Perspektif Tasawuf dalam Puisi ‘Oase Zam-Zam’
KEMPALAN : Dalam perspektif tasawuf, kisah Siti Hajar dan Ismail dipahami sebagai simbol ketauhidan, kepasrahan, dan usaha keras dalam menghadapi ujian hidup.
Siti Hajar digambarkan sosok yang teguh dalam keyakinan, sabar dalam menghadapi cobaan, dan tawakal saat berusaha.
Kisahnya menjadi inspirasi para Sufi dalam menjalani kehidupan spiritual.
Sebagaimana saya singgung pada tinjauan sebelumnya berjudul ‘Apakah Filsuf Juga Penyair?’ pada buku Kempalan.com. 5 Juni 2025, demikian juga puisi M. Rohanudin berjudul ‘Oase Zam-Zam’ yang terdiri dari tiga bait yang ada di halaman 38 buku kumpulan puisi tunggalnya Bicaralah yang Baik-Baik.
Ia gambarkan kisah Siti Hajar dan anaknya dalam dimensi kesufian, dimana pada khasanah kearifan lokal disebut sebagai meneping ati itu.
Mari kita tengok bait pertama puisi tersebut :
di dekat Kiblat
ada aroma rasa telaga
Shafa dan Marwah
Makkah belum dihuni manusia, gulita malam,
angin kencang, dahaga, panas berterik
perjuangan anak manusia
Ismail dan gua pertapaannya Siti Hajar masih menyusui
dua hati lambang kepatuhan, keikhlasan dan airmata
demi Allah kami bersumpah
demi Ibrahim kami melawan
Pada baris awal puisinya ini, penyair kelahiran Sumenep, Madura itu, membuka dengan ungkapan indah :
di dekat Kiblat ada aroma rasa telaga
Ya, sebuah metafora bernuansa tasawuf, setidaknya terindikasi pada aroma rasa telaga.
Pada baris lain, Rohan menulis begini:
dua hati lambang kepatuhan,
keikhlasan dan air mata
Mereka dianggap sebagai contoh keikhlasan dan kepatuhan kepada Allah dalam menjalankan perintahNYA tanpa ragu-ragu.
Perjalanan Siti Hajar di antara bukit Shafa dan Marwah adalah simbol perjuangan tentang ketaatan. Mereka berlari-lari kecil mencari air, melambangkan pencarian spiritual.
Mereka tidak menyerah dan terus berjuang, meskipun dalam kesulitan yang mendera, sebagaimana terbaca pada bait kedua dan ketiga puisi berjudul ‘Oase Zam-Zam’ ini. Mari kita ikuti:
haus, lari-lari kecil,
jiwa, di padang pasir seram tanpa manusia, tanpa suara
raga kelaparan seperti musafir
tiba-tiba gemuruh berkali-kali menggetar
degub jantung Ismail-Siti Hajarr meledak
di padang pasir yang tandus
di Shafa-Marwah garis dan titik suara Allah
inilah mukjizat, air memancur,
memancarkan peradaban kehidupan baru, imaji baru
menghirup udara segar,
adalah OASE ZAM-ZAM
air mukjizat di telaga
telaga bagi yang meneguknya
adalah surga Allah
Rohan selanjutnya mencoba memasuki lorong tasawuf, menggiring perjalanan spiritual, menyibak peradaban baru — sebagai gambaran penemuan sumber air itu : oase jiwa. Setidaknya hal tersebut terdiksikan sebagaimana di bawah ini :
inilah mukjizat, air memancur,
memancarkan peradaban kehidupan
baru
Dari bait kedua dan ketiga puisi tersebut, kita coba tarik perspektif :
- Air Zamzam dianggap sebagai mukjizat Allah yang membawa kehidupan dan peradaban baru. Dalam perspektif Sufi, air Zamzam melambangkan keberkahan dan rahmat Allah yang diperoleh melalui keikhlasan dan kepatuhan.
- Kisah Siti Hajar dan Ismail juga dipahami sebagai simbol cinta dan pengorbanan. Nabi Ibrahim yang meninggalkan mereka di padang pasir tandus dianggap sebagai contoh cinta dan kepatuhan kepada Allah, melebihi cinta kepada keluarga.
Bagi seorang Sufi, sebagaimana saya temukan pada rentetan studi kepustakaan, Shofa dan Marwah bukan hanya dua bukit fisik, juga simbol dari dua sisi keberadaan manusia: sisi lahiriah (Shofa) dan sisi batiniah (Marwah). Atau : Dunia dan Akhirat.
Perjalanan keduanya menginspirasi Sufi sebagai keselarasan tasawuf dalam meniti kehidupan.
Demikian perspektif yang saya baca dari puisi karya M. Rohanudin ini.
Di sisi lain, usaha Siti Hajar mencari air dengan berlari-lari kecil antara Shofa dan Marwah dipersepsi sebagai simbol zikir terus-menerus. Suatu upaya untuk mencari kehidupan spiritual yang hakiki : mendekatkan diri kepada Allah.
Keyakinan dan ketawakalan Siti Hajar diperlihatkan dengan terus berusaha meski dalam situasi sulit, menjadi titik cahaya yang lantas menghadirkan penerang bagi perjalanan spiritual. Inilah hakikat ajaran untuk selalu tawakal dan yakin bahwa Allah akan memberikan yang terbaik pada waktunya. (Amang Mawardi).
