Pagar Laut Tangerang

waktu baca 4 menit
Pagar laut Tangerang (*)

KEMPALAN: Kasus kontroversial terkait pagar laut sepanjang 30,16 kilometer di wilayah pesisir Tangerang, Banten, menjadi sorotan publik belakangan ini. Bukan hanya karena skalanya yang besar dan melibatkan biaya fantastis—diperkirakan mencapai Rp1,5 miliar—tetapi juga karena polemik hukum dan kebijakan di baliknya.

Persoalan ini menjadi ujian penting bagi pemerintahan Presiden Prabowo Subianto: apakah kebijakan negara mampu berdiri kokoh di atas landasan hukum dan keadilan sosial, atau justru terombang-ambing oleh tekanan politik dan kepentingan tertentu.

Kisruh ini bermula dari tindakan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) yang melakukan penyegelan terhadap pagar laut tersebut, disertai ancaman pembongkaran dalam waktu 20 hari sejak 10 Januari 2025.

Presiden Prabowo bahkan memerintahkan pengerahan 600 personel TNI Angkatan Laut untuk memastikan penegakan hukum berjalan tegas. Namun, di tengah upaya tersebut, muncul sikap berbeda dari Menteri KKP Sakti Wahyu Trenggono yang meminta penundaan pembongkaran, dengan alasan perlunya kajian lebih mendalam.

Ketidaksinkronan ini mengindikasikan kelemahan dalam koordinasi antar kementerian, yang seharusnya solid dalam mengambil keputusan strategis.

Pengamat hukum dan politik, Pieter C. Zulkifli, menilai situasi ini mencerminkan potensi tarik-menarik kepentingan di balik kebijakan publik. “Persoalan ini menjadi cerminan apakah kebijakan negara berjalan di atas prinsip hukum atau justru karena tekanan pihak tertentu,” tegasnya.

Interpretasi Regulasi

Secara hukum, perdebatan ini mengacu pada beberapa regulasi penting. Pasal 1 Ayat (4) Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) No. 5 Tahun 1960 mendefinisikan tanah sebagai permukaan bumi, tubuh bumi di bawahnya, serta yang berada di bawah kolom air. Artinya, perairan pesisir, danau, dan sungai termasuk dalam pengertian tanah. Namun, untuk kawasan perairan, terdapat tumpang tindih regulasi antara UUPA dan peraturan khusus di bidang kelautan.

Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Kelautan dan Perikanan menegaskan bahwa pendirian, penempatan, atau pembongkaran bangunan di laut berada di bawah kewenangan KKP. Pasal 8 ayat (3) PP ini secara rinci mengatur bahwa bangunan di atas, di kolom air, maupun di dasar laut, termasuk dalam objek pengaturan negara.

Namun, munculnya Sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB) dan Sertifikat Hak Milik (SHM) di wilayah pesisir tersebut menimbulkan tanda tanya besar.

Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), Nusron Wahid, kemudian mencabut sertifikat-sertifikat tersebut setelah melakukan pemeriksaan dokumen yuridis dan fisik.

Meski langkah ini mendapat apresiasi dari sebagian pihak, ada juga yang mengkritik sebagai tindakan emosional yang kurang memahami kompleksitas hukum pertanahan di wilayah pesisir.

“Langkah Nusron dalam mencabut sertifikat sangat berlebihan dan berisiko menimbulkan kontroversi baru. Seharusnya, keputusan diambil setelah kajian hukum yang komprehensif,” ujar Zulkifli.

Benarkah Terkait PIK 2?

Kasus ini semakin rumit dengan munculnya spekulasi mengenai keterkaitannya dengan Proyek Strategis Nasional (PSN) era Presiden Joko Widodo, khususnya proyek perluasan Pantai Indah Kapuk (PIK) 2.

Meski pihak pengembang membantah keterlibatan mereka, publik tetap curiga, mengingat skala proyek dan nilai ekonominya yang tinggi.

Dalam konteks ini, transparansi pemerintah menjadi kunci. Data dari Kementerian ATR/BPN menunjukkan bahwa sejak 2020, terdapat peningkatan signifikan dalam penerbitan sertifikat lahan di kawasan pesisir, terutama di wilayah-wilayah yang dekat dengan proyek infrastruktur besar. Hal ini menimbulkan kecurigaan bahwa ada oknum yang memanfaatkan celah hukum demi kepentingan pribadi atau kelompok.

Siapa Dirugikan?

Di luar aspek hukum dan politik, yang sering terlupakan adalah dampak sosial bagi masyarakat pesisir.

Pembangunan pagar laut ini diduga mengganggu akses nelayan lokal ke wilayah tangkap tradisional mereka.

Data dari Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Banten mencatat penurunan hasil tangkapan ikan sebesar 15% sejak 2023 di wilayah tersebut, yang berdampak langsung pada pendapatan lebih dari 3.000 keluarga nelayan.

Ironisnya, proyek yang diduga bertujuan untuk melindungi kawasan pesisir dari abrasi justru menimbulkan “abrasi sosial”—menggerus kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah. “Keputusan politik yang tidak mempertimbangkan suara rakyat kecil bisa menjadi bumerang bagi legitimasi pemerintah,” kata Zulkifli.

Kasus pagar laut Tangerang ini adalah ujian nyata bagi pemerintahan Prabowo Subianto.

Di tengah berbagai spekulasi dan tekanan, pemerintah perlu memastikan bahwa hukum tetap menjadi panglima.

Keputusan yang diambil harus berdasarkan kajian hukum yang komprehensif, bukan sekadar respons terhadap opini publik atau tekanan kelompok tertentu.

Presiden Prabowo harus menunjukkan bahwa kepemimpinannya mampu menegakkan keadilan sosial sebagaimana diamanatkan dalam Pembukaan UUD 1945.

Sebagai negara hukum, Indonesia harus memastikan bahwa kebijakan publik berjalan sesuai prinsip rule of law, bukan rule by law.

Mengutip pernyataan almarhum Baharuddin Lopa yang relevan dengan situasi ini: “Banyak yang salah jalan tetapi merasa benar karena banyak teman suka melakukan kesalahan. Beranilah menjadi benar meskipun sendirian.”

Di tengah berbagai spekulasi, satu hal yang pasti: kepercayaan publik adalah aset terpenting dalam demokrasi.

Pemerintah harus bijak dalam mengambil keputusan, memastikan bahwa setiap kebijakan yang diambil berpihak pada kebenaran, keadilan, dan kepentingan rakyat.

Jika tidak, pagar laut ini bukan hanya menjadi simbol fisik pembatas, tetapi juga metafora tentang batas kepercayaan publik terhadap pemerintahnya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *