WhatsApp dan Ruang Privasi Absurd

waktu baca 4 menit

WhatsApp akhirnya mengalah (sementara). Sejak jadi bulan-bulanan dan gaduh netizen yang mempersoalkan privasi percakapan mereka. Sejak Telegram dan Signal mendulang untung dengan jutaan unduhan berkat kontroversi tersebut.

Sebagai korporasi, WhatsApp tentu tak mau mendulang rugi dari polemik ini. Jangan sampai pengguna mereka turun—dan yang lain naik. Jangan sampai kehilangan konsumen. WhatsApp akhirnya terpaksa mengatakan bahwa ia tidak akan menghapus akun siapa pun pada 8 Februari 2021–yang merupakan tanggal terakhir bagi pengguna menerima perubahan pembaruan baru.

Muasalnya, dari pembaruan kebijakan privasi dan persyaratan layanannya: yang menambahkan bagian baru tentang percakapan bisnis dan berbagi data dengan Facebook. Padahal, ini merupakan arah kebijakan manajerial stratejik WhatsApp. Setelah perusahaan platform chatting itu dicaplok oleh raksasa media sosial Facebook.

Kebijakan stratejik yang lagi tren dan penting saat ini bagi korporasi aplikasi digital: data mining, big data, kecerdasan buatan, perilaku konsumen, targeted marketing, dan seterusnya…Kebijakan yang membuat Facebook Incorporation bisa mengefisienkan dan mengonsolidasikan sumberdaya data yang mereka miliki secara cerdas dan terotomasi.

Sang CEO Facebook Mark Zuckerberg mati-matian mempertahankannya walaupun dirundung undang-undang anti-monopoli (anti-trust law) Amerika Serikat. Bersama dengan media sosial berbasis foto, Instagram, yang juga telah diambilalih Facebook. Membuat Mark Zuckerberg saat ini menjadi raja aplikasi media sosial dari hulu ke hilir di dalam rantai pasok portofolio produknya. Memiliki skala ekonomis vertikal dan horizontal tak tertandingi dalam industri itu.

Tak hanya akuisisi besar. Akusisi “kecil-kecilan” juga rajin dilakoni oleh Facebook. Mei lalu, Facebook mengakuisisi produsen GIF populer, Giphy. Facebook merogoh kocek sebesar 400 juta dollar AS atau sekitar Rp 6 triliun untuk membeli Giphy. Untuk memperkaya portofolio imej GIF mereka. Facebook mengungkapkan, mereka adalah pemakai terbesar Giphy: jumlahnya mencapai 50 persen. Dari angka tersebut, setengah berasal dari aplikasi Instagram.

Namun, netizen terlanjur menyebarkan berita bahwa WhatsApp mendapat akses ke pesan dan lokasi pribadi serta data percakapan di WA. WhatsApp pun menjawab bahwa mereka dilindungi oleh enkripsi (encryption) end to end (ujung ke ujung) dan Facebook atau WhatsApp tidak dapat mengaksesnya.

Asal tahu saja, enkripsi adalah teknologi yang akan mengacak pesan ketika ditransmisikan dalam berbagai bentuk jaringan komputer: mulai local area network (LAN) hingga internet. Teori klasik komputasi dasar pengaman sistemnya begini. Dengan menggunakan private key dan public key dari pengirim dan penerima pesan. Private key hanya dimiliki dan diketahui—dan dengan demikian rahasia–oleh masing-masing pengirim dan penerima pesan. Sedangkan public key semua orang “bisa lihat.”

Untuk mengacak (mengenkripsi) pesan, pengirim akan menggunakan privat key yang dimilikinya. Privat  key pengirim ini dikombinasi dengan public key. Sebaliknya, untuk mengubah pesan teracak ke bentuk aslinya (dekripsi), penerima pesan akan memanfaatnya privat key milik si penerima pesan yang digabung dengan public key.

Tentu, semua proses ini diotomasi oleh perangkat lunak (software) pada gawai pengguna. Semua serba user friendly. User tak perlu ribet juga dengan segala kerumitan programming dan model matematika di dalamnya. Tahu beres saja. Jika di tengah jalan pesan ini disabotase cracker—bukan hacker—mereka tidak akan bisa mengetahui isi pesan yang sudah diacak tersebut.

Walaupun sama-sama mempenetrasi sistem, hacker dan cracker beda integritas diri. Hacker akan mencari kelemahan sistem informasi berbasis komputer (computer based information system) untuk memperbaiki kelemahan sistem tersebut. Berbeda dengan cracker, kelemahan yang ditemukan dimanfaatkan untuk kepentingan pribadi seperti pencurian data, mengubah data dan sebagainya.

Lalu bagaimana dengan privasi kita? Sejatinya absurd. Absurd mempermasalahkan privasi WhatsApp disandingkan dengan perilaku konsumen media sosial dan aplikasi pesan itu sendiri. Dengan mudah dan bangga netizen bisa mengunggah aktivitas pribadinya ke media sosial: tiket pesawat, resto dan kafe yang kita kunjungi, status sosial, sukses bisnis yang kita raih, dst…. Yang algoritma big data media sosial sudah lama memanfaatkannya untuk kepentingan bisnis mereka. Seperti targeted advertising superefisien itu. Yang mengalahkan efisiensi cost per contact beriklan di media konvensional.

Tapi itulah jagat maya. Yang netizennya suka latah. Yang mudah terpengaruh sesuatu yang viral. Yang lebih cepat menekan tombol share daripada berkontemplasi. Yang data dengan mudah berceceran dalam bentuk softcopy maupun hardcopy di aktivitas keseharian. Pilihan di tangan pembaca budiman…(FREDDY MUTIARA–kolumnis kempalan.com & dosen Sistem Informasi Manajemen di Jurusan Teknik Industri dan Akuntansi UBAYA)

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *