Partai Ummat Sebagai Partai Kolektif Umat
Oleh : Epi Zaenal Hanafi
KEMPALAN: Menarik ketika menyimak sebuah pandangan Ketua Umum Persatuan Islam (Persis) pada pengajian online Partai Ummat pada tanggal 31 Maret 2023 Jum’at ba’da shubuh kemarin.
Pada salah satu tausiyahnya Ustadz Jeje mengatakan bahwa masa kenabian Muhammad shalallahu a’laihi wasallam adalah masa berakhirnya masa kepemimpinan secara figuritas (kenabian). Misi Nabi Muhammad adalah sebagai nabi terakhir yang membimbing umat manusia. Masa setelah wafatnya Rasulullah adalah masa kepemimpinan kolektif. Masa kepemimpinan figuritas (kenabian) digantikan oleh masa kepemimpinan kolektif umat.
Menjadi tantangan bagi umat manusia, khususnya umat Islam dunia untuk tampil sebagai lokomotif dalam membangun peradaban melalui misi Islam sebagai rahmatan lil a’lamin. Lokomotif peradaban ini tidak lagi diperankan oleh Nabi, tetapi berlanjut kepada sistim kepemimpinan kolektif.
Kepemimpinan kolektif umat inilah yang bertanggung jawab terwujudnya peradaban Islam. Peradaban Islam dalam prakteknya berjalan melalui aktivitas pendididikan (dakwah), ekonomi dan politik. Kenapa dibutuhkan aktifitas politik dalam mewujudkan peradaban Islam ini? Sebuah pertanyaan yang sangat relevan bagi umat Islam Indonesia dalam menghadapi pemilu 2024 nanti. Pada tulisan ini penulis membatasi kepemimpinan kolektif tidak dalam tataran global tetapi lebih menyikapi dalam kehidupan politik lokal (Indonesia).
Peradaban Islam tidak terlepas dari pendidikan yang berbasis aktifitas keilmuan, ketrampilan dan spiritual (akhlaq), tetapi juga secara pararel pembangunan fisik (kesejahteraan) bagi kebutuhan hidup manusia yang diwujudkan melalui aktivitas ekonomi dan pembangunan pendukung lainnya. Proses pembangunan peradaban Islam ini akan berjalan dengan aman dan lancar atau terlindungi dari pihak-pihak yang tidak setuju bahkan menghambat dan menentangnya, maka dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dalam sistem politik di Republik ini perlu kekuatan atau kekuasaan yang melindunginya. Artinya, tanpa kekuatan atau kekuasaan, maka akan sulit upaya kita dalam memperjuangkan peradaban Islam. Sebagaimana Allah tegaskan dalam Surah Al-Hadid 25 “Dan Kami ciptakan besi yang padanya terdapat kekuatan yang hebat”. (Al-Hadid: 25) Maksudnya, Kami jadikan besi itu sebagai sarana untuk menekan orang yang membangkang terhadap perkara yang hak dan mengingkarinya padahal hujah-hujah telah ditegakkan di hadapannya. Simbol besi dalam bahasa Al-Qur’an oleh para mufasir sehingga dimaknai sebagai kekuasaan. Jadi melalui kekuasaanlah proses pembangunan peradaban Islam ini akan berjalan lancar dan terwujudkan.
Secara demikian, partai politik sebagai alat untuk meraih atau merebut kekuasaan memiliki posisi strategis dalam upaya pembangunan peradaban Islam. Oleh karena itulah umat Islam Indonesia membutuhkan instrumen kekuasaan melalui partai politik yang memiliki visi dan misi menegakkan Islam sebagai rahmatan lil a’lamin dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
Umat Islam Indonesia harus mengetahui bahwa telah hadir Partai Islam yang dianggap telah merepresentasikan dalam konstitusi partainya berideologi Islam rahmatan lil a’lamin dan dijiwai prinsip-prinsip kebangsaan sesuai semangat nilai-nilai Al-Qur’an Surah Al-Hujurat 13.
Partai Ummat saat ini sedang membangun komunikasi dengan seluruh stakeholder politik umat seperti ormas-ormas Islam, parpol berbasis umat Islam, organisasi-organisasi lainnya yang memiliki pengaruh politik dalam kehidupan umat. Sikap merangkul stakeholder politik yang dilakukan Partai Ummat ini akan semakin mengukuhkan dirinya sebagai kekuatan politik yang sedang membangun kepemimpinan kolektif umat. Sebuah ikhtiar untuk menjawab tantangan Nabi. Partai Ummat tanpa kehadiran Nabi tegak lurus dengan pesan-pesan Ilahiah sebagai warisan Nabi terakhir sekaligus menginisiasi terwujudnya kepemimpinan kolektif umat melalui Partai Ummat.
Problematika
Ikhtiar Partai Ummat dalam mengkonsolidasikan kekuatan politik umat untuk terwujudnya kepemimpinan kolektif umat memang bukan pekerjaan yang mudah. Tantangan dan hambatan sebagai realitas politik sudah pasti harus dihadapi.
Beberapa kondisi yang menjadi kendala diantaranya, pertama adalah sikap ormas Islam yang memberikan kebebasan berpartai tanpa ada keterikatan kepada partai tertentu. Tidak heran saat ini kader-kader ormas Islam tersebar di semua partai politik, baik berbasis Islam maupun nasional. Konsekuensi dari sikap bebas berpartai ini membuat ormas dalam menghadapi manuver kader-kader politisinya dihadapkan pada posisi dilematis. Jika memberikan dukungan ke salah satu parpol dianggap tidak netral, jika membebaskan pilihan seolah ormas tidak punya pendirian sikap politik yang jelas. Sebaliknya jika tidak memberikan dukungan sama saja dengan membiarkan kadernya seakan dilepas kehilangan arah bahkan berpotensi gagal dalam pertarungan politiknya.
Sikap ormas Islam yang tidak tegas atau pemihakan terhadap kader atau parpol inilah yang menjadi titik lemah dalam konsolidasi politik keumatan. Dengan kata lain, ormas Islam menjadi ‘rebutan’ para caleg atau elit politik kadernya maupun pihak lain. Meskipun dalam menghadapi ‘serbuan’ pihak-pihak yang berkepentingan politik, ormas Islam akhirnya tidak dapat terhindar dari sikap politiknya yang ‘abu-abu’. Menjaga jarak dan menghindari sikap konfrontasi bagi semua kekuatan politik. Jalan tengahnya, secara ‘terselubung’ memberikan ruang atau akses terhadap komunitasnya. Kekuatan personal kader politisinya di sini yang lebih berperan. Ormas seakan tabu bahkan ‘malu-malu’ untuk memberikan dukungan politik kepada parpol Islam maupun parpol lainnya.
Situasi yang memprihatinkan adalah kendala kedua, ormas Islam memberikan dukungan atau merekomendasikan kadernya dengan pertimbangan lebih didasari oleh kalkulasi kader politisinya yang dianggap paling potensial menjadi calon jadi di daerah pemilihannya (dapil) tanpa mempertimbangkan asal partai politik kadernya. Pertimbangan yang sangat pragmatis ini sangat jauh dari pertimbangan, baik alasan spiritual-nilai-nilai ideologi Islam sebagai dasar pilihan-maupun alasan rasional dalam membangun strategi penguatan kekuatan politik umat.
Hambatan ketiga dalam proses pembangunan kepemimpinan kolektif umat ini adalah menyamakan flatform politik seluruh stakeholder politik umat.
Sebuah terobosan politik dalam kerangka membangun kesepahaman dalam perjuangan politik umat dan bagian dari proses terwujudnya kepemimpinan kolektif umat, Partai Ummat telah membangun kerjasama politik dengan Partai Masyumi dan Partai Pelita. Meskipun terobosan ini baru berjalan dengan partai-partai yang tidak lolos pemilu 2024, tetapi kita sangat mengapresiasi atas itikad baik kedua parpol tidak lolos ini untuk bersama-sama berkonsolidasi bagi izzatul Islam : kemuliaan, kebanggaan dan kekuatan politik Islam.
Sejalan dengan misi mulai untuk terus menyuarakan kepemimpinan kolektif umat, Partai Ummat akan selalu mengingatkan umat Islam jangan sampai terjebak oleh kepentingan-kepentingan pragmatis elit-elit politiknya yang bertebaran di berbagai partai politik. Kepentingan yang hanya bertujuan meraih target-target duniawi yang terlepas dari nilai-nilai ukhrowi. Pertimbangan yang didasari oleh perhitungan praktis ekonomis semata tidak saja akan menjerumuskan elit politik muslim maupun ormas dan partai politik Islam kepada kepentingan-kepentingan jangka pendek yang merugikan bangsa dan negeri ini, tetapi juga akan menjauhkan dari cita-cita membangun kekuatan politik Islam yang kuat dan berwibawa. Semoga kita terhindar dari tragedi politik yang selalu berulang di setiap pemilu. Alih-alih Partai Islam sebagai partai pelopor dan dinamisator justru yang terjadi berhenti sebagai partai pengekor dan supporter partai lain yang belum tentu memiliki visi dan misi yang sama. (*)
