KH. Syaiful Ulum Nawawi dan Pondok Pesantren Darul Ibadah Al-Baiad (3)

waktu baca 4 menit
Tampak depan bagian pesantren putri Pondok Pesantren Darul Ibadah Al-Baiad, Pandugo, Surabaya. (Foto: AM).

KEMPALAN : Membayangkan Desa Pandugo sekitar 60 tahun lalu adalah menghamparkan di benak rerata warga Surabaya tentang kawasan yang jauh terpisah dari pusat kota terbesar nomor 2 di Indonesia ini.

Desa yang mungkin saat itu belum masuk wilayah kuasa administrasi Kecamatan Rungkut, boleh jadi masih berupa hutan, semak-semak, persawahan, atau rangkaian tambak-tambak.

Saya yang masa kecil hingga dewasa jelang nikah tinggal di kawasan Pacarkeling, Surabaya bagian timur, teringat ucapan Cak Wasis seorang tetangga : “Sik, aku tak golek celeng nang
Rungkut,” ujarnya saat saya tanya hendak pergi kemana dengan sepeda ontel yang dilengkapi berbagai peralatan. Arti dari bahasa Suroboyoan itu : Sebentar ya, saya mau berburu celeng di Rungkut.

Tampak bertengger di salah satu pundaknya sebuah senjata seukuran sedikit di atas senapan angin diameter 5,5 mm, yang biasanya disebut : bedil cis.

Yang diburu Cak Wasis itu sejenis celeng (babi hutan) tambak yang ukurannya lebih kecil dari celeng yang sering dijumpai di semak-semak atau hutan-hutan kecil di pegunungan kawasan terpencil di Indonesia. Binatang yang diharamkan ini biasanya makan umbi-umbian.

Namun saya tidak tahu apa yang dimakan celeng yang diburu Cak Wasis di kawasan Rungkut tersebut. Selain punya habitat dekat tambak, sepertinya celeng jenis ini juga hidup di hutan bakau. Mungkin yang jadi santapan binatang tersebut adalah ketam kecil-kecil, ikan air payau, atau boleh jadi plankton-plankton yang tumbuh subur di tepian laut Selat Madura itu.

Cerita tentang Cak Wasis di atas terjadi sekitar tahun 1967-1968. Sedangkan jarak dari kawasan Pacarkeling ke Pandugo, Rungkut, sekitar 15 kilometer.

Jangankan tahun 1967-1968, tahun 1989-2000 saja sekitar 500 meter dari perumahan kami tinggal di Rungkut Menanggal, pernah saya jumpai sekawanan 4-5 orang dengan sebuah becak disertai 2 ekor anjing, berburu musang dan macan rambah (sebesar kucing dengan warna kulit seperti macan tutul) di semak-semak dekat perumahan kami itu.

Kedua species hewan ini diburu orang-orang tersebut yang katanya dari Gubeng Kertajaya. Dulu disebut Gubeng Trowongan.

Perburuan mereka tidak dengan senjata api, tapi dengan tombak-tombak besi yang ukurannya sedikit lebih kecil dari ukuran pipa ledeng. Ujung tombak itu mirip mata pancing.

Lantas untuk apa hasil buruannya? “Kami ambil organ hatinya, Mas,” ujar salah satu dari mereka. “Lantas kita campur dengan dedak untuk makanan ayam jago aduan,” lanjutnya, yang lantas bikin saya bergumam lirih : astaghfirullah …

Kisah perburuan musang dan macan rambah ini lantas saya tulis dan saya kirim ke Harian Surabaya Post. Dan dimuat.

Dalam kosa kata Surabaya Arek, ‘rungkut’ berarti ‘semak-semak rimbun’.

*

Pandugo, Medokan, Kedung Baruk, Wonorejo, dan Rungkut adalah gugusan desa-desa yang pada perkembangannya masuk wilayah Kecamatan Rungkut sekitar 3-4 dekade sesudah tahun 1960-an. Dulu disebut kawasan jaba kota. Boleh jadi masuk wilayah Kabupaten Surabaya yang kantornya di Jalan Genteng Kali nomor 85, Surabaya. Sekarang menjadi Taman Budaya Jawa Timur.

Nah, bisa dibayangkan bagaimana kondisi Pandugo saat Syaiful Ulum kecil dilahirkan 64 tahun lalu. Persisnya pada : 13 Juli 1961.

Sejak kanak-kanak Syaiful Ulum kecil sudah menunjukkan semangat berkiprah tinggi untuk membantu orangtua. Setinggi semangat belajarnya yang tak pernah pupus.

Beliau terlahir sebagai anak kedua dari tujuh bersaudara.

Nama ayahnya H. Nawawi. Sedangkan ibunya adalah
Hj. Suwaibah.

KH. Syaiful Ulum lahir dan besar di Desa Pandugo, namun pada perkembangannya disertai berbagai pengalaman dan penjelajahan di berbagai pelosok Tanah Air dan beberapa negara.

Dari catatan yang disampaikan beliau, saudaranya yang masih hidup adalah H. Muzaki dan Imam Mawardi.

Sementara yang sudah menghadap Sang Khaliq :
Choiriyah, Musabbihin, Fatimatuz Zahroh, dan Musthofa.

Lantas bagaimana dengan keluarga inti ?

Ibu Hj. Asmaniyah sudah berpulang. Lantas KH. Syaiful Ulum menikah lagi dengan (Ibu) Churotul Romlah.

Saya menangkap ada tersirat kebanggaan ketika KH. Syaiful Ulum Nawawi bercerita tentang keluarga intinya. Namun, sulit saya menduganya secara persis, dikarenakan faktor apa, saya tidak tahu.

Mungkin lantaran kewibawaan yang tinggi sebagai ulama yang (agaknya) paham bagaimana bersikap yang baik dan benar dalam menghadapi kehidupan sesuai tuntunanNYA, maka ada misteri yang tak bisa saya ungkap. Mungkin. Ini mungkin ya, salah satunya disebabkan putra-putrinya yang berhasil menyelesaikan pendidikan dengan baik.

Anak pertama Asif Faroqi, S.Kom., M.Kom.; anak kedua
Azmi Ulfia Farista, S.Pd., M.Pd. ; dan anak ketiga
Fitrotun Nuzula, SH., ME.

Dari keterangan Pak Bambang Wahyudi di mobil dalam perjalanan pulang, Asif Faroqi S.Kom., M.Kom. menjadi dosen di UPN.

Kembali pada pengalaman masa kecil sekitar 50-60 tahun lalu, Pak Kyai bercerita bahwa waktu kecil yang paling mengesankan adalah tantangan menghadapi sulitnya kebutuhan dasar ekonomi keluarga. Dalam hal ini ekonomi orangtuanya.

“Ini yang memacu saya berusaha keras membantu orangtua,” ujar beliau. “Bekerja apa saja untuk ikut menunjang memenuhi kebutuhan hidup keluarga,” tambahnya. Apa itu, misalnya? “Membantu bertani, bekerja ikut orang di bidang konveksi jahit pakaian, dan apa saja, asal halal dan menghasilkan”.

Dikatakan beliau, “Meski hidup susah, semangat untuk terus belajar rasanya kok enggak pernah susut, nggih. Maaf. Saat itu saya sudah punya pikiran bahwa hidup akan lebih terjamin jika seseorang memiliki pendidikan yang cukup.” Tentu saja, “Semakin banyak pengalaman empiris yang diperoleh akan semakin mematangkan bekal menghadapi kehidupan”. (Amang Mawardi – Bersambung).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *