Sublimasi Puisi Puisi Dody Yan Masfa

waktu baca 4 menit
Dody Yan Masfa, penyair - aktor - sutradara - pemimpin Teater Tobong, Surabaya. (Foto : Google).

KEMPALAN : Semula saya menduga, sebanyak 30 puisi karya Dody Yan Masfa yang dikirimkan ke nomor WA saya adalah puisi-puisi yang menarasikan kehidupan sosial yang ditangkap seniman gaek ini, lantas diolah dan diekspresikan dalam jalinan kalimat-kalimat abstraktif.

Hal ini dikarenakan, saya seperti mengalami de javu bahwa abstraktika kalimat-kalimat puisinya mengingatkan saya pada baris-baris kalimat sebuah puisi penyair Khairil Anwar : ‘Tjatetan Tahun 1946’.

Pada bait kesatu puisi Khairil itu misalnya, tertulis : Ada tanganku/Sekali akan jemu terkulai/Mainan cahya di air/hilang bentuk dalam kabut.

Bagi saya bait puisi dalam ‘Tjatetan Tahun 1946’ itu, jujur — tak bisa saya pahami pemaknaannya. Namun, saya tersihir oleh keindahan sublimasi baris-baris puisi itu, seperti saya menikmati lukisan abstrak Nyoman Erawan :
indah — tanpa mencoba mengartikannya, tidak seperti awal-awal saya menonton dan menikmati lukisan abstrak yang senantiasa saya ilang-iling, untuk berusaha menangkap maksud garis dan warna karya seni rupa itu.

Namun, pada akhirnya saya terbentur pada premis : Dody ya Dody. Khairil Anwar biarlah sebagai Khairil yang “binatang jalang”.

Begitulah yang coba saya simpulkan setelah membaca puisi-puisi Dody Yan Masfa sebanyak 30 judul tersebut — dimana antara “sifat-sifat” denotatif (satu dimensi) dan konotatif (multi dimensi) menyatu dalam puisi-puisinya.

Dalam puisi berjudul ‘Mak’ misalnya, Dody menghadirkan kata-kata metafora dengan cemerlang tanpa pembaca –saya setidaknya– mengerutkan dahi untuk memahami misi dari puisi ini. Contohnya dengan kata ‘bulan’ dan ‘pematang’ pada bait pertama.

Namun demikian, Dody tidak “telanjang” begitu saja seperti kata-kata wartawan saat menulis reportase, melainkan melalui proses perenungan untuk menuliskan kata-kata yang tepat dan indah.

Ada proses kristalisasi. Maka lahirlah “keringat kata” yang lantas menimbulkan rasa hormat dan cinta (kita) pada Mak yang begitu tulus sekaligus agung.

MAK

Aku rindu bulan yang pernah kau petik
pada malam purnama, lalu kau pancangkan
pada tiang di ujung pematang

Jalan panjang itu lantas bercahaya
langkahku jadi pasti, tak gontai meski
di setiap jedah persinggahan, badai tak henti menghantam

Mak
Aku ingin bertemu kebebasan, yang dulu
pernah kau ceritakan, dimana tempat tinggalnya
“Ia bertempat di sebuah kegelapan
sebuah ruang sunyi di saat kau teriak
mengharap hadirnya”

2012

Nah, ini yang membedakan bait pertama ‘Tjatetan Tahun 1946’ Khairil Anwar dengan bait yang sama pada puisi ‘Mak’ Dody Yan Masfa.

Aku rindu bulan yang pernah kau petik
pada malam purnama, lalu kau pancangkan
pada tiang di ujung pematang

Sebagai pecinta puisi, saya menangkap pesan Dody betapa “Mak” senantiasa memberi jalan terang bagi anak(-anaknya) yang sedang meniti pematang yang acapkali licin itu.

Sementara Khairil memberi isyarat yang –sekali lagi, jujur– tak bisa saya maknai, seperti pada dua baris terakhir pada bait itu : Mainan cahya di air/hilang bentuk dalam kabut.

Kalau secara harafiah, ‘cahya’ di sini adalah ‘penerang’ tetapi mengapa “harus” hilang dalam kabut? Ah, entahlah…saya tak bisa mengartikannya.

Sementara penerangan –bulan “ndadari” itu– telah dipetik Mak untuk memberi jalan terang bagi “anak(-anak)nya saat meniti “pematang”.


Bagi saya, puisi itu harus indah. Kata-kata yang digulirkan dalam bentuk puisi harus bisa membungkus misi, sehingga pembaca menerima pesan yang dikirimkan penyair menjadikannya merenung, selanjutnya menuju cerah jiwa.

Meski puisi berjudul ‘Sajak Siang’ ini cukup pendek, romantisme yang dihadirkannya tidak saja sekadar puitis, tapi juga filosofis.

SAJAK SIANG

Istriku mengabarkan
Ia memasak bihun kuah
Ada toping cinta di atasnya
Mari kita jaga
Lalu mensyukurinya

2023

Demikian juga pada puisi pendek lainnya yang judulnya ‘Puisi Sendiri’.

Romantisme kehidupan yang dihadirkan puisi ini mengisyaratkan bahwa untuk menjadi abadi hendaknya saling menjaga dan merawat kesepakatan (suci), sehingga proses kehidupan ini penuh arti.

Ah, sesungguhnya jiwa Dody adalah puisi, dimana dunia sastra itu telah mengisi di setiap relung hatinya.

PUISI SENDIRI

Ingin membaca puisi di sini
Ditemani dirimu, mengudar hati
Setidaknya dua puisi
Satu tentang janji
Satu lagi menjaga diri
Agar puisi berarti

2023


Dari 30 puisi ciptaan aktor, sutradara, dan pimpinan Teater Tobong, Surabaya, ini — puisi berjudul ‘Negeri Kotak Kosong’ memberi warna yang lain. Karya sastra yang mencitrakan “carut-marut” politik ini, coba dihadirkan Dody Yan Masfa dengan nuansa pantun bermuatan humor menggelitik.

NEGERI KOTAK KOSONG

Diborong dibopong digorong gorong
Kotak melompong dibolong bolong
Apa nggak ada orang pandai ?
Semua pada manut aturan bo’ong
Dikosongkan otaknya benar benar blong
Siapa yang nggak nurut diberondong !

Negeri kotak kosong
Jadi bertanding sendiri
Bagaimana nggak nyelonong
Dioblong sendiri dihitung sendiri
Diumumkan sendiri disahkan sendiri
Hanya orang doblong yang beraninya
melawan kotak kosong, dasar bisanya
cuma menggonggong tanpa tahu
buat apa menggonggong….

2024


Alhasil, membaca puisi-puisi Dody Yan Masfa adalah ibarat melihat cermin : Dody adalah kita !
(Amang Mawardi)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *