Hukuman Mati untuk Ferdy Sambo The Villain
KEMPALAN: FERDY Sambo berdiri dari tempat duduknya ketika vonis dibacakan oleh hakim dalam kasus pembunuhan Brigadir Yoshua Simanjuntak. Ferdy Sambo, terdakwa utama, dalam enam bulan terakhir oleh publik dipotret sebagai ‘’the villain’’, si penjahat yang harus bertanggung jawab terhadap konspirasi pembunuhan jahat ini. Sambo berdiri dari kursinya atas perintah hakim. Ketika kemudian hakim menjatuhkan vonis hukuman mati, tangan Sambo terlihat bergetar dan matanya berkaca-kaca.
Vonis hukuman mati itu lebih berat dari tuntutan hukuman seumur hidup yang diajukan oleh jaksa. Hukuman mati terhadap Sambo dianggap lebih mewakili rasa keadilan publik ketimbang hanya hukuman seumur hidup.
Dalam terminologi kriminologi, the villain ialah karakter yang diciptakan untuk menghalangi rencana dan tujuan karakter utama. Dalam aksinya, sosok villain siap membunuh dan menghancurkan siapapun yang berniat menghalangi tujuannya.
Ferdy Sambo the villain. Ia terbukti terlibat dalam pembunuhan berencana terhadap Brigadir Yoshua, anak buah dan ajudannya sendiri. Ia merencanakan pembunuhan, memerintahkan eksekusi penembakan, dan kemudian ikut menembak korban.
BACA JUGA: Kesambet Sambo
Atas kejahatan ini Sambo dihukum mati. Sambo bergetar, tapi dia menunjukkan perlawanan. Dalam setiap sidang Sambo menunjukkan gesture perlawanan itu. The act of deviance, sikap pembangkangan ditunjukkan dengan penampilannya yang memakai baju putih dan memakai kacamata. Rambutnya dibiarkan tumbuh semi gondrong di bagian belakang dan memotong tipis bagian samping kiri dan kanan.
Hukuman mati terhadap Sambo, oleh banyak orang dianggap sebagai balasan yang setimpal atas kejahatan yang dirancangnya. Justice has been done, keadilan sudah ditunaikan. Sambo menghilangkan satu nyawa dan karena itu dia harus membayar dengan nyawa. Mata dibalas mata, hidung dibalas hidung, dan nyawa dibalas nyawa. Itulah hukum yang dianggap setimpal.
Hukuman mati merupakan salah satu pidana tertua di dunia. Namun, memasuki abad ke-20, banyak negara yang memutuskan untuk menghapuskan pidana hukuman mati. Gerakan para aktivis hak asasi manusia (HAM) internasional menganggap hukuman mati bertentangan dengan hak asasi manusia.
Hak untuk hidup adalah hak asasi semua orang yang tidak bisa dicabut oleh siapapun, termasuk oleh negara. Tentu pertanyaannya, bagaimana kalau seseorang sengaja dan berencana melakukan pelanggaran HAM dengan mencabut nyawa orang lain melalui pembunuhan, tidakkkah dia harus bertanggung jawab terhadap pembunuhan itu dengan membayar nyawa.
BACA JUGA: Pembunuhan Brigade J, Misteri 82 Menit di Rumah Irjen Ferdy Sambo
Indonesia menjadi salah satu negara yang masih mempertahankan hukuman mati. Namun, pelaksanaan hukuman mati telah menuai pro dan kontra sejak lama. Hukuman mati merupakan salah satu pidana pokok yang bersifat khusus dan alternatif. Hukuman mati dilakukan dengan cara menembak mati di depan regu eksekusi.
Pandangan masyarakat yang tidak setuju Masyarakat yang kontra dengan hukuman mati menganggap bahwa pidana tersebut tidak manusiawi dan bertentangan dengan prinsip kemanusiaan yang adil dan beradab, seperti yang ada dalam Pancasila. Setiap orang berhak untuk hidup dan berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya.
Hak hidup adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun dan oleh siapa pun, termasuk negara. Selain itu, hukuman mati dinilai tidak sesuai dengan tujuan pemidanaan, yakni untuk menghalangi orang dari perbuatan kejahatan, dan bukan balas dendam.
Hukuman mati dianggap tidak bisa menghilangkan kejahatan di masyarakat dan menciptakan masyarakat yang bahagia. Faktor penentunya bukanlah berapa banyak kejahatan turun dengan adanya hukuman mati, tetapi bagaimana keadilan tetap ada dan dirasakan para korban kejahatan.
Tetapi, masyarakat yang setuju dengan hukuman mati menganggap bahwa pidana ini pantas dijatuhkan kepada penjahat yang sadis, karena jika tidak dilakukan dikhawatirkan aksinya akan berulang. Hukuman ini dinilai sesuai dengan tujuan hukum pidana pada umumnya, yaitu mencegah terjadinya kejahatan dan melindungi kepentingan perorangan.
Pidana mati dianggap dapat menimbulkan efek jera bagi masyarakat. Hukuman mati menjadi pengecualian terhadap hak untuk hidup yang masih diakui di banyak negara. Hukuman ini menjadi sanksi paling berat bagi pelaku kejahatan yang secara berat melanggar hak asasi manusia orang lain.
BACA JUGA: Pers Indonesia Tidak Baik-Baik Saja
Setiap orang wajib menghormati HAM orang lain. Selain itu, dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada undang-undang agar tidak melanggar hak dan kebebasan orang lain. Dengan cara ini, hukuman mati dapat menciptakan rasa hormat dan penghargaan terhadap hak asasi manusia orang lain.
Hukuman mati melanggar hak untuk hidup dan hak untuk tidak mengalami perlakuan atau hukuman yang kejam, tidak manusiawi, atau merendahkan martabat. Hak tersebut dilindungi dalam Deklarasi Universal HAM, instrumen HAM lainnya, dan banyak konstitusi nasional di seluruh dunia, termasuk konstitusi Indonesia.
Hukuman mati bisa diselewengkan karena beberapa hal. Misalnya, sejak 1973, lebih dari 160 narapidana yang dijatuhi hukuman mati di Amerika Serikat, dibebaskan karena terbukti tidak bersalah atau vonis terbukti tidak proporsional dengan kejahatan mereka.
Hukuan mati lebih mudah jatuh kepada orang-orang yang termarjinalkan. Mereka yang termarginalkan secara sosial dan ekonomi bisa lebih sulit mengakses bantuan hukum. Mereka yang bisa menyewa penasihat hukum mahal punya kesempatan lebih besar untuk lolos dari hukuman mati.
BACA JUGA: Childfree dan Resesi Seks
Hukuman mati sering digunakan dalam sistem peradilan yang tidak adil. Dalam banyak kasus yang dicatat Amnesty International, orang-orang dieksekusi setelah dihukum dalam persidangan yang sangat tidak adil, atas dasar bukti tidak benar yang didapat dari hasil penyiksaan dan dengan pendampingan hukum yang tidak memadai.
Negara-negara yang menerapkan hukuman mati yakin hukuman mati adalah cara terakhir untuk mencegah orang melakukan kejahatan. Tujuannya adalah menciptakan efek jera untuk mengurangi kejahatan.
Para pengritik hukuman mati berpendapat bahwa ukuman mati sering digunakan sebagai alat politik. Beberapa negara yang tidak demokratis menggunakan hukuman mati untuk menghukum lawan politik. Lawan-lawan politik itu bisa saja dijebak dengan berbagai tuduhan palsu dan kemudian dijatuhi hukuman mati.
Terlepas dari kontroversi itu sekarang masih sangat banyak negara yang menerapkan hukuman mati. Amerika Serikat adalah salah satunya. Hukuman mati tetap dianggap sebagai faktor yang membuat orang berpikir untuk berbuat kejahatan.
BACA JUGA: Lahirnya Seorang Diktator
Kasus Ferdy Sambo menjadi kasus ‘’high profile’’ yang melibatkan polisi. Ia jenderal berbintang dua yang memimpin Divisi Propam yang menjadi penjaga wibawa dan marwah kepolisian. Tetapi dia malah melakukan kejahatan di lingkungan dinasnya sendiri, dan melakukan kejahatan terhadap anak buahnya sendiri.
Hukuman mati tidak menguak keseluruhan kasus Sambo. Kiprah Satgassus Merah Putih yang misterius, tuduhan keterlibatan jaringan perjudian beromset ratusan triliun, tidak terungkap sedikitpun dalam persidangan.
Menghukum mati Ferdy Sambo the Villain membuat banyak pihak lega. Tetapi, tampaknya, akan banyak hal rahasia yang terkubur dan tetap menjadi misteri bersama kematian Ferdy Sambo. (*)
Editor: DAD