Menjawab dengan Tidak Menjawab
KEMPALAN: Menjawab dengan tidak menjawab, itu sebuah pilihan. Biasa dilakukan mereka yang berpikir fokus. Membalas selalu dengan karya, memilih dengan kerja terukur. Pantang mau menjawab mereka yang bekerja dengan motif buruk.
Anies Baswedan biasa memilih jalan “menjawab dengan tidak menjawab”. Tidak sedikit pun memberi ruang, apalagi peluang pada mereka yang memperdebatkan hal-hal tidak substansial. Membuat hidup tersandera oleh pembicaraan yang berputar dari itu ke itu, tak bernilai.
Menjadi hal biasa jika Anies selalu diganggu, bahkan dengan intensitas makin meninggi, dan ia tanpa membuat pembelaan. Anies memilih menjawab dengan tidak menjawab. Meski gangguan itu sampai tahap keterlaluan.
“Mereka menjadi semacam brand ambassador kita. Yang mengkampanyekan program kita secara luas. Walaupun rasanya kritik, tapi saya mempercayai warga Indonesia mengedepankan akal sehat. Mengedepankan obyektifitas,” sindir berkelas Anies.
BACA JUGA: Layaknya Peran Antagonis Menghabisi Anies Baswedan
Menjawab dengan tidak menjawab–dan jika menjawab tidak mengkhususkan pada satu persoalan–itu bukan perkara mudah. Tidak semua bisa melakukannya. Bahkan sulit bisa disebut sebagai ilmu yang bisa ditularkan. Itu menyangkut kemampuan seseorang dalam memenej hati. Dan, Anies pandai mengontrol emosi. Anies punya kualitas emosi (emotional quality) di atas rata-rata. Tidak tampak gestur dan wajah risau, meski dicaci tidak seharusnya.
Mendekati purna tugas 16 Oktober, bukannya kendor caci maki menghantam Anies. Sepertinya makin digenjot menjadi-jadi. Seolah mampu membalikkan opini kecintaan publik, yang melekat pada Anies. Mereka bekerja seperti berkejaran dengan waktu menghabisi Anies.
Tidak cukup buzzerRp yang terus membombardir, khususnya lewat media sosial. Tapi sepertinya juga perlu mengerahkan pakar hukum yang mendalilkan hukum, bahwa ada niat buruk ( mensrea) yang dilakukan Anies pada penyelenggaraan Formula E.
Anies tetap memilih menjawab dengan tidak menjawab. Tapi tidak pakar hukum “lurus” lain, yang perlu menjawab pandangan dalam mendalilkan hukum yang keliru. Maka, perdebatan hukum dikalangan pakar hukum akhir-akhir ini jadi berita menyesakkan dada.
BACA JUGA: Biar Saja Jika Anies Terus Dizalimi, Itu Cara Tuhan Mengangkat Derajatnya
Anies tetap memilih menjawab dengan tidak menjawab. Tapi kalangan tertentu perlu melawan opini buruk yang terus disasarkan padanya. Seolah opini dilawan dengan opini. Masyarakat dituntut jernih melihatnya.
Sepertinya pilihan terus menyebarkan opini buruk, akan makin menjadi-jadi. Seperti tidak ada pilihan lain “menghabisi” Anies dengan cara lebih elegan. Meski sampai saat ini, cara-cara yang dipakai itu justru menebalkan rakyat makin tidak mempercayainya.
Masyarakat sepertinya sudah punya parameter sendiri dalam penilaian atas opini yang dimunculkan. Itu tergambar pada elektabilitas Anies yang bukannya rontok, tapi justru menguat-meninggi. Pertanda cara-cara menggunakan jasa buzzer, lembaga survei berbayar, atau pengamat lintas kepakaran, yang jasanya dipakai untuk maksud jahat, tidak efektif menjungkalkan Anies.
Puncaknya 3 Oktober, Partai NasDem “meminang” Anies Baswedan jadi Capres 2024 pilihannya. Pastilah dengan pertimbangan dan hitungan-hitungannya sendiri, bahwa Anies punya kans untuk memenangkan Pilpres. Tidak mustahil langkah NasDem akan diikuti partai politik lainnya.
Pilihan Anies “menjawab dengan tidak menjawab”, itu efektif melawan kekuatan, yang meski tak tampak, tapi terus dihadirkan membuat opini buruk. Sepertinya itu tak akan diakhiri, sampai yakin bahwa Anies gagal dicapreskan. Menyeret tangan komisi anti rasuah (KPK) akhir-akhir ini, makin jelas terlihat. Menarik-narik Anies untuk ditersangkakan. Akankah Anies tergelincir jatuh oleh skenario jahat yang dipaksakan. Semua berpulang bagaimana rakyat menyikapinya. (*)