75 Tahun Leo Kristi

waktu baca 9 menit
Formasi awal Konser Rakyat Leo Kristi (1975), dari kiri : Mung Sriwiyana, Lita Jonathans, Leo Imam Sukarno, Jilly Jonathans, Naniel Yakin. (Foto : Istimewa).

KEMPALAN: Selasa 30 Juli lalu saya mendapat kiriman video dari sobat M. Anis Pemimpin Redaksi ngopibareng.com dan Direktur Pasar Seni Lukis Indonesia. Secara tampak luar video terblok warna hitam, sehingga saya meraba-raba, ini video apa. Yang jelas, pasti ada sesuatu menarik yang dikirim ke nomor WA saya, sebagaimana biasanya Pak Anis kirimkan sebelum ini, terutama yang bersangkut paut dunia kesenian.

Sekilas saya amati, di sudut bawah kanan tertulis jam pengiriman : 18.58. Sedang di sudut kiri bawah terulis : 8.04 — menunjukkan durasi video. Saya membatin: ‘wow lumayan panjang’.

Setelah “kover” blok hitam itu saya tutul, tampak foto Leo Kristi musisi lagu-lagu balada berpakaian serba hitam dengan kepala telanjang tak pakai topi, rambut hitam tebal dengan sisiran ke belakang tanpa belah tengah tanpa belah pinggir. Terlihat juga kumis hitam agak tipis, melintang.

Di baju tanpa kerah itu, persis di ujung leher bawah, terpasang emblem logam burung garuda warna kuning. Maka, sosok ini terlihat gahar.

Di bidang foto itu, sosok Leo berada di bagian agak kanan. Sedangkan di bagian kiri bidang foto –sedikit naik ke atas– terlihat tulisan warna merah : Leo Kristi. Dan di bawah tulisan itu, terpampang tulisan lain warna kuning dengan besaran 3 kali tulisan ‘Leo Kristi’, hampir menyentuh bagian leher foto sosok Leo, karena ada lebih dari 4 kata.

Mungkin karena tulisan warna kuning ini berbentuk tipis, agak meliuk, setiap huruf hampir-hampir seperti bentuk simbol listrik PLN, maka saya tak bisa menangkap bacaan kalimat itu. Atau jangan-jangan kristal lemak katarak di mata kanan saya sudah makin menebal.

Apalagi snapspot foto ini cuma sekian detik, berganti cepat dengan adegan potongan video gegap gempita pertunjukan Konser Rakyat Leo Kristi.

Tampak Leo dengan baret hitam dan berjaket kulit warna coklat, mengenjreng gitarnya dalam posisi kaki kanan ditangkringkan di boks seperti biasanya, berdampingan action dengan vokalis Titi Sutupo yang berbaju putih mirip kebaya, bersyal warna coklat melingkari leher dan sebagian menghampar di dada salah satu personelnya itu.

Lantas dengan cepat berganti video Leo dengan seabrek pasukannya, di antaranya delapan wanita muda cantik-cantik berbaur dengan sekian personel laki-laki. Salah satu dari para wanita itu duduk memainkan rebana dengan semangat.

Di belakang pemain ‘bongo kempit’, terlihat tegak Sang Saka Dwi Warna. Dan di bagian video yang menggaungkan lagu dinamis eksotik ini, tertulis : Kereta Laju. Sebuah lagu yang pernah di-cover version oleh grup musik rock Boomerang, mengalir dengan riang sarat dinamika :

Dengar deru roda berlari
Ikat leherku menari-nari
Di luar jendela hujan berhenti
Kulihat pelangi tanda cerah hari

Bawalah aku cepat berlari
Bawalah aku jauh jauh pergi

Ai ai ai ai… Ai ai ai ai… Ai ai ai ai…
Kumama kuma aiii…
Kumama kuma

Begitu antara lain penggalan syair lagu ‘Kereta Laju’.

*

Lantas video berganti sajian foto-foto Leo Kristi dengan tambahan judul : Musisi Leo Kristi Meninggal Dunia; Penyanyi Senior Leo Kristi Meninggal.

Sesudah itu berderet foto, saat musisi Dewa Bujana menjenguk Leo Kristi di rumah sakit Immanuel di Bandung, disusul foto jurnalis senior Bens Leo besuk di rumah sakit itu. Kemudian berganti dengan video ritual pemakaman. Antara lain tampak jenazah Leo berkafan diturunkan ke liang lahat.

Pada momen ini, saya menangkap kecerdikan kreator video. Sebagaimana direnungi oleh banyak lansia, “stasiun” adalah masa senja tempat dimana para manusia sepuh menunggu dijemput oleh kereta kematian. Dan kematian itu digambarkan Leo dengan lirik:

Bawalah aku cepat berlari
Bawalah aku jauh jauh pergi

Maka, sebuah kematian yang indah pun tersimbolkan :

Di luar jendela hujan berhenti
Kulihat pelangi tanda cerah hari

Mungkin bagi Leo, lagu ini secara tidak sengaja diciptakan sebagai gambaran perjalanan dari singgah ke singgah. Namun, bukankah dalam kehidupan ada saja isyarat “cahaya langit” yang seringkali tidak disadari oleh manusia sebagai pelakunya?

Setelah itu disusul video pementasan lainnya, di antaranya menampilkan close up dua penyanyi grup Konser Rakyat Leo Kristi, muda cantik. Salah satunya mirip Agnes Monica.

Lantas tampak foto formasi awal grup tersebut yang dibentuk pada tahun 1975 : Naniel Yakin sedang berdiri pegang flute, Leo memainkan gitar, dan Jilly Jonathans dalam posisi action menyanyi dan memetik gitar. Personel lain yaitu Mung Sriwiyana (pemain bas) dan Lita Jonathans (vokalis) tak ada dalam tangkapan kamera.

Setelah itu terpampang deretan foto-foto klipping koran dan majalah lawas dengan judul : Leo Kristi Nyanyian Sunyi Trobadur Tua; Leo Kristi, Pejalan Jelata; Menemukan Leo, Menemukan Puisi; Leo Kristi, Musik, dan Lukisan Cinta ; dan masih sekian judul dari banyak klipping. Salah satunya ditulis oleh Kristanto JB redaktur seni dan budaya Harian Kompas : Leo Kristi, Troubadour Indonesia Masa Kini.

*

Deskripsi video di atas masih berjalan separuh durasi. Sisa lainnya memperlihatkan deretan kaset, laser disk, rak perpustakaan yang khusus menyimpan dokumentasi perjalanan Konser Rakyat Leo Kristi, dan masih ada sejumlah foto serta beberapa video lain dengan segala atraksi dan kenyentrikan Leo Kristi.

Salah satunya diperlihatkan, Leo ber-out fit celana hijau pupus, berjaket hitam dan dengan kepala bertengger helm putih lengkap mika cembung pelindung wajah mirip mata belalang — setengah terbuka. Sementara kacamata model pilot pesawat tempur menempel di kedua matanya. Ediaann !

Jelang menit ke-8 diperlihatkan kredit titel video, menampilkan puluhan kreator pendukung, antara lain tertulis — Sutradara: IGP Wiranegata; Penulis naskah : Ramdan Malik.

Di akhir video itu, ditulis ucapan terima kasih kepada : Direktorat Perfilman, Musik, dan Media. Entah institusi apa yang dimaksud dengan persembahan ini.

*

Mungkin karena aktivitas saya belakangan begitu padat –baik yang penting maupun tidak penting– saya tidak bisa menangkap maksud dan tujuan pembuatan video, kendati durasi lumayan lama. Impresi saya tersandera oleh bagusnya video ini. Lantas saya coba putar lagi, hingga 4 kali saya tonton.

Tiba-tiba saya teringat postingan jurnalis senior Supriyanto Martosuwito (Dimas Supriyanto) mantan redaktur Harian Pos Kota dan mantan sejumlah jabatan eksekutif puncak di media cetak. Sekarang Dimas Pemimpin Redaksi media online seide.id., dimana pagi 30 Juli lalu saya baca di beranda Facebook-nya tentang perjalanan Leo Kristi Imam Sukarno (8 Agustus 1949 – 21 Mei 2017).

Setelah saya cermati dalam tempo yang tidak sesingkat-singkatnya, baru saya ngeh bahwa video yang di-share oleh sahabat saya M. Anis yang juga mantan anggota Lembaga Sensor Film, boleh jadi merupakan bagian dari peristiwa yang sedang diamati oleh Dimas Supriyanto via postingannya di Facebook itu.

Awal cerita, Sabtu 27 Juli 2024, Dimas memenuhi undangan acara mengenang Leo Kristi : Aku Tak Kan Pernah Mati — mulai pagi hingga malam, di Gedung Wahyu Sihombing, Taman Ismail Marzuki.

Judul acara yang dibuka oleh Dirjen Kebudayaan Hilmar Farid ini, mengingatkan saya pada sebaris puisi sastrawan Chairil Anwar : aku mau hidup seribu tahun lagi.

Jelas sudah, tulisan kuning tipis meliuk mirip simbol PLN, yang saya singgung pada awal tulisan ini –ya itu tadi– Aku Tak Kan Pernah Mati.

Ada dua pokok acara: Simposium dan Pertunjukan Lagu-lagu Konser Rakyat Leo Kristi.

Simposium diisi oleh pembicara Romo Muji Sutrisno, dianalisis oleh komposer dan etnomusikolog Franki Raden serta budayawan Taufik Rahzen.

Franki Raden mengatakan bahwa ciri menonjol aransemen musik Leo adalah hadirnya unsur bermain yang kuat (playful) dengan mengandalkan musik akustik : gitar, suling, biola dan lain-lain — sebagai alat musik tampilan utama.

Menurut doktor musik lulusan Wisconsin University ini, Leo sangat dipengaruhi musik country Amerika, tapi otentisitas materi kesenian Leo sangat berbeda.

Di sisi lain, Leo Kristi dibahas sebagai sosok patriotis nasionalistik. Leo mencintai bangsanya dari pinggiran. Dia menyuarakan yang terpinggirkan lewat sebagian besar dari lirik 108 lagu yang diciptakannya yang terhimpun dalam 13 album.

Dalam kaitan bahasan itu, saya teringat satu judul lagu yang diciptakan Leo, yaitu : Jabat Tangan Erat-Erat Saudaraku.

Dalam salah satu bait berbunyi :

“Kalau cermin tak lagi
punya arti
Pecahkan berkeping- keping
Kita berkaca di riak gelombang
Dan sebut satu kata : hak-ku ! “

Dari ungkapan bait di atas, barangkali akan bisa menjawab pertanyaan : apakah lagu Leo Kristi lagu rakyat? Ya, tentu saja karya-karya Leo menyuarakan kehidupan rakyat.

Namun, apakah rakyat kebanyakan mengenal dan menghayati musik Leo Kristi? Itu soal lain.

Musik kerakyatan dan musik yang disukai kebanyakan rakyat adalah dua hal berbeda, sebagaimana ditulis Dimas Supriyanto di beranda Facebook-nya itu.

*

Acara simposium ini ditunjang oleh pameran foto mengenai kiprah perjalanan Konser Rakyat Leo Kristi yang digerakkan oleh Leo Imam Sukarno, pemutaran video, dan pergelaran musik lagu-lagu Leo Kristi oleh Ote Abadi (vocal, gitar, harmonika) dan kawan-kawan, antara lain didukung Didik dan team IKJ, juga dengan mendatangkan
salah satu vokalis Leo Kristi Mona van Der Kleys dari Jerman. Pertunjukan berlangsung dua jam.

Pada salah satu komentar di postingan Dimas Supriyanto, menarik yang disampaikan Tatang Ramadhan Bouqie bahwa sebagai musisi Leo membuatnya terpesona. Tapi sebagai penampil, profesionalitasnya
lemah. Tatang sering dibuat kecewa, misalnya saat di panggung Leo masih nyetem-nyetem gitar, atau mencoba-coba peralatan musik baru. Atau baru saja menyanyikan dua lagu, ditinggal masuk ke balik panggung. Setengah jam kemdian baru muncul kembali.

Namun, kata Tatang, penggemar fanatiknya menganggap hal itu biasa. Malahan yang “nyeleneh-nyeleneh” lainnya dari Leo, dipahami bagian unik dari pertunjukan.

Tapi, “pada intinya,” tutur Tatang, “Leo adalah seniman dan kreator unggul !”

Sehubungan dengan yang dinyatakan Tatang Ramadhan Bouqie, saya teringat kejadian 29 tahun lalu di kompleks Balai Pemuda, Surabaya.

Saat itu seputar bulan Mei 1995 diselenggarakan semacam festival seni selama sebulan penuh, menampilkan berbagai kegiatan sastra dan atraksi dari cabang-cabang seni lainnya. Nama event itu yang dimotori oleh Cak Kadaruslan salah tokoh Surabaya adalah : Parade Seni WR Soepratman.

Salah satu penampil adalah Leo Kristi. Panitia agak dibuat kalang kabut oleh Leo : minta disediakan grand piano untuk pertunjukannya. Terpaksa panitia cari sewaan. Akhirnya piano pun dengan hati-hati diturunkan dari truk, selanjutnya di-setting di gedung utama bagian selatan.

Malam harinya pintu gedung dibuka. Penonton masuk. Di lantai gedung –bukan di panggung– bertengger sebuah grand piano. Di dekat piano besar itu, terletak sebuah meja yang di atasnya tersusun malang melintang balok-balok es batu. Wow… artistik sekali !

Lantas muncul Leo. Berbasa-basi sebentar, kemudian mengeluarkan kaset dari sakunya dan memasukkannya ke tape recorder. Tombol play ditekan.

“Silakan menikmati,” kata Leo. “Merdeka!”.

Ya, cuma itu pertunjukannya, pemutaran sebuah lagu karyanya (maaf, saya lupa judulnya). Banyak penonton yang protes.

Namun, Halim HD networker budaya yang hadir disitu, membela Leo. “Itulah estetika Leo. Terima saja! “.

*

Menarik lagi yang ditulis Dimas Supriyanto di awal postingannya, menyitir ucapan Eros Djarot yang berada di belakang bagian gedung yang bicara setelah simposium baru saja disimpulkan. Rupanya Eros dan kawan-kawan hadir belakangan. Atas permintaan audiens, Eros mengatakan : “Menurut saya, Leo Kristi itu nggak usah dibahas. Dia sama dengan musisi lain. Suka sama yang cantik-cantik di sekelilingnya. Leo Kristi itu untuk ditonton dan didengar musiknya.”

Hari ini, 8 Agustus, jika Leo masih hidup, berusia 75 tahun. Mari kita berdoa yang baik-baik.

Amang Mawardi jurnalis senior dan penulis, tinggal di Surabaya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *