Tiba-tiba Semuanya Mendadak Alim

waktu baca 4 menit
Erick Thohir

KEMPALAN: Pilpres masih dua tahunan lagi. Masih cukup lama. Tapi persiapan menuju Pilpres bagi yang punya syahwat nyapres, rasanya waktu itu sudah dekat. Maka persiapan pun dibuat sedetail mungkin. Bahkan penampilan diri pun dibuat lagaknya seperti ulama, yang sehari-hari tak lepas dengan songkoknya.

Bagi yang niat nyapres penampilan kudu dirubah. Membiasakan sehari-hari berkostum takwo dan syal menjuntai di leher. Semua jadi tampak alim. Tak lupa doa, jika mesti berbicara dihadapan komunitas tertentu. Salam penutup yang biasa disampaikan pada setiap sambutan pun dihafalnya dengan baik. Disesuaikan dengan komunitas yang ada. Bagian dari mengambil hati tuan rumah, agar bisa dianggap bagian dari komunitasnya.

Aktif menyambangi tokoh panutan umat, hadir pada kegiatan majelis taklim, dan komunitas muslim lainnya. Mendatangi Pondok Pesantren jadi rutinitas sehari-hari. Meski jabatan publik yang disandangnya sebagai menteri, tidak menyurutkan langkahnya untuk bersafari. Ada saja yang ditawarkan sebagai bentuk kerja sama dengan instansi yang dipimpinnya, itu agar tidak terkesan jalan-jalan mengabaikan pekerjaan selaku pejabat publik.

Kepedulian pada pondok pesantren dan komunitas muslim menjadi meningkat. Seolah berlomba berkejaran dengan waktu dalam menegakkan syiar agama. Seolah bagian dari pertanggung jawaban yang akan dibawa nantinya di hadapan Tuhan.

Hal demikian sepertinya sudah jadi tradisi menjelang lima tahunan. Entah itu pemilihan kepala daerah, pemilihan wakil rakyat di lembaga legislatif apalagi pemilihan presiden. Khususnya yang ingin nyapres, mengunjungi komunitas muslim jadi langganan. Berharap elektabilitas naik, yang itu bisa dilirik partai politik untuk mengusungnya.

Untuk Pilpres yang masih dua tahunan lagi (2024), persiapan menyambutnya jauh hari sudah dilakukan. Meski belum ada partai resmi mengusungnya, tetap saja pasang kuda-kuda jauh hari, siapa tahu dirinya yang terpilih, persiapan sudah dimulainya. Selanjutnya, tinggal tancap gas saja. Tidak memulai dari nol.

Bagaimana jika dirinya tak dapat tiket sebagai Capres/Cawapres, sedih pastilah yang dirasa. Apalagi nilai rupiah sudah digelontorkan tidak sedikit. Tapi mau apa lagi. Bisa jadi pihak lain punya persiapan lebih strategis, dan karenanya elektabilitasnya lebih tinggi, dan itu yang terpilih. Namun tetap berharap jerih payahnya membantu memberdayakan pesantren misal, bisa dihitung sebagai amal jariah. Meski niat awal tidak demikian. Soal itu ia berharap bisa kompromi dengan Tuhannya.

Mendadak alim, itu bagian dari strategi “menjinakkan” umat Islam khususnya, agar ia bisa dilihat sebagai pribadi yang bekerja dengan sandaran ibadah. Meski sebelumnya perangainya tidak mencerminkan demikian. Bahkan jauh dari itu. Ia tidak merasa risih memilih peran yang sebenarnya bukan disitu tempatnya mengabdi. Demi jabatan yang diinginkan, jabatan yang lebih tinggi tentunya, merubah peran menjadi lumrah dilakukan.

Semua mendadak alim, berebut menjadi paling alim. Maka seperti parade peragaan busana muslim saja layaknya. Sehari-hari bukanlah lagi jas atau kemeja batik yang dikenakan, tapi pakaian kokoh koleksi berbagai warna dan corak. Menjadi rajin sholat berjamaah, sambil menyapa jamaah dengan keramahan tingkat tinggi.

Tentu tidak hanya komunitas umat Islam yang didatangi. Tapi juga umat agama lain. Maka tampil di vihara Budha pun dilakukan, meski bukan pada hari keagamaan. Seperti orang tidak punya kerjaan saja. Hanya sekadar datang menyapa komunitas Tionghoa di sana. Tidak lupa sudah siap dengan pakaian khas Tionghoa warna merah menyala atau bahan kain hitam legam mengkilap. Merasa tidak jengah, meski jabatan yang disandang tidak punya korelasi dengan aktivitas yang dilakukan.

Beda jika yang melakukan itu seorang kepala daerah, yang memang berdiri di atas semua golongan. Menjadi lumrah jika hadir dalam kegiatan umat beragama, meski tidak sampai ikut dalam peribadatannya. Anies Baswedan, Gubernur DKI Jakarta, selalu hadir dalam kegiatan keagamaan tingkat provinsi. Datang memberi sambutan selayaknya sebagai kepala daerah. Merasakan kebahagiaan warganya yang merayakan hari besar agamanya.

Semua disesuaikan dengan tugas dan kewajiban selaku kepala daerah, yang mengayomi dan memastikan perayaan acara keagamaan berlangsung dengan baik dan khidmat. Memastikan bahwa bangunan toleransi itu tegak di wilayah kerjanya dengan seadilnya.

Mendadak menjadi alim intensitasnya akan terus menaik meninggi sampai tak dapat dinilai nalar waras sekalipun. Makin mendekati Pencapresan, akan makin jor-joran berlomba menarik minat publik melihatnya sebagai yang pantas untuk dipilih. Maka, asesori yang bisa menampakkan ia alim, akan terus dipakai. Bagian dari pencitraan diri “mendadak alim”.

Jika ditanyakan siapa pejabat saat ini yang paling bisa disebut tokoh “mendadak alim” pada sepuluh orang, maka sebelas orang akan menjawab, Erick Thohir. Ya ET, panggilan akrabnya, yang paling pantas disebut pejabat yang tampilannya paling mendadak alim. Sebagai Menteri Negara BUMN, ia lagaknya seperti Menteri Agama saja, bahkan lebih dari itu. Lebih mendadak alim.

Mengapa harus sampai sebelas orang yang menjawab, sedang yang bertanya hanya sepuluh orang. Yang kesebelas, itu yang bertanya, yang punya pandangan sama, bahwa ET yang dianggapnya paling mendadak alim. Apakah yang dilakukan ET itu salah, sepertinya tidak ada yang salah. Buktinya Pak Bos tidak menegurnya. Tapi setidaknya yang dilakukan meski itu baik–menjadi mendadak alim–itu kurang etis, tidak selayaknya pejabat meninggalkan tugas utamanya. Tapi hal itu seperti sudah dianggap hal biasa. (*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *