Buya Hamka dan AR Baswedan: Sebuah Kesaksian Sejarah

KEMPALAN: Seorang kawan, lebih tepatnya Abang sepemikiran yang tinggal di Jakarta, mengirim via WhatsApp surat yang punya nilai sejarah. Surat itu ditulis Buya Hamka kepada sahabatnya, AR Baswedan.
Surat dibuat pada 21 November 1974. Surat berkisah akan perjalanan waktu disekitar tahun 1930-an.
Surat perkawanan yang dibangunnya dengan AR Baswedan, pendiri Partai Arab Indonesia (PAI), dalam bentangan waktu cukup lama. AR Baswedan adalah kakek Anies Baswedan– mantan Gubernur DKI Jakarta, yang saat ini digadang-gadang sebagai calon presiden di Pilpres 2024. Surat yang ditulis untuk sahabatnya, itu menampakkan konstruksi genetika nasionalisme Anies Baswedan, seolah titisan Sang Kakek. Marilah kita dengar kesaksian Buya Hamka.
Surat Buya Hamka itu lebih pada apresiasi akan idealisme sahabatnya dalam menanamkan cita-cita baru dalam kalangan peranakan. Bagaimana AR Baswedan menggariskan pedoman yang mesti ditempuh peranakan (keturunan Arab) dalam berbangsa, dan itu bahkan sebelum Indonesia merdeka.
Menanamkan nasionalisme dan cinta tanah air Indonesia, agar kaum peranakan nantinya tidak terisolasi oleh sikapnya sendiri. Sikap yang dipengaruhi kolonialis Belanda, yang memposisikan keturunan Arab, Cina dan India di atas kaum pribumi. Itu yang menyebabkan AR Baswedan berontak meluruskan pandangan keliru. Buya Hamka menggambarkan sikap sahabatnya itu dalam ungkapan surat cukup panjangnya:
Engkau berontak melawan isolasi itu. Engkau ingatkan kepada Anak Arab Indonesia, bahwa kalau ini dibiarkan berlarut-larut, hidup peranakan akan sama dengan nasib kiambang urat tak sampai ke bawah, pucuk tak sampai ke atas. Engkau bangkitkan ingatan mereka pada kenyataan, kepada realitas!
Surat yang dibuat itu lebih pada refleksi ingatan pada kawannya, itu saat melihat AR Baswedan muncul di sampul majalah Panjimas No 163. Di situ AR Baswedan menceritakan akan Partai Arab Indonesia.
BACA JUGA: Kisah Cucu dan Sang Kakek: Tukang Ketik Merenda Jalan Takdirnya
Buya Hamka lalu tergelitik untuk menulis surat pada sahabatnya. Surat kesaksian pengakuan dan cintanya pada tanah air Indonesia, dan integritas jalan hidup kebaikan yang dipilihnya. Menarik melihat surat itu, yang dibubuhi judul Saudaraku A.R. Baswedan, Taman Yuwana 19 Jogja.
Buya Hamka adalah seorang ulama besar, yang juga dikenal sebagai sastrawan handal. Maka dalam suratnya itu pun tidak kehilangan sentuhan narasi sastrawinya. Ingin sedikit membaginya pada Anda, dan itu pada paragraf awal ia memulai suratnya (sedikit pun tidak mengubah ejaan penyebutan kata yang dipakainya):
Sinar mata itu masih belum tunduk. Dia masih belum mengalah kepada umur yang telah mulai meningkat tua.
Itulah kesanku ketika menikmati Panjimas No. 163 yang laksana goreng pisang dalam kuali, diangkat satu dan dihidangkan langsung kepada sebelum yang lain ditarok dalam piring, untuk dihidangkan kepada umum.
AR Baswedan, kakek Anies, itu punya jejak sejarah yang tidak bisa dipandang sebelah mata. Menjadi pantas jika lalu sejarah kemudian mengakui kepahlawanannya, yang pada tahun 2018 negara menganugerahkan kepadanya gelar Pahlawan Nasional. (Buku menarik untuk melihat lebih jauh sosoknya, Biografi AR Baswedan, Membangun Bangsa, Merajut Keindonesiaan, Suratmin dan Didi Kwartanada, penerbit Kompas). Namun, Hamka dalam suratnya itu lebih memberi kesaksian berdasar pengalaman pribadinya, saat awal mula mengenalnya. Hamka menyampaikan dengan apa adanya.
Surat yang dibuat itu bukanlah sembarang surat. Bukan surat ala kadar menanyakan kabar masing-masing, seperti surat kebanyakan lainnya. Surat itu mengurai peran keturunan Arab di Indonesia dengan pernak-perniknya yang mengagumkan. Buya Hamka pun bicara berterus terang dalam surat yang kental dengan sejarah ini sampai hal sekecilnya, tapi punya makna sosiologis tidak kecil. Misal, satu aspek yang dilihatnya, dan itu tentang songkok yang dipakai orang-orang Arab saat itu. Katanya, Arab singkek (wulaiti) dan yang keturunannya (muwalad), itu bisa tergambar dari “songkok” kepala yang mereka pakai. Songkok khas Iraq hanya dipakai wulaiti, sedang yang muwalad sudah memakai songkok khas Indonesia, yang sebelumnya mereka itu memakai songkok jenis yang sama. Tambahnya, perubahan pada muwalad, itu bukan saja pada penutup kepala yang dipakai, melainkan “perobahan isi otak yang terletak dalam kepala!”
