berarti wilayah itu maju. Sebaliknya, kalau sebuah wilayah terlihat gelap di malam hari maka bisa disimpulkan wilayah itu kurang maju, atau setidaknya kalah maju dari daerah yang terang.
Semudah itu. Iya. Setidaknya begitulah menurut Anies Baswedan. Dalam paparannya pada rakernas Apeksi Asosiasi Pemerintah Kota Seluruh Indonesia di Makassar Anies memampaparkan peta pembangunan Indonesia. Anies menyajikan citra satelit yang menunjukkan kondisi Indonesia di malam hari. Secara keseluruhan gambar satelit yang dipamerkan Anies tidak terlihat terang. Beberapa titik terlihat terang tapi secara keseluruhan peta Indonesia terlihat suram.
Paparan sederhana ini sangat menohok karena sulit dibantah. Distribusi listrik adalah indikator pembangunan sebuah wilayah. Bagaimana mungkin sebuah daerah mempunyai kemajuan di bidang ekonomi kalau distribusi listrik tidak ada.
Indikator sederhana ini juga sudah menjadi standar umum yang diakui dan diterapkan dalam berbagai forum seminar ekonomi di seluruh dunia. Ketimpangan kelistrikan ini juga bisa menggambarkan bagaimana ketimpangan antarwilayah atau ketimpangan antar-negara.
Peta Indonesia di malam hari itu menunjukkan bahwa ketimpangan antar wilayah memang relatif sangat tinggi saat ini. Ukuran ketimpangan ekonomi yang paling banyak digunakan adalah Gini Ratio yang mengukur derajat ketidakmerataan distribusi kemajuan ekonomi yang dihitung dengan skala 0 sampai 1. Bila angka gini ratio mendekati 1 berarti semakin timpang, sementara bila angka gini ratio mendekati 0 maka ekonomi semakin merata.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat gini ratio di Indonesia terakhir pada September 2022 sebesar 0,381, turun 0,003 poin dari Maret 2022 0,384. Masih banyak daerah-daerah di Indonesia yang gini ratio-nya berada di atas level rata-rata nasional. Paling tinggi adalah DI Yogyakarta yang mencapai angka 0,459, kemudian Gorontalo dengan angka 0,423, lalu DKI Jakarta dan Jawa Barat berada di level 0,412.
Dalam berbagai kesempatan, pemerintah sering memamerkan pertumbuhan ekonomi nasional yang stabil di atas angka pertumbuhan rata-rata internasional. Presiden Jokowi dan Menkeu Sri Mulyani sering mengklaim bahwa di tengah situasi ekonomi dunia yang memburuk, Indonesia masih tetap bisa tumbuh secara positif.
Kita bisa terpukau oleh angka dan statistik yang kelihatannya bagus, tetapi fakta ketimpangan terpapar dengan nyata. Gelapnya banyak kota sekunder dan tersier di malam hari, menunjukkan perkembangan ekonomi di Indonesia yang sangat tidak merata.
Indikator yang sering dipamerkan adalah produk domestik bruto (PDB) yang stabil atau mengalami kenaikan. Variabel ekonomi makro ini kerap membuat persoalan pemerataan pertumbuhan ekonomi terlupakan. Meski PDB Indonesia memang masuk kategori salah satu yang paling tinggi di antara negara-negara besar di dunia, tetapi harus diperhatikan juga angka agregat sektor dan daerah yang masih timpang.
Pertumbuhan PDB adalah angka agregat yang tidak mencerminkan komposisi pertumbuhan. Struktur pertumbuhan Indonesia sekarang masih berpusat pada sektor dan daerah tertentu, sementara lebih banyak lagi sektor dan daerah yang pertumbuhannya rendah bahkan stagnan. Ketimpangan adalah salah satu tantangan utama ekonomi Indonesia saat ini.
Indikator penyebaran listrik sangat penting, karena ketika distribusi listrik lebih merata, akan mampu mengakselerasi aktivitas perekonomian secara lebih luas, sehingga bisa berdampak positif pada pertumbuhan ekonomi nasional.
Dalam sebuah perkembangan ekonomi yang sehat, perkembangan perkotaan tidak bisa hanya fokus di kota-kota besar, tapi juga harus menyebar ke kota-kota sekunder dan tersier. Kota penopang ini bisa menjadi mesin pertumbuhan yang memberikan sumbangan terbesar pada pertumbuhan ekonomi nasional. Fenomena itu terjadi di hampir semua negara berkembang.
Model pembangunan yang hanya fokus pada pertumbuhan agregat bisa menyesatkan, karena menyembunyikan kondisi ketimpangan yang sesungguhnya. Model pembangunan semacam ini sudah pernah diterapkan di masa Orde Baru dan melahirkan pertumbuhan ekonomi nasional yang stabil di angka 7 persen.
Dengan pertumbuhan yang stabil ini Indonesia melesat menjadi salah satu negara yang dijuluki sebagai Macan Asia. Indonesia juga masuk dalam kategori the industrialized countries (NIC’s), negara-negara baru yang terindustrialisasikan.
Strategi pembangunan Orde Baru fokus pada pertumbuhan ekonomi dengan membesarakan sektor ekonomi tertentu, dan memberi hak monopoli dan oligopoli kepada segelintir konglomerat. Di era Orde Baru sudah muncul Sembilan Naga yang memonopoli ekonomi nasional.
Mereka adalah konglomerat nasional yang sengaja dibesarkan oleh rezim dengan memberikan konsesi besar dalam berbagai bidang. Muncullah konglomerat besar sepertti Lim Sioe Liong dan kawan-kawan yang memonopoli berbagai bidang ekonomi.
Pendekatan pembangunan yang dipakai ketika itu mengacu pada teori ‘’Trickle Down Effect’’ atau efek peluberan ke bawah. Asumsinya, ketika pengusaha-pengusaha besar itu sudah makmur maka kemakmuran itu akan menetes ke bawah.
Tetapi dalam praktiknya tidak semudah itu. Kapitalisme tidak mengenal kata bagi, yang ada hanyalah tambah dan kali. Karena itu Presiden Soeharto ketika itu memanggil para konglomerat kaya itu dan memaksa mereka membagikan saham perusahaannya kepada koperasi. Pemaksaan semacam ini tidak membuahkan hasil maksimal. Kendati demikian, upaya Pak Harto patut diapresiasi.
Pertumbuhan ekonomi era Orde Baru ternyata tidak mempunyai pondasi yang kokoh. Ketika diserang oleh badai krisis moneter Indonesia kelabakan dan akhirnya kolaps. Penyebabnya adalah ketimpangan dan banyaknya utang luar negeri swasta maupun negara dalam bentuk mata uang dolar.
Pemerintah Jokowi mengambil strategi pembangunan yang kurang lebih sama, yaitu fokus pada peryumbuhan ekonomi agregat dengan membesarkan PDB. Ketimpangan yang terjadi kemudian dikompensasi dengan pembagian bantuan sosial dalam bentuk bantuan uang tunai Rp 300 ribu. Bantuan tunai semacam ini tidak memberi efek stimuli ekonomi rakyat karena bantuan itu lebih banyak dipakai untuk kepentingan konsumtif.
Para ahli ekonomi makro mengakui bahwa indikator ketimpangan ala ‘’Peta Indonesia Malam Hari’’ yang disajikan Anies Baswedan sulit dibantah.
Pertanyaannya sekarang, haruskah strategi pembangunan ini dilanjutkan, ataukah saatnya ada perubahan? Rakyat yang punya hak menjawab. ()
