Dilema Demokrat Antara Politik Mengunci, Tragis Berakhir Terkunci

waktu baca 6 menit

KEMPALAN: Siapa sangka Partai Demokrat (mesti) terpental dalam Koalisi Perubahan untuk Persatuan (KPP). Pastilah tidak ada yang menyangka. Kemesraan yang dibangun dalam koalisi, mesti berakhir setragis itu. Tapi itulah politik yang memang sering menghadirkan kejutan-kejutan yang sulit dibayangkan. Lalu yang muncul persepsi negatif pada satu pihak, tanpa tahu masalah sebenarnya.

Sudah hampir dua pekan peristiwa hengkangnya Demokrat, tapi suasana kebatinan yang ditimbulkan sampai saat ini rasanya belum terobati, atau setidaknya belum benar-benar move on selayaknya. Masih muncul gerenengan Demokrat ditujukan pada Anies/NasDem. Misal ucapan AHY yang menyebut, “Bersyukur keluar dari KPP, Allah menuntun kita ke tempat lebih baik”. Klaim Demokrat atas langkah yang menurutnya diridhoi-Nya, itu satu cara menghibur diri.

Dinamika politik yang muncul boleh dianalogikan air lautan yang tenang, namun tiba-tiba ombak datang keras menggelegar yang sama sekali di luar perhitungan. Atau boleh juga dianalogikan dengan ramalan cuaca, yang semula diramal cerah, tapi tiba-tiba hujan turun lebat. Dinamika politik acap tidak menentu, bahkan sulit dinalar.

Tapi jika mau sebenarnya menganalisa, mencari tahu dinamika yang terjadi di KPP, khususnya di penghujung bulan Agustus, semuanya akan terbuka terang benderang. Partai Demokrat, PKS, dan juga NasDem sebenarnya punya kedudukan yang sama. NasDem memang partai yang pertama kali mendeklarasikan Anies Baswedan sebagai Bacapres yang diusungnya. Setelah itu disusul PKS dan Demokrat, yang juga mendeklarasikan Anies sebagai Bacapres dari KPP. Perjanjian pun di buat, bahwa Bacawapres diserahkan pada Anies Baswedan untuk memilih siapa yang dikehendakinya.

Pada awalnya PKS mencalonkan Ahmad Heryawan (mantan Gubernur Jawa Barat 2 periode), sebagai Bacawapres yang mendampingi Anies. Sedang Demokrat menyodorkan Ketua Umum Agus Harimurti Yudhoyono (AHY). NasDem memilih tidak menyodorkan Bacawapres seperti 2 rekan partai koalisi lainnya. Tim 8 dibentuk, terdiri dari perwakilan 3 partai, dan utusan Anies, yang dikomandani Sudirman Said.

BACA JUGA: Teruntuk Kader Partai Demokrat di Mana pun Berada, Camkan! (Sebuah Pernyataan Imajiner AHY)

Dari pertemuan ke pertemuan dan dari pekan ke pekan Tim 8 aktif melakukan pertemuan untuk menyolidkan koalisi, mencari titik temu jika muncul perbedaan. Banyak hal dibahas, yang utama dan paling alot adalah penentuan siapa cawapres pendamping Anies. Meski cawapres itu urusan Anies, tapi partai dalam koalisi tetap cawe-cawe menentukan siapa yang paling pas membersamai Anies. PKS memilih tidak ngotot mengegolkan jagoannya. Maka sikap PKS paling enjoy dalam setiap diskusi di Tim 8.

Tapi tidak dengan Demokrat yang menjagokan AHY sebagai cawapres Anies. Sedang NasDem, meski tidak keberatan dengan AHY tapi tetap mencari opsi sosok lain yang mungkin lebih pas sebagai pendamping Anies. Muncul tarik menarik antara Demokrat yang menghendaki deklarasi pasangan capres-cawapres disegerakan, tentu berharap AHY yang dipilih. Sedang NasDem tidak menghendaki deklarasi disegerakan. Riak ketegangan muncul, dan tertangkap sampai ke ruang publik. Perang opini antara Demokrat, acap disuarakan Andy Arief, dan NasDem oleh Ahmad Ali.

Andy Arief acap muncul dengan narasi yang tidak elok, tidak seharusnya. Ada “penghianat” dalam KPP, ujarnya. Lanjutnya, Demokrat akan tetap bersama PKS dalam koalisi. Maka, kata “pengkhianat” seolah dilabelkan pada NasDem. Ini lah puncak ketegangan, yang sepertinya tunggu waktu untuk meledak. Pencarian opsi lain yang disuarakan NasDem, disebutnya langkah pengkhianat. Anies berada dalam posisi sulit mengakomodir kepentingan NasDem dan Demokrat, yang sepertinya sulit disatukan dalam kemauan yang sama.

Sampai Demokrat perlu “mengancam”, jika sampai awal September deklarasi pasangan tidak dilakukan, maka Demokrat akan mencari opsi lain. Mencari opsi lain, itu bermakna Demokrat akan mencari labuhan koalisi di luar KPP. Demokrat jelas memainkan politik mengunci, dan itu disadarinya. AHY pun seperti tidak segan mengakuinya, setidaknya dalam dua wawancara ia mengatakan, yang pada intinya, Anies tidak akan bisa dicapreskan jika Demokrat meninggalkan KPP.

Karenanya, Anies pun sampai pada kesimpulan bahwa jalan sudah tertutup untuk koalisi bisa dilanjutkan. Selasa sore, 29 Agustus, sebenarnya KPP ini sudah bubar. Sudah tidak bisa dikompromikan lagi, sudah sampai gebrak-gebrak meja untuk diakomodir keinginan satu pihak dengan pihak lainnya. Keinginan disegerakan deklarasi pasangan capres-cawapres, atau yang menghendaki tidak perlu deklarasi disegerakan. Jalan seperti sudah tertutup. Dan, Anies sampai pada batas berpasrah pada Tuhan. Tidak tahu apa yang bakal terjadi. Diutuslah Sudirman Said untuk bicara, baik pada Demokrat maupun NasDem akan kondisi yang ada, yang kemungkinan koalisi tidak akan dapat berlayar, kecuali ada jalan Tuhan menghendaki. Pasrah pada takdir Tuhan.

BACA JUGA: Berpikirlah Jernih Demokrat

Tapi pada saat yang sama, tanpa diketahui yang lainnya, termasuk tidak diketahui Anies–saat itu Anies ada di Jombang–Surya Paloh mengadakan pertemuan diam-diam dengan Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar. Terjadilah kesepakatan koalisi. Lalu, Anies diberi tahu. Maka, tidak berpanjang-panjang deklarasi pun dilakukan di Surabaya, Sabtu (2 September). Sehari sebelum deklarasi NasDem dan PKB berlangsung, Demokrat menyatakan diri keluar dari KPP, dan menarik dukungan capres pada Anies.

Apakah benar Anies tidak menyampaikan masuknya PKB itu pada Demokrat, juga pada PKS. Ikhtiar untuk berkesempatan bertemu justru dibuat tertutup oleh Demokrat, itu beberapa hari sebelum deklarasi Anies-Muhaimin berlangsung. Sudirman Said menceritakan dengan rinci bagaimana Demokrat menutup pintu untuk AHY bisa menerima Anies. Ikhtiar optimal sudah dilakukan, yang tak bersambut.

Demokrat seperti memilih tidak mau ada lagi diskusi, itu tentu karena kemauan mengakomodir AHY sebagai pendamping Anies tertutup. Playing victim lalu dimainkan, seolah mengajak publik untuk berempati. Anies disebutnya mengambil keputusan tanpa terlebih dulu dibicarakan dengan parpol anggota koalisi lainnya. Demokrat menampakkan diri sebagai pihak yang dizalimi. Sumpah serapah pada Anies dan NasDem pun terus diumbar. Termasuk umpatan pada Anies dan NasDem dilakukan Ketua Dewan Pertimbangan Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Pada awalnya, itu efektif. Tapi setelah Sudirman Said mengklarifikasi apa yang sebenarnya terjadi. Disampaikan dengan rinci di podcast FNN yang dipandu Hersubeno Arief, semuanya jadi terbalik. Memukul balik Demokrat dengan kerasnya.

Menyusul pula klarifikasi dari Ketua Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Polhukam) DPP PKS, Almuzamil Yusuf, itu makin menguatkan bahwa tidak ada yang dikhianati saat pilihan cawapres jatuh pada Muhaimin Iskandar. Diterangkannya, bahwa dalam piagam KPP, pimpinan ketiga parpol sudah bertanda tangan untuk menyerahkan keputusan penentuan cawapres itu kepada Anies Baswedan. Ditambahkan, bahwa tidak ada ketentuan Anies harus berkonsultasi pada pimpinan parpol koalisi terkait cawapres yang akan dipilih. Semua itu termuat dalam piagam KPP.

Karenanya, pukulan balik itu makin menampar wajah Demokrat, menampakkan wajah kekanak-kanakan, dan memaksakan kehendak. Lalu Memilih hengkang dari KPP, karena keinginan yang tak sampai. Playing victim pun dimainkan, dan dalam perjalanan waktu masyarakat bisa melihat apa yang sebenarnya terjadi.

Hari-hari ini Demokrat disibukkan dengan mencari koalisi yang paling memungkingkan di antara ketidakmungkinan yang mau tidak mau mesti dijalani, itu bukan perkara mudah. Posisi Demokrat menjadi terkunci, karenanya tidak lagi bisa disebut sebagai partai yang menyuarakan “perubahan”. Demokrat jadi bagian tak diperhitungkan dalam koalisi yang memilih “keberlanjutan” sebagai pilihan politiknya.

Ditambah lagi, Demokrat terkunci tak lagi punya kemungkinan jika ingin mendudukkan AHY sebagai cawapres Prabowo Subianto, atau Ganjar Pranowo. Itu disadari elit partainya, yang mengatakan bahwa Demokrat tak lagi mengharuskan AHY sebagai cawapres dalam koalisi barunya nanti.

Dilema Demokrat dilema partai yang memilih politik mengunci di awalnya, dan tragis berakhir terkunci oleh langkahnya sendiri. Kalau sudah begini, apa mau dikata…**

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *