Metaverse Fenomena Hiperrealitas

waktu baca 5 menit
ilustrasi metaverse dan hiperrealitas (foto: ist)

KEMPALAN: Kita sering mendengar kata hiper. Ada hiperseks dan hipertensi (biologis), hiperbola (bahasa), hiperaktif (psikologis). Dan juga dalam proses berbudaya ada hiperrealitas yang ada dalam Disney World, boneka Barbie, televisi, komputer, internet ataupun bahkan hypermarket. Dan, yang terakhir terkait trend membangun metaverse yang juga esktensi dari hiperrealitas.

Nah, membincang hiperrealitas, kita akan mengalami dead end pada dua tokoh: Jean Baudrillard dan Umberto Eco. Secara konsepsional, keduanya berbeda.

Berawal dari pemikiran Marshall McLuhan saat ia menerbitkan Understanding Media: The Extensions of Man, Jean Baudrillard mengadaptasinya: perkembangan teknologi informasi yang semakin mutakhir tidak hanya dapat memperpanjang fungsi organ pada manusia, tapi (lebih hebat lagi) mampu menghasilkan duplikasi dari manusia, mampu membuat fantasi atau fiksi ilmiah menjadi nyata, mampu mereproduksi masa lalu, atau ‘melipat’ dunia sehingga tak lebih dari sebuah layar kaca, disket atau memory bank.

Jean Baudrillard memakai dua kunci: Simulasi dan Simulakra dalam menjelaskan konsep hiperrealitas. Simulasi merupakan proses saat representasi (gambaran) atas suatu objek justru menggantikan objek itu sendiri, dimana representasi itu menjadi hal yang lebih penting dibandingkan objek tersebut. Analoginya, bila suatu peta merepresentasikan (menggambarkan) suatu wilayah, maka dalam simulasi, justru peta-lah yang mendahului wilayah. Atau misalnya jam Rolex imitasi ternyata mengalahkan jam aslinya, bahkan yang aslinya dikira yang palsu. Yang tidak nyata jadi lebih nyata dari yang nyata.

Di dalam wacana simulasi, manusia mendiami suatu ruang realitas dimana perbedaan antara yang benar dan palsu menjadi tipis (manusia hidup dalam suatu ruang khayal yang nyata). Misalnya discovery channel pada televisi, sebenarnya hampir sama nyatanya dengan pelajaran IPA di sekolah, karena sama-sama menawarkan informasi mengenai kehidupan flora dan fauna pada anak-anak.

Ada 4 hierarki/tahap dalam simulasi: Pertama, ketika suatu tanda dijadikan refleksi dari suatu realitas. Misal: seni adalah wujud dari realitas. Kedua, ketika suatu tanda sudah menutupi dan menyesatkan realitas itu sendiri. Misal: Gaul itu adalah dengan menonton acara favorit di media: drama korea. Ketiga, ketika suatu tanda menutupi ketiadaan dari suatu realitas. Misalnya: Disneyland, yang sebenarnya hanya ada dalam khayalan anak-anak namun dibuat menjadi nyata untuk menutupi ketiadaan Disneyland tersebut. Dan keempat, akhirnya tanda tersebut menjadi sesuatu yang tidak ada hubungannya sama sekali dengan realitas, dan ini lah yang disebut Baudrillard sebagai Simulakra. Misalnya: Dunia The Matrix dalam film yang dibintangi Keanu Reeves.

Simulakra ini memungkinkan manusia untuk mendiami satu ruang yang sarat akan duplikasi dan daur ulang dari berbagai fragmen dunia yang berbeda-beda pada waktu yang sama. Misalnya masyarakat Bandung yang mengkonsumsi kopi ala starbucks di tempat perbelanjaan Cihampelas Walk; atau remaja SMA yang saling berkenalan dalam dunia facebook atau tik tok. Nah, seperti Shopping Malls, Televisi, dan facebook itu lah yang merupakan miniatur dari dunia yang dilipat.

Sedangkan Umberto Eco dalam Tamasya dalam Hiperrealitas, menggunakan istilah-istilah seperti copy, replica, replication, imitation, likeness, dan reproduction –tepatnya simulakrum—untuk menjelaskan apa yang disebutnya dengan hiperrealitas. Menurut Eco, hiperrealitas adalah segala sesuatu yang merupakan replikasi, salinan atau imitasi dari unsur-unsur masa lalu yang dihadirkan dalam konteks masa kini sebagai bentuk dari nostalgia.

Eco melihat fenomena hiperrealitas sebagai persoalan pen-jarak-kan (distantion), yakni obsesi menghadirkan masa lalu yang telah musnah, hilang, terkubur dalam rangka melestarikan bukti-buktinya dengan menghadirkan replika, tiruan, salinan, atau imitasinya. Yang menjadi masalah adalah ketika masa lalu tersebut dihadirkan dalam konteks masa kini, maka ia kehilangan kontak dengan realitas. Jadi seakan-akan replika dari masa lalu ini terlihat lebih nyata dari kenyataannya. Sehingga menciptakan suatu kondisi dimana adanya peleburan antara salinan (copy) dengan aslinya (original).

Umberto Eco mencontohkan hiperrealitas ini ketika ia mengunjungi Amerika dan sekan-akan mengejek bahwa dengan teknologi mutakhirnya, Amerika mampu membuat tiruan atas masa lalu dengan persis dan bahkan melebihi yang sebenarnya terjadi. Misalnya ketika ia mengunjungi Disneyland dan Disneyworld, ia menyebut itu sebagai kota yang benar-benar palsu. Ia menemukan bahwa dalam dua tempat itu segala sesuatu terlihat lebih besar, bersinar, dan begitu menghibur dibandingkan kehidupan sehari-hari.

Misalnya, ketika ia bertamasya dengan perahu yang melewati sungai buatan disney, ia melihat sekumpulan ikan-ikan kecil animasi yang tampak begitu nyata. Namun di lain hari ketika ia bertamasya di sungai Missisipi, ia justru dikejutkan dengan adanya banyak aligator ganas. Ia menyebutkan bahwa, “Disneyland mengatakan pada kita bahwa teknologi dapat memberi kita realitas dibandingkan dengan alam yang sesungguhnya.”[5]

Ia juga mencontohkan bahwa Museum Lilin di New Orleans juga merupakan bentuk reproduksi dari masa lalu, dimana terdapat patung-patung lilin yang menyerupai tokoh-tokoh sejarah Louisiana. Namun, menurut Eco museum lilin masih menyajikan sesuatu yang hampir nyata, sementara Disneyland kebanyakan menjual komoditi asli dan melampaui kenyataan yang sebenarnya.

Perkembangan yang mutakhir dari teknologi informasi, komoditi, dan tontonan, menjadikan itu semua menjadi tiang-tiang penopang dalam wacana kapitalisme sehingga memungkinkan manusia masa kini untuk melihat dirinya sendiri sebagai refleksi dari citra-citra yang disebarkan dari komoditi dan tontonan tersebut.

Dalam kapitalisme, ada yang disebut dengan diferensiasi, yakni proses membangun identitas berdasarkan perbedaan, produk dan gaya hidup. Melalui diferensisasi inilah proses peremajaan (pembaharuan) dijadikan ideologi dalam kapitalisme (dalam bentuk komoditi), misalnya: handphone nokia seri terbaru, salon kecantikan, shopping Malls, dsb. Dalam sistem komoditi total kapitalisme, manusia tidak lagi bertindak sebagai subjek yang mengontrol objek, namun dikontrol oleh sistem objek-objek yang menyebabkan manusia kehilangan kesadaran dan memiliki gairah konsumsi yang tinggi (Jean Baudrillard). Akibatnya terbentuklah budaya konsumerisme, dimana produk-produk/komoditi tersebut menjadi satu medium untuk membentuk personalitas, gaya, citra, gaya hidup dan cara diferensiasi status sosial yang pada gilirannya menjadi penopang dunia realitas semu.(*)

 

Penulis/Editor: kumara adji

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *