Defisit Moral Kemerdekaan

waktu baca 3 menit
Upacara peringatan 17 Agustus (*)

JAKARTA-KEMPALAN: Bangsa ini dimerdekakan dengan satu tujuan agar bisa mandiri dan mengatur dirinya sendiri. Bangsa Indonesia merupakan bangsa yang bermartabat dan berbudaya. Sebagai bagian dari Indonesia, masyarakat Indonesia diharuskan menjadi masyarakat dengan etika dan etiket yang baik. 

Sebelum Indonesia merdeka, Soekarno telah berupaya untuk menciptakan dan menjadikan Pancasila sebagai ideologi negara. Dengan adanya Pancasila, diharapkan mampu menjadi pedoman sehingga semua yang berkaitan dengan Indonesia merdeka dapat tertata dengan lebih baik.

Prinsip Praktik-praktik Pelaksanaan nilai-nilai bernegara yang baik melibatkan sejumlah prinsip dasar. Pertama, prinsip supremasi hukum, di mana semua tindakan pemerintah dan warga negara harus tunduk pada hukum yang adil dan jelas. Kedua, prinsip hak asasi manusia, yang menjamin perlindungan hak-hak dasar setiap individu tanpa diskriminasi. Ketiga, prinsip pemerintahan yang baik, dengan transparansi, akuntabilitas, partisipasi publik, dan efisiensi dalam mengelola sumber daya negara.

Selain itu, nilai-nilai seperti keadilan sosial, persatuan nasional, toleransi, dan penghormatan terhadap keanekaragaman budaya juga penting dalam membangun masyarakat yang harmonis. Semua ini perlu diimplementasikan melalui kerjasama antara pemerintah, lembaga negara, masyarakat sipil, dan warga negara untuk mencapai pembangunan yang berkelanjutan dan kesejahteraan bagi semua.

Menjadi ironi di negara yang sudah 78 tahun merdeka ini masih ada sebagian kelompok yang merasakan berkuasa bertindak seolah penjajah kolonial. Mereka stigmakan dirinya sebagai kelompok yang paling baik, kelompok yang paling nasionalis, kelompok yang paling pancasilais, sehingga menganggap yang lain adalah kelompok masyarakat yang layak dipersekusi dengan tuduhan dan perlakuan sebagaimana penjajah memperlakukan bangsa Indonesia dahulu.

Kelompok ini seolah menjadi kelompok yang istimewa dibanding kelompok yang lain, akibatnya hukum tidak tegak lurus sesuai teksnya, hukum hanya menjadi alat kekuasaan untuk membunuh lawan lawan politik. Padahal lawan politik adalah teman dalam membangun negara agar lebih baik. Peristiwa kritik Rocky Gerung sebagai produk pikiran, seharusnya ditanggapi dengan pikiran, tapi justru dilaporkan sebagai tindakan hukum dan apalagi ada pejabat negara yang bergaya preman lalu pasang badan, seolah bahwa presiden adalah raja. Negara gagal memahami makna demokrasi, kebebasan berpendapat dan berpikir kritis. 

Revolusi mental yang pernah digaungkan oleh pemerintah telah kehilangan konteks, hanya teks kosong. Setidaknya bisa dibilang gagal. Indikatornya sederhana reformasi yang ditujukan untuk membangun pemerintahan yang bersih, bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme serta mampu menghadirkan keadilan sosial bagi rakyat, kini hanya jargon kosong. Negara mengalami defisit moral. 

“Change and continuity” Sebagai gagasan perubahan dan perbaikan, telah dianggap sebagai upaya menghilangkan jejak, padahal gagasan perubahan dan keberlanjutan adalah sebuah hal wajar bagaimana merubah yang dianggap tidak sesuai lalu dikembalikan ke jalan yang benar sesuai dengan amanah konstitusi, lalu melanjutkan yang sudah baik agar lebih baik lagi. 

Mencurigai gagasan perubahan dan keberlanjutan, sebagai upaya untuk menghilangkan jejak, tak ubahnya sebagai sebuah sikap mengukur orang dari dirinya sendiri, jangan-jangan kegemaran menghilangkan rekam jejak pemimpin sebelumnya adalah memang sikap yang sudah dilakukan. 

Jakarta adalah contoh nyata kesesuaian teks dengan konteks menghilangkan jejak pemimpin sebelumnya. Teksnya adalah ada upaya untuk menghilangkan jejak peninggalan Anies, konteksnya dalam kasus JIS dicari cari kesalahan agar ada alasan menghapus jejak karya Anies, hal yang sama dalam event Formula E. 

Semoga tahun 2024 kemerdekaan itu bisa direbut kembali, mengembalikan Indonesia ke jalan yang benar, jalan yang sesuai dengan amanah konstitusi, menghadirkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. 

Isa Ansori, Kolumnis dan Akademisi

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *