Jokowi, The Next Level Soeharto
KEMPALAN: Siapa tokoh idola Jokowi? Secara terbuka Jokowi tidak pernah mengungkap siapa tokoh idolanya. Publik juga tidak tahu apakah dia pernah membaca biografi tokoh-tokoh nasional dan dunia. Setahu kita Jokowi hanya membaca komik Sinchan. Karena itu kita tidak benar-benar tahu siapa idolanya.
Melihat sepak terjang politik Jokowi publik hanya bisa membayangkan siapa kira-kira tokoh yang diidolakan Jokowi dan yang coba dia tiru kiprahnya. Selama sepuluh tahun memerintah, Jokowi mempunyai penggemar dan pembenci yang mungkin jumlahnya hampir sama. Di mata pendukungnya Jokowi adalah hero. Di mata lawan politiknya Jokowi mendapat rapor merah dalam demokrasi. Jokowi bahkan dianggap menghancurkan legasi demokrasi dari hasil reformasi 1998.
Dalam hal ini Jokowi lebih mirip dengan Pak Harto, meskipun tidak mirip-mirip amat. Setidaknya ada satu hal pokok yang membuat Jokowi layak disebut sebagai The New Soeharto, yakni pendekatan pembangunanisme yang diadopsi oleh Jokowi.
Perbandingan Jokowi dengan Pak Harto tidak bisa apple to apple, terutama karena Pak Harto berlatar belakang militer dan memperoleh kekuasaan politiknya dengan mengandalkan kekuatan militer. Selama tiga dasawarsa berkuasa Pak Harto piawai mempergunakan kekuatan militer untuk menunjang kekuasaannya.
Pak Harto bisa mempertahankan kekuasaannya karena mendapatkan legitimasi dari pembangunan ekonomi yang stabil selama 30 tahun. Gagasan industrialisasi yang dicanangkan Pak Harto berhasil membawa Indonesia menjadi salah satu negara industri baru yang dijuluki sebagai NIC (new industrialised country).
Pak Harto mensyaratkan stabilitas politik sebagai prasyarat pembangunan ekonomi. Karena itu Pak Harto tidak memberi ruang kepada partai politik untuk bergerak bebas. Partai-partai politik dikebiri dan kemudian digabungkan ke dalam fusi tiga partai PPP (Partai Persatuan Pembangunan), PDI (Partai Demokrasi Indonesia), dan Golkar. Tiga kekuatan politik itu praktis tidak berkutik di bawah kontrol Pak Harto.
Beberapa waktu yang lalu Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) yang memampangkan foto dua muka, separoh Soeharto dan separoh Joko Widodo. Foto itu menggambarkan dua sosok yang menjadi satu, atau satu sosok yang punya dua sifat yang sama.
Narasi foto itu mencantumkan 10 kesamaan antara Joko Widodo dengan Soeharto. Semua poin itu berfokus pada satu titik yang sama, yaitu kedua presiden itu sama-sama otoriter dan kebijakannya tidak kompatibel dengan nilai-nilai demokrasi. Banyak pandit politik yang menyebut rezim sekarang ini sebagai neo-orba, alias orde baru baru dan ada yang menyebut Jokowi sebagai The Little Soeharto.
Tiga puluh tahun memimpin Indonesia, Soeharto menjadikan pembangunanisme sebagai legitimasi utama pemerintahannya. Soeharto sangat terobsesi oleh pembangunan dan melakukan apa saja demi memastikan pembangunan berhasil. Soeharto mendapat gelar ‘’Bapak Pembangunan’’ sebuah gelar yang bersifat ‘’self-proclaimed’’ yang dibuatnya sendiri untuk dirinya sendiri.
Pembangunan membutuhkan stabilitas sosial dan politik. Sumber destabilisasi politik adalah partai-partai politik. Soeharto kemudian melakukan rekayasa yang canggih untuk menjinakkan partai-partai politik. Dari puluhan parpol Soeharto berhasil mereduksinya menjadi dua partai merger yang dipaksakan berdasarkan ideologi nasionalisme dan agama.
Atas nama pembangunan Soeharto mengerahkan kekuatan ABRI untuk mengintimidasi dan merampas tanah rakyat. Pertumbuhan ekonomi yang stabil selama puluhan tahun menjadi legitimasi utama Soeharto. Ia menjaga supaya pertumbuhan ekonomi stabil di kisaran 7 persen setiap tahun. Dengan stabilitas pertumbuhan itu Indonesia masuk dalam kategori ‘’Macan Asia’’ bersama Thailand, Singapura, dan Taiwan.
Bangunan yang diarsiteki Soeharto terlihat megah dan mewah, tapi ternyata fundamentalnya rapuh. Pondasi pembangunan ekonomi keropos karena banyak nepotisme, kolusi, dan korupsi. Bangunan sosial yang kelihatan indah dan menawan ternyata menyimpan borok yang mengerikan, karena dibangun tanpa demokrasi dan hanya mengandalkan kekuatan represif yang mengintimidasi.
Soeharto mendasarkan legitimasinya dengan menciptakan musuh bersama. Maka diciptakanlah musuh-musuh itu dalam bentuk kelompok-kelompok yang disebut sebagai ekstrem. Kelompok ekstrem kiri atau ‘’eki’’ adalah komunisme dan kelompok ekstrem kanan atau ‘’eka’’ adalah kelompok radikal Islam. Dua musuh itu selalu dihembus-hembuskan sebagai ancaman untuk memperkuat legitimasi rezim Orde Baru.
Soeharto sadar bahwa opini publik akan berpengaruh terhadap stabilitas. Maka, saluran utama opini publik dikontrol dengan ketat. Pers sebagai sarana pembentukan dan penyaluran opini publik dikendalikan dengan ketat. Pers yang seharusnya berfungsi sebagai watchdog, anjing penjaga, berubah menjadi laps dog alias anjing pangkuan.
Pembangunan tanpa demokrasi ala Soeharto terbukti rapuh. Selama ini selalu ada yang mempertentangkan antara demokrasi dan pembangunan. Demokrasi, katanya, tidak bisa membuat kenyang. Rakyat butuh nasi, bukan demokrasi.
Filsuf Inggris kelahiran India, Amartya Sen, mengingatkan bahaya pandangan itu. Sen menulis dalam ‘’Development as Freedom’’, bahwa demokrasi dan pembangunan harus berjalan seiring sejalan. Memprioritaskan salah satu di antaranya akan menyebabkan petaka.
Jalan yang harus ditempuh demokrasi dan pembangunan memang panjang dan berliku. Sen mengingatkan bahwa jalan itulah yang harus ditempuh untuk mencapai pembangunan yang berkelanjutan dan membahagiakan.
Soeharto terbukti gagal, karena memilih jalan pembangunan dan mengabaikan jalan demokrasi. Jokowi tentu sudah tahu sejarah itu. Tapi, apakah Jokowi belajar dari sejarah Soeharto? Daftar 10 kesamaan Jokowi dengan Soeharto yang disodorkan YLBHI menunjukkan bahwa Jokowi memilih jalan yang kurang lebih sama dengan Soeharto.
Pemilihan presiden 2024 kali ini menjadi turning point yang membuktikan despotisme Jokowi yang sangat mungkin melebihi Soeharto. Pada awal pemerintahannya di dasawarsa 1980-an Soeharto dianggap cukup bersih. Ia terlibat dengan nepotisme setelah anak-anaknya dewasa dan berada pada usia 40-an tahun. Saat itulah Soeharto mulai memberi konsesi ekonomi berupa berbagai monopoli kepada anak dan kroninya.
Jokowi melakukan nepotisme yang jauh lebih parah dari Soeharto hanya dalam waktu 9 tahun pemerintahannya. Bahkan Soeharto yang despotis tidak berpikiran untuk merekayasa anaknya untuk menggantikan dirinya dengan merekayasa konstitusi. Dalam hal ini Jokowi jelas melampaui Soeharto.
Tragedi pilpres 2024 ini membuat Jokowi layak dijuluki sebagai The New Soeharto. Atau malah The Next Level Soeharto.
Oleh: Dhimam Abror Djuraid, founder kempalan.com