Dalam suratnya itu pun Buya Hamka menyebut nama-nama pahlawan masa lalu yang juga keturunan Arab. Disebutlah Fatahillah atau Syarif Hidayatullah, yang disebut juga dengan Sunan Gunung Jati, penyebar Islam di Jawa Barat. Dialah yang membendung serangan Portugis yang nyaris masuk ke tanah Jawa. Dikenal juga sebagai pendiri kerajaan Banten dan Cirebon, penakluk Galuh dan Pakuan. Pembuka pertama Sunda Kelapa, yang kemudian menukar namanya dengan Jayakarta. Dialah orang Aceh dari Pasai, peranakan Arab bangsa Syarif dari Hejaz.
Disebut pula beberapa nama lainnya, yang punya sejarah bagi embrio lahirnya bangsa Indonesia, yang itu dalam kesaksian Buya Hamka disebutnya sebagai peranakan Arab, yang lalu terintegral lebur pada wilayah di mana ia tinggal. Misal, ia menunjuk seorang ulama besar, yaitu Syaikh Abdush-Shamad Al-Falinbaniy, yang namanya merujuk pada daerah bernama Palembang. Lanjutnya, Maka tidaklah disebut apakah mereka “pribumi” atau warga negara, ayah wulaiti, anak peranakan. Dia orang Palembang, habis perkara!
BACA JUGA: Yuk Ngulik Anies, Yuk
Saudara Baswedan–selalu ia menyebut panggilan itu dalam suratnya, bukan Abdurrahman (inisial nama yang lalu dipakainya dengan AR)–melanjutkan suratnya:
Saya masih ingat, engkau hantarkan saya sampai ke Pekalongan. P.A.I di sana menyambut saya dengan satu rapat khusus. Di waktu itu engkau ulang lagi menguraikan cita-cita P.A.I sehingga faham betul.
Kesan saya ketika telah berpisah ialah bahwa saudara memberontak melawan dua penghambat. Penghambat pertama ialah “chauvenisme” kebangsaan Indonesia yang telah dididik bertahun-tahun meng-asing-kan orang Arab! Penghambat kedua ialah kebekuan peranakan Arab sendiri yang dinina-bobokan oleh ajaran datuk nenek negerinya bukan di sini, tetapi di Arab, jangan campur dengan anak negeri, karena itu menurunkan derajat kita, sebagai bangsa istimewa, sebangsa dengan Nabi!
Maka muncul ungkapan yang berbentuk ajakan dari AR Baswedan kala itu, yang juga disebut dalam surat Hamka itu, “… Sebab itu jalan selamat bagimu, di hari depanmu ialah leburkan diri ke dalam bangsa ibumu. Tanah airmu ialah Indonesia!”
Sikap AR Baswedan itu lebih pada bentuk peringatan, tapi oleh Buya Hamka digambarkan sebagai sikap berontak.
Berontak bukan saja kepada perasaan “tinggi setingkat” lalu isolasi, tetapi berontak juga kepada rasa kebangsaan, atau nasionalisme Indonesia yang baru saja tumbuh, baru saja dikobar-kobarkan, yang orang Belanda turut menanamkannya. Yaitu bahwa orang Arab ialah orang asing! Malahan sampai kepada agama Islam itu adalah agama asing, sebab dia agama orang Arab yang asing itu!
Sedang ditanamkan didikan kepada anak negeri membenci orang Arab. Di saat itu engkau jelaskan sikap: “Kami adalah bangsa Indonesia!
Kami pun mencintai tanah air kami, walaupun orang berusaha menyisihkan kami!
Saudara Baswedan!
Saya renungkan sekali lagi fotomu di omsing muka Panjimas No. 163; Engkau telah mulai tua sebagai juga aku. Tetapi mata masih bersinar berapi-api, menunjukkan keyakinan akan kebenaran pendirian. Dan membayangkan juga rasa syukur, karena golonganmu tidak lagi bermimpi tentang padang pasir melainkan hidup dalam alam kenyataan: “Kami adalah bangsa Indonesia! Tak ada kekuatan yang dapat menyisihkan kami!”
Demikian Hamka mengakhiri suratnya. Surat penuh kenangan pada seorang sahabatnya, AR Baswedan. Surat yang lebih pada kesaksian sejarah akan sosoknya. Sosok yang digambarkannya tak lelah berjuang sampai usia menua. Buya Hamka mengilustrasikan itu dengan indah.
Sinar mata itu masih belum tunduk. Dia masih belum mengalah kepada umur yang telah mulai meningkat tua. (*)
