Kisah Si Cantik Susan dan Budayawan yang Rendah Hati

waktu baca 5 menit

KEMPALAN: SAYA mengenal Semar Suwito Yasin sekitar 25 tahun yang lalu, sejak saya masih melajang. Eits….bukan. Sejak saya masih di bangku SMP. Dia aktif di Persatuan Artis Film Indonesia (Parfi) Jawa Timur.

Kiprah di perfilman nasional lelaki kelahiran kampung Kebangsren (Surabaya) 22 Maret 1956 itu saya ketahui dari pemberitaan Majalah LIBERTY (Surabaya) yang waktu itu masih dipimpin oleh pemiliknya sendiri, Goh Thing Hok.

Aktivitas berkesenian Es –demikian saya biasa memanggil Semar Suwito Yasin– sering dimuat di Liberty Seingat saya, Es adalah salah satu tokoh utama di Yayasan Artis Film (Yarfi) LIBERTY, bersama Sanyoto Suwito, redaktur senior Majalah Liberty

Saya tidak pernah menyangka, jika pada akhirnya –20 tahunan kemudian– justru bertemu langsung saban hari dengan Es. Ini lantaran saya diminta Dahlan Iskan –ketika itu masih menjadi bos besar Jawa Pos & Grup– me-refreshing Liberty.

“Taufiq, kamu ke Liberty. Di sana butuh penyegaran,” perintah Dahlan pada suatu malam, di lobi kantor Jawa Pos, Jalan Karah Agung (Surabaya), pada suatu malam. “Nggak tahu bagaimana caranya…..yang penting Liberty harus lebih bagus dan untungnya lebih banyak,” lanjut Dahlan.

Tentu saja instruksi tersebut sangat mengejutkan bagi saya. Sebab saya tahu persis, ketika itu di Liberty dipenuhi oleh senior-senior saya di dunia jurnalistik. Mereka sudah lebih dulu mapan di Liberty, ketika saya masih magang di sana pada tahun 1984. Ketika itu saya masih duduk di kelas 2 SMA Negeri 8 Surabaya. Pulang sekolah pada siang hari, saya kemudian ‘ngantor’ di Liberty. Magang kerja.

Toh, saya harus melaksanakan mandat tadi. Jadi, keesokan harinya saya mulai ngantor di Liberty, di Jalan Pahlawan. Setelah kulonuwun ke Koesnan Sukandar (Pemimpin Redaksi) dan Bicky Hananta (Pemimpin Perusahaan sekaligus pemilik saham minoritas Liberty), saya segera memimpin rapat kecil di jajaran redaksi dan pracetaknya. Di saat itulah saya mengenal langsung Es.

Saya tidak menyangka, bahwa Es menyambut hangat kehadiran saya selaku pemimpin barunya. ‘Bung’ adalah panggilan Es kepada saya.

Selama mengenalnya, Es adalah pribadi yang baik. Familiar. Sebagai staf saya selama hampir 4 tahun –masing-masing di Liberty (era Jalan Pahlawan, Surabaya), dan Tabloid Gado-Gado milik saya pribadi)– dia sangat loyal kepada pimpinan. Cepat beradaptasi, apa yang harus dilakukan sebagai mitra kerja dalam menggolkan target perusahaan. Tidak pernah hitung-hitungan waktu dalam bekerja. Tak pernah rakus soal rezeki.

Walaupun secara pribadi saya dekat dengannya, namun Es mampu memposisikan diri. Itulah sebabnya selama bekerja sama dengan saya, Es termasuk salah seorang staf andalan.

Es paham, bagaimana dia harus bersikap sebagai staf kepercayaan. Tidak pernah dia ngomporin saya untuk memojokkan teman kerjanya, meskipun dia tahu kekurangan/kecurangan temannya tersebut terhadap perusahaan.

Oh, ya….selama memimpin Liberty, saya lebih banyak mengekspose perempuan lokal Jawa Timur sebagai model covernya. Semua staf di bagian mana pun boleh mengajukan usulan, siapa cewek yang layak jadi cover disertai dengan alasannya. Dan, hal ini menjadi sebuah tradisi baru untuk Liberty.

Hingga pada suatu hari –setelah sesi pemotretan seorang model cantik bernama Susan di sebuah hotel bintang 5 di kawasan Embong Malang– Es, Ayiek Syarifuddin dan Arie Soebarry –kedua nama terakhir tersebut adalah fotografer di Liberty– buru-buru pamit dari kamar hotel yang kami jadikan lokasi pemotretan Susan.

