Buya

waktu baca 6 menit
Foto: MI/Rommy Pujianto

KEMPALAN: SEJARAH literatur Barat mengenal ‘’Three Musketeers’’, sejarah pergerakan kemerdekaan Indonesia mengenal ‘’Tiga Serangkai’’, dan sejarah pergerakan pemikiran Islam Indonesia mengenal ‘’Tiga Pendekar’’.

Three Musketeers adalah tiga pendekar rekaan dalam novel karya Alexander Dumas. Tiga Serangkai Indonesia adalah tiga tokoh pejuang kemerdekaan Indonesia, Douwes Dekker, Tjipto Mangunkoesoemo, dan Soewardi Soerjaningrat yang mendirikan Indische Partij pada 1912. Sedangkan Tiga Pendekar adalah julukan untuk tiga pemikir pembaruan Islam Indonesia, Ahmad Syafii Maarif, Amien Rais, dan Noercholish Madjid.

Julukan Tiga Pendekar itu dilontarkan oleh Abdurrahman Wahid alias Gus Dur pada sebuah kesempatan pada 1993 untuk menggambarkan kiprah tiga tokoh itu dalam gerakan pemikiran pembaruan Islam di Indonesia. Gus Dur, tentu saja, termasuk salah satu pendekar, tapi dia beda perguruan dari Tiga Pendekar itu.

Gus Dur menyebut mereka dalam satu rangkaian karena tiga orang itu sama-sama lulusan Chicago University dan sama-sama mendalami kajian Islam di universitas itu. Tiga orang itu juga sama-sama mencecap ilmu dari suhu pendekar pemikiran Islam Fazlur Rachman.

Karena itu Gus Dur menyebut trio itu sebagai ‘’Tiga Pendekar Chicago’’. Sebutan ini menunjukkan respek Gus Dur kepada tiga orang itu. Biasanya Gus Dur suka selengekan dan bisa saja menyebut ‘’Mafia Chicago’’, sebagaimana sebutan ‘’Mafia Berkeley’’ untuk menyebut gang pemikir ekonomi liberal anak buah Widjojo Nitisastro. Tapi Gus Dur memilih menyebut Tiga Pendekar sebagai rasa hormat kepada tiga orang itu.

BACA JUGA: Salvador Ramos

Tiga pendekar itu sama-sama lulus dari satu padepokan dan belajar ilmu yang sama. Dalam perjalanannya kemudian mereka menjadi pendekar dalam gerakan pemikiran Indonesia. Noercholish Madjid sudah terlebih dahulu wafat pada 2005, dan Syafii Maarif wafat Jumat hari ini (27/5) dalam usia 87 tahun.

Tiga pendekar itu berbeda jalan. Noercholish Madjid, Cak Nur, adalah pendekar pemikiran Islam liberal yang kontroversial. Gagasannya mengenai sekularisasi menjadi kontroversi terbesar dalam sejarah pemikiran Islam Indonesia. Jargon Cak Nur ‘’Islam Yes, Partai Islam No’’ ditentang sekaligus dikagumi oleh banyak intelektual Indonesia.

Syafii Maarif memilih jalan yang lebih teduh dan aman ketimbang Cak Nur. Syafii lebih memilih jalan Islam sebagai rahmatan lil alamin, Islam sebagai perekat dan pengayom kebhinekaan. Syafii lebih memilih jalan sebagai guru bangsa. Semua orang menghormatinya dan menyebutnya sebagai ‘’Buya’’, Abuya, bapak kita, bapak bangsa kita.

Sepeninggalan Cak Nur dan juga Gus Dur,  Amien Rais dan Buya Syafii yang terus mewarnai dinamika pemikiran dan gerakan sosial-keagamaan serta politik di Indonesia. Pada akhirnya ketika sampai pada tataran politik praktis, dua pendekar Chicago itu berpisah jalan; Amien Rais konsisten menempuh jalur oposisi melawan rezim, Buya Syafii konsisten menempuh jalan dakwah kebhinekaan bersama rezim Joko Widodo.

Sama-sama lahir dari rahim  Muhammadiyah, dua tokoh ini memiliki ekspresi intelektual yang berbeda. Pak Amien lebih kental dengan intelektual gerakan yang sangat kritis dan revolusioner menyatu dengan massa. Sementara Buya Syafii adalah cendekiawan yang menebar kasih menjahit keindonesiaan. Teguh memperjuangkan hak-hak minoritas, pluralisme, dan menjaga kebhinekaan dengan tulus dan bijak

Pak Amien lebih fokus pada gerakan massa, kepartaian, dan tidak segan untuk turun ke jalan. Buya Syafii hampir tidak pernah turun aksi ke jalan bersama massa menyuarakan aspirasi-aspirasi politik, menentang pemerintah, atau berorasi di tengah massa rakyat.

Sikap kontras dua tokoh itu mulai terlihat kontras ketika menyikapi kasus penistaan Alquran oleh Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok pada 2017. Pak Amien aktif bersama umat Islam turun ke jalan melalui Aksi Bela Islam, sementara Buya Syafii lebih memilih jalan damai. Buya melihat Aksi Bela Islam lebih kental muatan politiknya dan ia gelisah ketika umat masih belum menerima bahwa Indonesia adalah rumah bersama tanpa membedakan latar belakang agama, suku, dan ras.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *