Puisi Minggu Ini: Karya Junaidi HS
NGAWI-KEMPALAN: Melanjutkan ulasan tentang Penyair itu Pensiunan Guru, saya sertakan puisi-puisi karya Junaidi HS yang hingga kini tetap eksis menulis puisi. Selamat membaca puisinya.
Junaidi HS – BULAN I’TIKAF
Malam yang diam
segala pohonan merunduk khusyuk
hanya lirih bergumam
udara harum parfum
bulan i’tikaf tampak jauh terapung
di tengah samudera langit hitam
ingin tetap bercahaya saat jutaan bintang
lelah mengerjapkan kerdipnya
hasrat tak mau meredup
di sepuluh malam terakhir ramadhan
sebelum pagi-pagi menghampiri
dan orang-orang mabuk menyibukkan duniawi
(Ngawi, 16-04-2023)
Junaidi HS – ILUSI DI SUATU PAGI
Dingin mengibas-ngibaskan ekornya
di pundak ilusi para pendengki
bermanja-manja bagai kucing
menggosok-gosokkan tubuh pada tuannya
masih kulihat di layar berita tiap hari
tentang gaya hidup para pencuri hati
mengais-ngais rongsokan dalam tumpukan
sampah benci untuk dikoleksi bahan promosi
merekalah pemulung sejati
telah lama tersesat jalan
lupa jalan pulang ke rumah hati yang asri
Dingin mengibas-ngibaskan ekornya
di pundak ilusi para pendengki
mendung pagi menebal menutupi
terik mentari bulan Juli
benarkah akan jadi hujan
ataukah kemarau dengan wajah pura-pura
di kedai kopi terdengar tawa terbahak
bukan sekadar geli
sebab ada suara seloroh tiba-tiba
yang penting janji bukan bukti
segera kuseruput sisa kopi
bergegas mengayuh sepeda
melawan dingin yang bermanja-manja
(Ngawi, 07-07-2023)
Junaidi HS – DI KETEDUHAN BUKIT DAN SUNGAIMU
Adalah sajakku yang lahir dari
tetes embun subuh pagi
Adalah sajakku yang ngalir dari
tetes bulan yang pucat
di bawah kaki bukit ini
tersirap darahku dan terpaku
seperti terperanjat menangkap
sosok bayang hitam bayang belukar
dan pohon-pohonmu
dingin sendiku meraba wajah kuyu
entah siapa aku atau kekasih
di sepanjang sungaimu
cerita menyusur waktu
rasa teduh dilindung bukit indahmu
Adalah mata air kebesaranmu
(OKU, 1983)
Junaidi HS – NAMAKU MESIU
namaku mesiu
tercipta dari kegelisahan setan
yang membangun penjuru benua
dengan semen dan debu sengketa
namaku mesiu
telah mengembara ke abad-abad kota
menjelajahi bumi kusam
merambah ke pusat-pusat darah
menyerbu kamar pikiran
dan bilik kekalutan
aku adalah mesiu
teriakanku puing-puing peradaban
runtuh menjelma airmata
wanita dan anak, tersaruk
angin yang menyatu dengan badai
merubuhkan jendela impian
dalam tidur musim
tak menentu
(Ngawi, 1993)
(Aming Aminoedhin).**
