Setelah Postingan Sebiji Pisang Laku Rp 98 miliar
KEMPALAN: Berita soal seni instalasi berjudul Comedian karya Maurizio Cattelan, 64 tahun, seniman asal Padua, Italia, berupa sebiji pisang yang dilakban (warna) perak yang laku di Balai Lelang Sotheby’s 6,6 US dollar (Rp 98 milliar), direspons macam-macam. Termasuk saya yang menulis tentang itu di Facebook Sabtu 30 November lalu.
Postingan saya tersebut setelah 3 hari diatensi oleh :
22 orang (4 hati merah, 17 jempol, 1 wajah perhatian/peduli).
Sementara di kolom komentar terdapat 20 respons dalam bentuk tulisan.
Sutradara teater Karsono berkomentar dengan nuansa filosofis lumayan panjang. Begini:
Seni itu seperti membingkai logika dengan logika untuk menemukan logika baru. Atau semacam membongkar ketidak-mungkinan menjadi mungkin.
Disini “seniman” seolah memiliki ruang tak terbatas untuk mengaplikasikan gagasan dan pikirannya yang sering kali dianggap nyeleneh karena sudah berada jauh di luar pikiran normatif.
Tentang karya seni sebiji pisang yang mahal, bisa saja kita memaknainya dengan : Ini semacam peringatan rasa kemanusiaan kita tentang krisis pangan yang sedang terjadi di negara konflik karena perang.
Jangankan sebiji pisang, sisa makanan basi yang sudah bercampur debu bisa sangat mahal harganya dalam situasi itu.
Di sini kita sedikit bisa menemukan logika bahwa berapapun jumlah uang, itu hanya deretan angka atau sekedar tumpukan kertas yang nilainya tidak sebanding dengan sebiji pisang yang real bisa dimakan untuk mempertahankan hidup.
Mungkin saja ini tidak sesederhana seperti yang saya pikirkan.
Setelah membaca komentar Om Karsono (demikian saya biasa memanggil), saya lantas berkomentar : Wow…dahsyat !
Sementara itu Facebooker asal Jogja, Ibue Endangs, menulis : Sulit dinalar… karena tetap tidak ketemu nalar…
Sedangkan pelukis ekspresionis Fathur Rojib dari Sidoarjo, berkomentar :
- Seni adalah kebohongan. (Pablo Picasso).
- Seni adalah tentang siapa yang bermain di dalamnya. (saya sendiri).
Adapun Halim HD networker yang bermukim di Solo, di jalur komentar Fathur Rojib menulis pendek, namun cukup membuat saya mengerutkan dahi : Itu ngarang.
Halim pun memberi komentar di jalur personal : Melu melu rame. (Ikutan rame, ya).
Nah, dari komentar pendek ‘itu ngarang’ lantas membuka memori saya sekitar 30 tahun lalu, saat saya masih runtang-runtang dengan pelukis Ivan Hariyanto (Al Fatihah), Anang Timoer, dan Andhi L. Hamsan.
Dari kawan-kawan pelukis di atas, salah satu dari mereka memberi informasi bahwa harga lukisan yang dilelangkan bisa TST dengan balai lelang dan “pembeli”. Pelukis menaikkan harga lukisannya, demi gengsi pasaran. Padahal lukisan laku semu.
Jika lukisan yang dilelang “terbeli”, pelukis tadi membayar fee 10% ke Balai Lelang. Kira-kira juga membayar ke pembeli boong-boongan.
Apa betul begitu? Wallahualam bishowab…
Dalam konteks ini, artinya jika pisang Comedian tadi laku Rp 98 miliar, Cattelan membayar Rp 9,8 miliar ke Sotheby’s.
Ingatan yang melintas cepat di otak saya, lantas saya manifestasikan dalam jawaban atas komentar Halim : Berarti ada kerja sama dengan balai lelang?
Jawab Halim HD : Persis!
Saat goggling, saya menemukan informasi bahwa Balai Lelang Christi’s dan Balai Lelang Sotheby’s memungut 15% bagi benda-benda yang berhasil dilelang.
Berarti soal 10% yang diinformasi teman(-teman) pelukis di atas tidak akurat dong?
Bukan begitu seharusnya pertanyaannya. Karena komponen 15% itu sebagian diperuntukkan biaya asuransi lukisan dan lain-lain.
Boleh jadi balai lelang bersih mendapatkan 10%.
Dalam konteks yang diinformasikan teman(-teman) pelukis itu, kan lukisan yang dilelangkan laku boong boongan. Tentu tak usah bayar jasa asuransi.
__
Kemarin 2 Desember 2024, saya dan sejumlah nama, di-tag di beranda Facebook Dody Yan Masfa dramawan yang penyair dalam konten berjudul : Dikiranya Kesepian Itu Membutuhkan Keramaian.
Di bawah judul itu, terpampang foto otis (puntung rokok) yang dilakban transparan.
Jujur saya tidak memahami teks postingan ini. Tapi saya paham betul makna foto otis yang dilakban. Parodi !
Ya, otis itu sampah. Ngapain ngeributin sampah, begitu kira-kira makna yang saya tangkap !
(Amang Mawardi).