“Tumben,” ujar saya dalam hati, sambil saya ngobrol ringan dengan Susan di kamar hotel. Cewek berambut sebahu ini diperkenalkan Arie dan Es kepada saya sebagai staf pemasaran sebuah perusahaan kontraktor. Es dan Arie mendapatkan rekomendasi dari seorang paranormal kenalan Arie dan Ayiek.

Ketika saya melihat Susan sudah selesai berkemas, saya langsung mengajaknya turun ke lobi.

Awalnya Susan agak terkejut atas ajakan pulang tadi. Tetapi, saya kemudian menjelaskan, bahwa staf saya sudah berada di lobi. “Karena pemotretan sudah selesai, jadi kita memang harus pulang,” kata saya.

Singkat cerita, kami sudah kembali ke kantor. Tahu-tahu Es nongol di ruang kerja saya. “Kenapa Bung tadi buru-buru turun dari kamar hotel? Kami, kan melepas Bung sendirian bersama Susan di kamar agar Bung bebas dengan dia,” jelas Es.

Saya jawab,”Pemotretan, kan sudah selesai. Jadi, ya mau apa lagi?”

“Begini…. kemarin saya, Arie dan Mas Ayiek mendapat instruksi dari paranormal yang memperkenalkan Susan ke kami. Intinya, setelah pemotretan Pak Taufiq boleh mengajak tidur Susan. Bebas kencan pasca foto-foto. Susan pun sudah setuju. Enjoy-enjoy saja,” tutur Es.

Saya pun terperangah!

KEHILANGAN BESAR
Dan, sekitar 3 tahun yang lalu saya bertemu terakhir kalinya dengan Es. Di depan sebuah supermarket di Jalan Embong Malang, Surabaya yang berdekatan dengan kediamannya di Jalan Kebangsren. Kami ngobrol ngalor-ngidul selama hampir 2 jam tentang rencana kerja kami masing-masing. Suasana obrolannya amat hangat.

Nah, 2 pekan yang lalu tiba-tiba saja teringat Es. Semuanya berawal dari komunikasi saya dengan Mar Ten , mantan reporter saya di Tabloid NYATA (Jawa Pos Grup), yang kini tinggal di Riau. Intinya, Marten mengajak saya untuk mendirikan rumah produksi, termasuk sinetron. Dan, saya menyanggupinya.

Ketika bicara sinetron itulah saya jadi teringat dengan Es. Namun, saya belum menghubunginya dengan segera. “Masih musim Covid-19. Jadi, nanti sajalah saya akan menelepon Es, ketika Covid-19 mulai mereda,” pikir saya.

Saya beranggapan, Es adalah sosok yang bisa menerjemahkan rencana saya bersama Marten. Termasuk bisa dikompromikan terkait honor yang menjadi hak sebagai rekan kerja.

Itulah sebabnya saya terkejut ketika mendengar kabar, bahwa Es telah tiada, pada Kamis Wage, 22 Juli 2021. Dia meninggal di Perumahan Lembah Harapan (Wiyung).

Saya merasa kehilangan teman diskusi, sekaligus teman kerja. Bagi saya, Es adalah sosok yang menyenangkan. Ora neko-neko. Rendah hati.

Di mata saya, Es adalah budayawan sekaligus aset dunia seni Jawa Timur. Dia sangat peduli atas budaya Panji hingga dikenal hingga ke mancanegara. Pemegang gelar Juara 1 (1987) dan Juara 3 (1985) Lomba Drama Lima Kota ini dikenal luas sebagai sosok yang punya atensi ekstra atas
dunia seni peran di Jawa Timur. Maka, tidak mengherankan jika dia pernah menjabat asisten sutradara dalam film kolosal nasional ‘Merdeka atau Mati’, dan ‘Soerabaia ’45’ garapan sutradara Imam Tantowi dan Gatut Kusumo.

Almarhum juga aktif mendukung serial TV ‘Aku Cinta Indonesia’ hasil kerjasama PPFN dan Kemendikbud RI (1992-1993). Dengan Emha Ainun Nadjib (Cak Nun), Es juga terbilang dekat lantaran pernah mengomandoi kelas teater anak-anak di Bengkel Teater-nya Cak Nun.

Selamat jalan, Es. Saya yakin Allah SWT mengampuni segala khilaf dan kesalahanmu. Aamiin. Moch Taufiq

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *