Pilpres 2024, Politikus Tanpa Kehormatan, dan Tragedi Yunani
KEMPALAN: “TIDAK ada pengkhianatan atau kekejaman yang partai politik tidak mampu lakukan. Karena di dalam politik, tidak ada honour (kehormatan),” kata Benjamin Disraeli, Perdana Menteri Inggris 1874. Disraeli awalnya dikenal sebagai sastrawan kemudian menjadi salah satu negarawan Inggris Raya pada abad ke-19 yang sangat berkompeten.
Lebih seabad setelah itu apa yang dicemaskan Benjamin Disraeli, tampak nyata di dalam kehidupan demokrasi kita. Kita temukan fakta para elit politik tanpa kehormatan.
Tidak usah mencari jejak digital sampai jauh. Hari ini, saat Pemilu 2024 masih jauh saja, kita sudah diguncang manuver tiga ketua umum parpol mewacanakan penundaan Pemilu 2024 awal tahun ini. Menggoreng isu penambahan masa jabatan presiden atau menambah menjadi tiga periode.
Simpan di memori kolektif Anda, nama- nama Ketua Umum Parpol dimaksud, yaitu Zulkifli Hasan ( PAN), Muhaimin Iskandar ( PKB), dan Airlangga Hartarto ( Golkar). Manuver ketiganya itulah yang bikin gaduh dan mengakibatkan keterbelahan di tengah masyarakat. Yang fatal, karena pengaruhnya hendak mengajak sekalian rakyat mengkhianati konstitusi, UUD 1945. Masa jabatan Presiden RI paling banyak dua periode seperti diatur dalam pasal 7 UU 1945. Menjadi komitmen mendasar gerakan reformasi di tahun 1998 untuk membatasi kekuasaan Presiden RI.
Manuver itu kemudian mendapat dukungan dari Menko Maritim dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan, yang mengklaim, konon, berdasar big datanya, 110 juta rakyat Indonesia mendambakan terus dipimpin oleh Jokowi. Empat elit itu mengajukan dua skema. Pertama, mengubah masa jabatan dari dua periode menjadi tiga periode. Skema kedua, menambah masa jabatan 2-3 tahun jabatan Presiden Jokowi.
Alasannya agar Jokowi dapat merampungkan agenda pemulihan ekonomi akibat dua tahun lebih terganggu pandemi Covid-19. Catat, keempatnya adalah “orang dalam” Istana. Ketua Partai Demokrat, Andi Arief pun, waktu itu, langsung lempeng telunjuknya menuding mereka disuruh Jokowi.
Hari-hari setelah wacana itu di lontarkan suhu politik langsung panas. Ada perlawanan dari para aktivis yang militan, pakar hukum, para intelektual, melawan pikiran sesat orang dalam Istana itu.
Wacana itu sesaat kemudian mengendur, dikendurkan oleh Jokowi sendiri yang setelah didesak pelbagai kalangan, menyangkal wacana itu menjadi cita-citanya. Tetapi pernyataan itu rasanya bersifat politis, sesaat hanya untuk meredakan kegaduhan.
Belakangan kita menyaksikan gerakan ” 3 periode” atau ” perpanjangan 3 tahun” belum lenyap sama sekali. Gerakan yang menurut informasi memang sudah dirancang sejak lama. Disuarakan secara terang – terangan maupun terselubung. Terus terang, sedih kita mendengar selentingan kabar bahwa wacana penambahan periode jabatan presiden sudah mengemuka di lingkungan Istana pada tahun 2019, tidak lama setelah Jokowi memenangkan Pilpres. Tiga bulan sebelum pelantikan untuk periode kedua.
