Peran Ulama dan Tentara dalam Kepemimpinan NKRI
KEMAPALAN: KITA mendengar kabar suksesi kepemimpinan TNI beberapa hari ini. Kepemimpinan Panglima Jendral Andhika akan dilanjutkan oleh Panglima Laksamana Yudo KSAL saat ini. Menjelang tahun politik 2023, ummat Islam sebagai stakeholders terbesar bangsa ini perlu mencermati agenda politik nasional ini. Panglima Yudo telah berjanji akan bersifat netral, sementara Presiden Jokowi tampak tidak netral.
Sementara itu tudingan politik identitas dialamatkan ke ummat Islam, terutama setelah pencapresan Anies Baswedan oleh Parpol Nasdem. Sulit untuk tidak melihat kesan bahwa rezim Jokowi telah menempatkan ummat Islam dalam posisi yang sulit, jika bukan bermusuhan. Hujan di hulu belum teduh, luka Pilgub DKI Anies vs Ahok dulu belum sembuh.
Tentara memang harus lebih taat pada komando, bukan komandan, yaitu taat pada konstitusi. Namun ini telah menimbulkan problematika karena UUD2002 telah mengganti UUD1945. Akibatnya national misgovernance kita saat ini telah melahirkan banyak deformasi kehidupan berbangsa dan bernegara karena telah memunculkan banyak free riders dalam penyediaan polity as public goods, sehingga pasar politik kita, menurut Mulyadi, dimonopoli oleh para bandit, bandar dan badut politik. Akibatnya Pemilu hampir selalu berujung pada kepiluan publik.
Tata kelola pemerintahan saat ini telah menyebabkan POLRI yang langsung di bawah Presdien gagal mengemban misi melindungi dan mengayomi masyarakat, bahkan makin brutal dan mematikan bagi masyarakat. Kasus satgasus Merah Putih yang dipimpin Ferdi Sambo saat ini menyisakan pertanyaan reformasi POLRI. Mestinya, POLRI seperti TNI, berada di bawah kepemimpinan sipil seorang menteri. Mungkin bukan Mendagri, tapi Menteri Keamanan Dalam Negeri, seperti TNI di bawah Menhankam. POLRI makin mudah diperalat oleh kekuasaan untuk kepentingan2 politik jangka pendek oleh para free riders politik itu.
Suksesi kepemimpinan nasional saat ini memiliki dua dimensi agar NKRI bisa lolos menjadi kekuatan baru di Asia baik secara ekonomi, politik maupun militer di tengah pergeseran pusat2 ekonomi dan politik dunia, ancaman stagflasi dan kehancuran ekosistem global. Dimensi pertama adalan pergantian komandan, yaitu presiden. Dimensi kedua adalah pergantian komando, yaitu konstitusi. Pergantian komandan tanpa pergantian komanda hanya akan melahirkan presiden boneka para bandit, bandar dan badut politik. Kita membutuhkan TNI yang lebih setia pada UUD45 daripada pada UUD2002.
Banyak pihak telah mencoba mengkerdilkan peran ulama dalam pembentukan NKRI. Padahal Ulama telah terbukti memiliki peran instrumental dalam penyiapan komando proklamasi, yaitu UUD45, juga penyiapan Badan Keamanan Rakyat sebagai embrio ABRI lalu TNI. Laskar Sabilillah dan Hizbullah binaan para ulama berbasis pesantren adalah komponen utama BKR disamping PETA binaan Jepang dan KNIL binaan Belanda. Sabilillah dan Hizbullah diinspirasi oleh peran P. Diponegoro sebagai ulama dalam melawan penjajah Belanda. Laskar P. Diponegoro barangkali adalah tentara paling terlatih yg pernah ada di zaman pra-kemerdekaan. Laskar Diponegoro ini telah mengagetkan jendral de Kock karena telah mengadopsi struktur, simbol, dan strategi tentara Kekhalifahan Ustmany di Turki.
Hampir semua laskar dan angkatan perang di dunia selalu meminta dukungan spiritualitas dari langit melalui doa para tokoh agama. Mereka ingin gugur syahid, bukan mati sangit. Oleh karena itu siapapun panglima TNI perlu menyadari fakta sejarah ini. Di bawah Panglima Yudo, mungkin kepiawaian berkuda dan memanah laskar Diponegoro perlu diperkuat dengan kepiawaian pelaut Majapahit di bawah asuhan Patih Gaj Ahmada untuk menjaga negara kepulauan ini.
Kita berharap Panglima Yudo menyatakan kesetiaannya pada komando warisan para ulama negarawan pendiri bangsa agar pergantian komandan yang akan datang ini akan melahirkan seorang mandataris MPR untuk mewujudkan cita2 Proklamasi 17 Agustus 1945 yaitu sebuah bangsa yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur yang diberkati Allah swt. Bukan petugas partai, apalagi boneka oligarki para bandit, bandar dan badut politik. (*)
Editor: DAD
