Pemilu 2024, Anies Mengusung Demokrasi, yang Lain Perebutan Kekuasaan
KEMPALAN: PILPRES 2024 sejatinya merupakan wujud praktik demokrasi untuk mendapatkan pemimpin yang baik dan dikehendaki rakyat.
Sebagai sebuah praktik demokrasi, pemilu diharapkan dapat memilih pemimpin yang mempunyai gagasan, ide, mampu menarasikan dan mengeksekusi menjadi sebuah kebijakan yang berpihak pada kepentingan rakyat, mencerdaskan, mempersatukan, adil dan mensejahterakan.
Namun sayangnya praktik demokrasi yang seharusnya baik itu kini dicemari dengan ambisi perebutan kekuasaan. Ini mengingatkan kita pada praktik perebutan kekuasaan pada raja – raja, bahkan praktik penunjukan telanjang dipertontonkan oleh Jokowi, ketika menghadiri HUT Golkar dengan mengatakan bahwa jangan sembrono memilih presiden, jangan sembrono itu dimaknai harus sesuai dengan pilihannya dan pikirannya. Hal terbukti ketika menghadiri HUT Perindo, Jokowi mengatakan bahwa 2024 adalah giliran Pak Prabowo.
BACA JUGA: Tak Siap Kalah, Residu Demokrasi Mengembangkan Fitnah untuk Menjatuhkan Kandidat Lain
Praktik perebutan kekuasaan dizaman raja – raja sebagaimana yang terjadi, khususnya di Jawa selalu diwarnai pertumpahan darah dan pembunuhan. Peristiwanya selalu diawali dengan intrik, memecah belah, tipu muslihat, mengorbankan, bermain dua dan bahkan tiga kaki, lalu mengorbankan yang dianggap lemah, selanjutnya mengambil keuntungan.
Salah satu contoh praktik licik perebutan kekuasaan yang dilakukan oleh Ken Arok saat berkeinginan merebut singgasana kerajaan Singhasari. Mengorbankan Kebo Ijo yang suka dengan pencitraan, pamer dan publikasi. Watak Kebo Ijo yang seperti itu dimanfaatkan oleh Ken Arok dengan meminjamkan keris yang ia pesan dari Empu Gandring.
Dengan bangga dan pongahnya, Kebo Ijo memamerkan keris pinjamannya, mengaku bahwa keris itu miliknya, disaat yang tepat, Ken Arok mengambil keris itu dan digunakan untuk membunuh Tunggul Amaeutung.
