Sastrawati Zoya Herawati Syukuran

waktu baca 6 menit
Syukuran pengabdian 40 tahun Zoya Herawati di dunia sastra, dari kiri: Mudjianto owner Majalah Kirana, saya, Toto Sonata wartawan yang penyair, Pak Mardani suami, Zoya Herawati, Zainuri sutradara teater

KEMPALAN : Pada tahun 1970-an di Surabaya ada tiga gadis penulis yang mendapat julukan : The Three Angels. Mereka adalah : Susi Partosudarmo (kadang-kadang menulis dengan nama Susi Parto, mungkin terinspirasi musisi bas terkenal waktu itu Suzi Quatro – pen.), Tiny Frida, dan Zoya Herawati.

Hal ini disampaikan oleh wartawan dan penyair Toto Sonata ketika mengawali syukuran sastrawati Zoya Herawati atas penghargaan yang diterimanya dari Pemerintah Pusat berdasarkan pengabdian selama 40 tahun di bidang sastra, di Depot Pecel Bu Kus, Barata Jaya, Senin 12 Agustus lalu. Atas pengabdian itu, Zoya Herawati mendapat piagam penghargaan dan uang sebesar Rp 25 juta.

Mungkin, kata Toto Sonata yang senantiasa pakai topi bareta, julukan ini terinspirasi serial film di televisi yang waktu itu ngetop yaitu Charlie’s Angels (dibintangi Kate Jackson, Farrah Fawcett, Jacklyn Smith – pen.).

Pada perkembangannya “tiga bidadari” ini, kata Toto Sonata yang aktif di komunitas literasi Warumas (Wartawan Usia Emas), yaitu yang sebelumnya kuliah di jurusan Pendidikan Ilmu Sejarah IKIP Surabaya menjadikan Susi Partosudarmo mengajar di SMA Negeri VI Surabaya sambil terus menulis esai, Tiny Frida yang alumnus Akademi Wartawan Surabaya menjadi jurnalis di Harian Surya, sedangkan Zoya Herawati kuliah di Fakultas Sastra Inggris di salah satu perguruan tinggi swasta di Jogjakarta nyambi jadi kontributor di beberapa koran yang ada di kota itu (1976 – 1979).

Melanjutkan keterangan Toto Sonata, saya menambahkan bahwa sekitar tahun 1980-an Zoya Herawati mengajar Bahasa Inggris di beberapa sekolah swasta di Surabaya. Mendengar cerita saya, Zoya yang didampingi Pak Mardani suaminya, mendengar dengan seksama.

Dalam konteks lain, sebetulnya saya sudah kenal lama dengan Zoya, persisnya tahun 1972. Disebabkan sama-sama anggota Teater Aksera (Akademi Seni Rupa Surabaya) yang dipimpin Hari Matrais ini, juga menerima anggota yang berstatus pelajar SLTA. Tempat latihan Teater Aksera di salah satu spot di kompleks Balai Pemuda, Surabaya.

Saat itu saya pelajar STM Negeri II (Kimia Industri) kelas 2, dan Zoya pelajar SMEA.

Jika datang latihan, Zoya selalu hadir bersama Tiny Frida. Mereka satu kampung di Simo Sidomulyo, Surabaya. Juga satu sekolahan. Saya lupa, di SMEA berapa mereka menempuh studinya. Yang saya ingat, gedung sekolah mereka ada di Jalan Kranggan, bekas sekolah Tionghoa. Setelah huru-hara 1965/1966, gedung sekolah itu di-“naturalisasi” dan ditempati SMEA negeri dan SMEA swasta (masuk siang).

Mereka berdua –Zoya dan Tiny– terlihat begitu bersahabat.
Saya sudah lama tahu tanggal lahir Tiny Frida, karena sama dengan saya. Hanya beda tahun kelahiran, Tiny : 1955. Saya : 1953. Sedangkan Zoya Herawati tanggal kelahirannya baru saya ketahui tadi : 21 Agustus 1956.

Kepada yang hadir pada syukuran di depot yang juga menjual tempe mendoan maknyus itu, setahu saya dulu Zoya adalah penulis puisi. Dan puisi-puisi Zoya saya kesankan sarat sublimasi kalimat. Isi puisinya lebih cenderung ke konotatif (lebih dari satu dimensi), bukan denotatif (dimensi tunggal). Padahal saat itu Zoya Herawati terbilang remaja banget.

Saat saya ditunjukkan puisi-puisinya sesaat sebelum latihan teater dimulai, sempat berpikir, ‘iki puisi opo?’. Tak paham maksudnya, tapi saya suka keindahan bahasanya. Seperti ketika SMP dulu, saya tak paham puisi ‘Catetan Tahun 1946’ karya sastrawan Chairil Anwar, timbul pertanyaan, “iki puisi opo?”, tapi saya terkesan dengan kandungan keindahan, khususnya sebait puisi dalam ‘Catetan Tahun 1946’. Kebetulan yang saya hapal betul bait pertama : Ada tanganku/Sekali akan jemu terkulai/Mainan cahya di air/Hilang bentuk dalam kabut.

*

Lama-lama saya tidak menangkap lagi gaung informasi dunia puisi Zoya. Kemana gerangan sosok ini? Lantas dari kabar kiri kanan, Zoya Herawati mendapat Juara IV sayembara novel yang diselenggarakan Dewan Kesenian Jakarta pada tahun 1998.

Terus saya dengar dari cerita jurnalis Yamin Akhmad yang terkesan setelah membaca biografi berjudul : ‘Malcom X’. Setelah saya cari keterangan dari sana-sini, ternyata lha kok penerjemah dari buku ‘Malcom X’ yang diterbitkan Risalah Gusti pada tahun 1995 ini adalah Zoya Herawati. Wah, ikut bangga saya.

Sekitar empat tahun lalu, saya dihubungi Zoya, “He rek, tulung bantuan aku yo, dadio (jadilah) pembicara novelku ‘Jamaloke’ di Unair,” katanya.

Maka, sesudah Dhuhur jadilah saya salah satu pembicara novel tersebut bersama Zoya Herawati dan Dr. Sarkawi B. Husain dosen Ilmu Sejarah Unair dengan moderator Dr. Adi Setijowati dosen Ilmu Budaya, bertempat di Rumah Budaya Jawa Timur, Universitas Airlangga.

Kenapa ada Dr. Sarkawi B. Husain yang doktor ilmu sejarah di acara bedah novel ini, boleh jadi karena ‘Jamaloke’ berlatar belakang era revolusi 1945.

Tadi, saat syukuran itu, saya minta Zoya untuk menuliskan urutan novel-novelnya. Juga barangkali jika masih menyimpan puisi-puisinya yang pernah ditunjukkan kepada saya sekitar 50 tahun lalu itu.

“Lho, gawe opo?”, tanyanya, yang maksudnya: untuk apa?

Saya jawab : “Masak saya kesini untuk makan doang. Masiyo aku wis tuwek ngene, aku sik wartawan lho (masak saya kesini cuma untuk makan doang, biar sudah tua begini saya masih wartawan).

Zoya tetap keberatan. Akhirnya dia mengatakan, “wis golek-ono nang google (sudah, cari saja di google)”.

Dalam kesempatan pagi itu, Achmad Zainuri sutradara teater penerima Anugerah Seniman Berprestasi Jawa Timur 2012 dari Gubernur Jatim, mengatakan bahwa Bu Zoya lebih banyak berkarya dalam senyap. “Tahu-tahu bukunya terbit,” ujar Pak Nuri yang lantas meneruskan menikmati nasi rawonnya. Sekadar catatan, biar nama lokasi kuliner berindikasi depot pecel, juga menyediakan nasi campur, sop buntut, garang asem, dan rawon. Ini bukan promosi, lho. Kata sementara pendapat, penulis yang baik itu wajib deskriptif : detil tapi tidak bertele-tele.

Sayang di daftar menu (antara lain) ada tertulis ‘es kelapa muda’, ternyata setelah saya pesan, mbak pramusaji di situ mengatakan, “maaf pak, hari ini kami lagi kosong degan (kelapa muda)”. Akhirnya saya minta dihadirkan es dawet.

Sementara Mudjianto Priambodo owner Majalah Kirana mengatakan bahwa Mbak Zoya Herawati mengabaikan unsur ‘terkenal, gak terkenal’ — yang penting beliau terus berkarya.

Nah, saat saya buka google, saya baca beberapa data bahwa sebagian sudah saya ketahui, sebagian lagi belum.

Yang belum saya ketahui, Zoya Herawati saat duduk di SMEA meraih Juara I lomba mengarang esai SLTA se-Surabaya (1972), Juara I Lomba Cerpen yang diselenggarakan Dewan Kesenian Surabaya bekerja-sama dengan Majalah Liberty (1982).

Juara I Buku Terbaik versi IKAPI (2000), menulis ‘The Black September 1965’ (penerbit Sophisticated, Grecee/Yunani – 1985), ‘Rumah di Jantung Kota’ (novel, Surabaya, 1994), Prosesi (novel, Balai Pustaka, 1998), Rabiyah Al Aldawiyah (terjemahan, Risalah Gusti, 1999), Dunia Perempuan (kumpulan cerpen, Grasindo Jakarta, 2000), Kembang Setaman (kumpulan cerpen, Titie Said Jakarta, 2001), Warisan (novel, Grasindo Jakarta, 2005), Derak-Derak (novel, Ombak, 2005), dan Jelaga (kumpulan puisi, penerbit Pagan Press, 2020).

Selain itu ia pada tahun 2016 menerima Anugerah Seniman Jawa Timur Berprestasi dari Gubernur Jatim dan tahun 2022 menerima penghargaan dari Balai Bahasa Jawa Timur untuk kategori pengabdian 50 tahun di bidang sastra.

Novel ‘Jamaloke’ sebelum diterbitkan oleh Pagan Press pada tahun 2020, pernah dimuat bersambung di Harian Jawa Pos pada tahun 1993.

Tentang buku ‘The Black September 1965’ yang diterbitkan di Yunani, tidak ada penjelasan dalam bentuk apa — terjemahan, novel, atau apa.

*

Program penghargaan ini diselenggarakan oleh Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kemendikbudristek.

Dan sudah menginjak tahun ke-2. Dari Jawa Timur, 11 orang yang mendapat penghargaan, yaitu untuk kategori pengabdian 50 tahun: D. Zawawi Imron (Sumenep), JFX. Hoeri (Bojonegoro), Ismoe Rianto (Madiun), Harmono Suharmono K /Dr. Suharmono Kasiyun (Sidoarjo), dan Hendro Siswanggono (Sidoarjo).

Kategori pengabdian 40 tahun : M. Amir Tohar/ Aming Aminoedhin (Mojokerto), Tengsoe Tjahjono (Malang), M. M Shoim Anwar (Surabaya), Sunarko Budiman (Tulungagung), Syaiful Anwar/Syaf Anton (Sumenep), dan Zoya Herawati (Surabaya).

Zoya Herawati satu-satunya perempuan dari Jawa Timur penerima penghargaan itu.

Amang Mawardi jurnalis senior dan penulis, tinggal di Surabaya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *