Balapan
KEMPALAN: Akhir pekan kemarin publik disodori balapan politik, political race, oleh tiga kandidat yang paling potensial untuk maju dalam perhelatan pilpres 2024. Anies Baswedan, Ganjar Pranowo, dan Ridwan Kamil, sudah tidak malu-malu lagi untuk keluar kandang untuk memperluas konstituen dan membangun basis dukungan yang lebih luas. Anies berkunjung ke Makassar, Ganjar ke Lampung, dan Ridwan Kamil ke Jawa Timur.
Di antara tiga gubernur itu Ridwan Kamil satu-satunya yang sudah berani medeklarasikan diri untuk maju pada perhelatan 2024, meskipun masih rada malu-malu. Emil berpolitik ‘’tahu diri’’, tahu ukuran kemampuannya.
Anies dan Ganjar belum mengumumkan kandidasinya. Tetapi, semua orang tahu bahwa dua orang ini hampir pasti akan maju, kalau tidak ada tsunami politik yang menghalangi mereka. Dua orang ini menjadi ‘’front runner’’ pelari terdepan dalam berbagai survei politik dua tahun terakhir.
Dengan terlebih dahulu mendeklarasikan diri, Emil sudah membuka lapak dan menjadi sales politik keliling menjajakan dagangannya. Anies dan Ganjar juga aktif menjadi sales keliling meskipun belum berani terang-terangan menawarkan dagangan.
Tiga salesman politik itu sudah pernah berkunjung ke Jawa Timur. Emil termasuk yang agak telat. Anies dan Ganjar sudah beberapa kali berkunjung ke Jatim. Dalam dua kali kunjungan itu Anies bertemu Gubernur Jatim Khofifah Indar Parawansa, dan kemudian sowan kepada ketua PWNU Jatim, K.H Marzuki Mustamar, di Malang.
Dua hal itu menjadi sinyal politik yang kemudian banyak diramesi oleh para pandit politik. Dengan sowan ke PWNU Jatim Anies mencoba mencari simpati dari kalangan nahdhiyin, karena Jawa Timur dikenal sebagai ‘’stronghold’’, wilayah basis, NU (Nahdlatul Ulama).
Dalam kunjungan sebelumnya Anies bertemu dengan Gubernur Khofifah Indar Parawansa. Spekulasi politik pun beredar bahwa dua gubernur ini mungkin akan menjadi pasangan capres-cawapres pada 2024. Spekulasi yang semula hanya rumor ternyata beberapa waktu belakangan ini menggelinding seperti bola salju kecil. Memang masih belum menjadi bola salju besar, tetapi spekulasinya menjadi makin kencang.
Khofifah menjadi salah satu kandidat yang potensial karena mempunyai atribut politik yang dibutuhkan untuk melengkapi atribut Anies. Khofifah mewakili gender perempuan. Selama ini praktis hanya dua gelintir perempuan yang muncul dalam berbagai survei capres, yaitu Puan Maharani dan Khofifah. Dua-duanya masih kecil, tapi punya potensi yang tidak bisa diabaikan.
Puan sudah hampir pasti punya free pass dari PDIP, yang sampai sekarang masih ngotot memasangkannya dengan Prabowo Subianto. Ibarat perkawinan politik Prabowo-Puan sudah bertunangan meskipun belum ijab Kabul.
Tidak ada yang berani menjamin pertunangan itu akan berlanjut ke pelaminan. Pertunangan ini bisa bubar karena berbagai masalah. Salah satunya adalah gangguan orang ketiga yang menjadi pria atau wanita idaman lain. Ibaratnya, sebelum ada janur melengkung berbagai kemungkinan bisa terjadi.
Dari PDIP masih ada nama Tri Rismaharini yang menjadi anak kesayangan Megawati. Tapi, karena sudah ada Puan, kesempatan Risma untuk muncul di perhelatan 2024 relatif kecil. Meskipun Risma menjadi anak kesayangan Mega, tapi dia anak tiri yang sulit menggeser Puan si anak kandung.
Dibanding Puan dan Risma, Khofifah relatif kurang diperhatikan—kalau tidak diabaikan–oleh pandit politik. Mungkin karena persentasenya kecil dalam setiap survei. Tetapi Khofifah sebenarnya punya potensi politik yang bisa jadi lebih besar, atau setidaknya tidak kalah, dibanding Puan.
Sebagai gubernur Jawa Timur Khofifah punya potensi untuk meraup dukungan besar dari 30 juta pemilih di wilayahnya. Sebagai perwakilan gender Khofifah bisa menjadi daya tarik bagi pemilih perempuan yang selama ini kurang terakomodasi. Memang, tidak ada jaminan korelasi antara pemilih perempuan dan calon perempuan, tetapi isu keterwakilan gender tetap akan menjadi salah satu isu penting dalam kontestasi politik.
Khofifah ialah ketua Muslimat NU yang anggotanya diperkirakan sekitar 32 juta orang, yang tesebar di 34 provinsi seluruh Indonesia, dan mempunyai jaringan sampai ke pimpinan ranting di tingkat kelurahan dan desa. Jaringan yang luas dan punya penetrasi mendalam ini menjadi aset politik yang masif.
Selama ini jaringan Muslimat NU di Jawa Timur menjadi mesin politik yang canggih bagi Khofifah, sehingga bisa mengalahkan petahana Saifullah Yusuf dalam pilgub 2019. Khofifah juga punya daya survival politik yang tinggi. Ia tidak putus asa meskipun dua kali kalah (atau dibikin kalah) di pilgub Jatim. Baru pada pertandingan ketiga Khofifah bisa menang. Tidak banyak politisi yang punya daya survival seperti Khofifah.
Dalam kepengurusan PBNU di bawah Gus Yahya Staquf sekarang Khofifah masuk sebagai pengurus. Hal ini menjadi peluang sekaligus kendala, karena Gus Yahya sudah sejak awal menegaskan PBNU tidak akan berpolitik terutama yang berkaitan dengan pilpres 2024. Tapi, PBNU tidak akan bisa menghalangi pengurus-pengurusnya untuk menjadi kandidat politik, apalagi komposisi politisi pada kepengurusan PBNU kali cukup tinggi.
Pasangan Anies-Khofifah masih bersifat sangat spekulatif dan prematur. Masih banyak faktor yang harus dipenuhi untuk bisa mempertemukan pasangan itu. Anies juga belum punya partai politik. Dengan mengasumsikan presidential threshold masih tetap 20 persen, langkah pertama yang harus dilakukan Anies adalah mencari–atau menerima tawaran–dari partai politik untuk bergabung.