Timpang

waktu baca 6 menit
Daro kiri ke kanan: Thomas Piketty, Jokowi, KH. Anwar Abbas.

KEMPALAN: Ketimpangan pendapatan dan kemiskinan adalah cerita lama. Indonesia sudah mengalami kemiskinan yang parah dan ketimpangan kaya miskin yang besar sejak era kolonialisme beratus-ratus tahun yang lalu. Sampai sekarang persoalan kemiskinan dan ketimpangan masih tetap menjadi problem laten.

Perdebatan itu ramai lagi sekarang setelah Wakil Ketua Umum MUI (Majelis Ulama Indonesia) K.H Anwar Abbas memberikan kritik terbuka kepada Jokowi mengenai ketimpangan kaya dan miskin. Kritik itu disampaikan Anwar pada pembukaan Kongres Ekonomi Umat yang diselenggarkan oleh MUI (11/12).

Kritik itu seolah menohok Jokowi yang hadir dalam forum itu. Tidak pakai lama, Jokowi langsung merespons kritik Anwar. Ketika diberi kesempatan memberikan sambutan untuk membuka kongres, Jokowi tidak membacakan teks sambutan yang sudah disiapkan timnya. Sepanjang sambutannya Jokowi berbicara tanpa teks untuk merespons kritik Anwar Abbas.

Anwar Abbas menyoroti masih banyaknya masih banyak warga yang belum sejahtera. Anwar menyampaikan data Gini Ratio yang mengalami penurunan menjadi 0,59 yang menunjukkan bahwa ketimpangan di Indonesia melebar. Indeks Gini mempunya skala  0 sampai 10. Semakin rendah berarti semakin rendah kesenjangan. Semakin tinggi berarti kesenjangan makin lebar.

Anwar menyiorot ketimpangan pemilikan tanah. Disebutkan bahwa 1 persen persen penduduk menguasai 59 persen lahan yang ada di negeri ini. Sementara yang jumlahnya sekitar 99 persen itu hanya menguasai 41 persen lahan yang ada di negeri ini.

Studi mengenai ketimpangan ekonomi sudah sangat banyak dilakukan oleh para sarjana. Salah satu yang paling aktual dan paling tajam dilakukan oleh ekonom Prancis Thomas Piketty yang melakukan riset ekstensif dan menuangkannya dalam buku ‘’Capital in the 21th Century’’ (2020) yang dianggap sebagai karya fenomenal.

Piketty yang sekarang berusia 50 tahun mendapatkan gelar doktor ilmu ekonomi di Prancis dalam usia 22 tahun melakukan penelitian sangat ekstensif untuk bahan bukunya. Ia membuka file-file sejarah perpajakan pada abad ke-17 sampai abad ke-20, dan mengaitkannya dengan data-data pendapatan dan perpajakan pada abad ke-21 ini.

Tidak tanggung-tanggung, Piketty melakukan studi penelitian selama 15 tahun sebelum menghasilkan buku setebal 600 halaman lebih. Temuan utama dari Piketty adalah bahwa ketimpangan kayak miskin akan tetap ada sampai kapanpun karena struktur ekonomi internasional menciptakan peluang untuk terjadinya ketimpangan.

Ketimpangan adalah fenomena dunia yang sudah berlangsung selama 250 tahun lebih. Selama masa panjang itu berbagai kebijakan untuk mengatasi ketimpangan sudah dilakukan. Tapi, nyatanya ketimpangan masih menjadi persoalan laten yang tetap ada sampai sekarang.

Piketty juga menemukan dokumen lama di Indonesia—dulu Hinia Belanda—berisi data-data perpajakan pemetintah penjajahan Belanda di Hindia Belanda. Dari data-data yang dipelajari Piketty menyimpulkan adanya pola yang sama yang memberi akibat ketimpangan yang sama pula.

Kesimpulan Piketty sederhana tetapi jelas dan tegas, yaitu jika tingkat akumulasi modal naik lebih cepat ketimbang pertumbuhan ekonomi, maka ketimpangan ekonomi akan meningkat. Selama ekumulasi modal oleh orang-orang kaya dan korporat besar terus meningkat lebih cepat dari pertumbuhan ekonomi, maka ketimpangan akan makin tinggi.

Data yang diajukan Piketty sangat detail. Ia mengumpulkan data historis negara-negara Eropa yang maju dan beberapa negara berkembang sejak 1800 untuk melakukan komparasi. Data dokumen penjajahan Belanda pada 1920 juga didapat oleh Piketty dengan cukup detail.

Dengan data historis…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *