Bang Edi (1955-2022)
KEMPALAN: Namanya mentereng dengan gelar profesor doktor. Lebih mentereng lagi, karena dia menyandang gelar bangsawan ‘’Order of British Empire’’ CBE dari Inggris yang membuatnya berhak menyandang gelar Sir. Tapi, bagi orang-orang terdekatnya, ia lebih dikenal sebagai Bang Edi yang sederhana dan suka menonton sepak bola—terutama ketika Manchester United bermain–dan mendengarkan musik.
Itulah Azyumardi Azra yang meninggal dunia Minggu (18/9) di Malaysia dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta, Selasa (20/9). Belum pernah kita saksikan rasa kehilangan yang begitu besar terhadap kematian seorang intelektual seperti yang kita saksikan terhadap almarhum Bang Edi.
Kita sudah pernah kehilangan beberapa intelektual besar seperti Noercholish Madjid, dan Abdurrahman Wahid dari kalangan cendekiawan muslim. Dari kalangan kampus kita pernah kehilangan cendekiawan besar seperti Soedjatmoko, Umar Kayam, dan beberapa lainnya. Kita merasakan kehilangan yang besar ketika para intelektual itu pergi. Ada rasa kekosongan, ada waktu yang kosong, empty time, yang ditinggalkan oleh para intelektual itu. Azyumardi secara harfiah sudah meninggal dunia, tetapi legasi pemikirannya akan tetap hidup.
Ia akan dikenang sebagai intelektual yang komplet. Wawasan keilmuannya mumpuni di bidang sejarah Islam, sosiologi, dan antropologi. Ia kemudian turun gunung membuktikan dirinya sebabai intelektual organik ala Gramsci, yang berani berkata jujur terhadap kekuasaan.
Empat bulan terakhir masa hidupnya dibaktikannya sebagai ketua Dewan Pers. Masa yang sangat singkat, tetapi Bang Edi sudah menunjukkan komitmennya untuk menjaga kebebasan pers. Dengan gigih ia berbicara dengan berbagai kalangan untuk memberi masukan terhadap rancangan undang-undang KUHP yang pada beberapa bagiannya mengancam kebebasan pers.
Beberapa tahun yang lalu Tom Nichols sudah memproklamasikan kematian intelektual, kematian para pakar, dalam bukunya ‘’The Death of Expetise’’. Dunia digital melahirkan gangguan besar, great disrupstion, di dalam sebuah faset kehidupan, termasuk kehidupan intelektual. Pada zaman internet sekarang ini tidak ada seorang pun yang bisa mengendalikan kebenaran.
Semua orang merasa menjadi expert, menjadi ahli mengenai apa saja. Tidak peduli seberapa kemampuannya, tidak peduli apakah pengetahuannya memenuhi syarat minimal, dunia internet memberi kesempatan kepada siapapun untuk menjadi expert.
Dalam ilmu psikologi ada istilah ‘’Efek Dunning-Kruger’’ fenomena yang dapat didefinisikan sebagai bias kognitif di mana seseorang keliru menilai kemampuan yang dimiliki diri sendiri. Individu yang mengalami Dunning-Kruger Effect akan merasa kemampuan mereka jauh lebih tinggi dari yang sebenarnya. Bias ini dikaitkan dengan ketidakmampuan metakognitif untuk mengenali kemampuan mereka sendiri.
Salah satu penyebab terbesar munculnya Dunning-Kruger Effect adalah sifat egoistis. Tentu, setiap orang tidak ingin berpikir bahwa ia adalah orang yang tidak memiliki kemampuan. Hal ini membuat orang meningkatkan penilaian terhadap dirinya dan mengabaikan kelemahan diri. Dan sering kali hal itu dilakukannya seara sengaja supaya eksis.