Reuni

waktu baca 6 menit
Massa Aksi Reuni 212 di Jl. M. H. Thamrin. (Tribun)

KEMPALAN: Reuni 212 tetap dilaksanakan meskipun polisi tidak mengizinkan. Jumlah peserta reuni bisa diperdebatkan. Polisi merilis angka 500 orang, dan panitia reuni mengklaim jumlah 10 ribu orang. Berapapun jumlah orang yang datang tidak terlalu penting untuk dipertentangkan, karena reuni sudah terjadi, meskipun polisi berusaha dengan sekuat tenaga untuk mencegahnya.

Jumlah peserta yang datang tidak akan pernah bisa dikonfirmasi karena masing-masing pihak pasti punya versi masing-masing. Di satu pihak ada yang melakukan mark-up dan pihak lainnya melakukan mark-down. Debat mengenai jumlah peserta sudah perdebatan sejak aksi bela Islam pertama muncul pada 2016.

Lepas dari perdebatan jumlah, acara reuni (2/12) itu menjadi simbol perlawanan, the act of defiant, terhadap kekuasaan secara terbuka. Kekuatan kelompok 212 ini sudah dipereteli secara sistematis dengan pembubaran FPI—yang menjadi motor gerakan—dan pemenjaraan semua pimpinan FPI, terutama Habib Rizieq Shihab, yang sampai sekarang masih berada di penjara.

Reuni ini mengenangkan kembali keberhasilan Aksi Bela Islam 2016, yang dianggap sebagai salah satu tonggak kemenangan Islam politik paling menonjol dalam sejarah kemerdekaan Indonesia.

Hasil yang paling nyata adalah kemenangan Anies Baswedan melawan Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok dalam kontestasi pemilihan gubernur DKI, 2017. Aksi Bela Islam ini juga berhasil menggiring Ahok masuk penjara selama dua tahun karena tuduhan penistaan agama.

Persaingan yang sangat tajam dalam kontestasi pilgub itu melahirkan polarisasi yang menganga, dan terus berlanjut sampai ke perhelatan pilptres 2019. Kali ini skala persaingan meluas ke level nasional. Kontes pilpres yang hanya diikuti oleh dua pasangan—Jokowi-Ma’ruf Amin vs Prabowo-Sandi–membuat polarisasi menjadi makin tajam.

Setelah Jokowi-Ma’ruf memenangkan kontestasi dan Prabowo-Sandi masuk dalam koalisi pemerintahan, aroma persaingan dua kubu pendukung tidak menghilang, malah sebaliknya terasa makin menyengat.
Persaingan dua kubu ini secara agak serampangan disebut sebagai persaingan kelompok politik Islam melawan kelompok nasionalis. Kelompok pertama disebut membawa aspirasi negara syariah dan kelompok kedua membawa aspirasi negara sekuler. Kelompok pertama menghendaki bentuk negara yang tidak terpisah dari agama, kelompok kedua menghendaki bentuk negara yang terpisah dari agama.

Perdebatan dan persaingan yang sangat keras antara dua kubu itu berlangsung sejak masa-masa persiapan kemerdekaan. Sebuah perdebatan yang sangat panjang dan sangat keras yang kemudian melahirkan kompromi yang dipaksakan. Kelompok Islam menghendaki Pancasila versi Piagam Jakarta sebagai dasar negara. Kelompok nasionalis keukeuh menolak.

Kompromi dicapai setelah kubu agamis mengalah. Tetapi luka akibat keterkalahan tidak mudah diobati dan tetap terbawa sepanjang sejarah. Selama masa kekuasaan Orde Lama di bawah Sukarno, kekuatan politik Islam mengalami berbagai macam represi, mulai dari pemenjaraan para pemimpinnya sampai pembubaran partai Islam seperti Masyumi.

Pada masa Orde Baru di bawah Soeharto kekuatan politik Islam sejak awal tidak diberi ruang gerak, dan partai-partai Islam tidak diizinkan untuk berdiri kembali. Sepanjang masa kekuasaan Soeharto Islam politik mengalami represi yang lebih keras dibanding pada masa Sukarno.

Era reformasi yang ditandai dengan kejatuhan Soeharto membuat persaingan kubu agamis dan nasionalis memperoleh ruang yang lebih terbuka. Pada masa-masa awal reformasi persaingan dua kubu relatif berjalan lebih bebas tanpa represi.

Puncak persaingan paling panas terjadi pada pilgub DKI 2017 dan pilpres 2019 yang kemudian seolah menghidupkan kembali pola persaingan di masa Orde Lama. Aspirasi politik Islam tumbuh semakin kuat dan hal ini menimbulkan kekhawatiran pada kubu kelompok nasionalis yang melihat potensi kemunculan radikalisme agama.

Rezim Jokowi menjadikan perang melawan radikalisme Islam sebagai prioritas penting. Pendekatan yang dilakukan lebih cenderung represif dengan pemenjaraan dan pembubaran seperti era Orde Lama. Logika yang dipakai adalah ‘’the logic of accumulation and exclusion’’. Kekuatan-kekuatan politik yang kompromistis dikooptasi dan diakumulasi dalam koalisi, dan kekuatan oposisi akan diekslusi dan bila perlu dianihilasi atau dihilangkan.

Pendekatan semacam itu mungkin saja bisa efektif tetapi tidak bisa langgeng. Rezim yang berkuasa dengan memakai kekerasan akan melahirkan dendam sejarah yang setiap saat bisa meledak menjadi kekacauan.

Berbagai fenomena yang…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *