Gelamor Lagi Berjuang Hidup, Melangkah Baca dan Tulis Puisi

waktu baca 4 menit
Desemba, Aming, Dan Toto Sonata saat presentasi sastra (*)

SURABAYA-KEMPALAN: Ada yang menarik hari Sabtu (15/7) di siang panasnya kota Surabaya, tepatnya di Rumah Budaya Rakyat, Jalan Karangmenjangan 21 Surabaya. Kegiatan launching buku yang ditulis para pelawak atau pelaku humor kota Surabaya, berjudul “Antologi Puisi Berjuang Hidup- Hidup Berjuang.”

Komunitas ini menyebutnya sebagai gelamor alias, gerakan pelaku humor. Dalam buku termuat puisi-puisi humor, ditulis oleh pelawak: Agus Romli (alm.), Djadi Galajapo, Insaf Mustakin, Kris Mariyono, Kunhadi Wasito, Metty Endel, dan Sabil Lestari.

Hanya sayangnya, yang sempat hadir dan ikut baca puisi hanya Djadi Galajapo, Kunhadi, Sabil, dan Kris Mariyono. Sedangkan pembaca puisi tamu, tampillah: Denting Kemuning, Henry Nurcahyo, dan Amang Mawardi.

Sementara itu, dialog sastranya mendatangkan narasumber penyair Toto Sonata dan Aming Aminoedhin; dengan dipandu moderatornya Desemba. Dalam ulasan komentarnya, Toto Sonata antara lain mengatakan, “Menyambut gembira atas kerja kreatif Kris Mariyono yang bisa mengumpulkan pelawak untuk diajak menulis dan baca puisi.”

Sedangkan Aming Aminoedhin, bercerita tentang perkembangan sastra Jawa Timur dari masa ke masa, serta komunitas apa saja yang pernah buat kumpulan puisi. Kota Surabaya memang melahirkan banyak buku kumpulan puisi, dari beberapa penyairnya.

Sekadar yang saya ingat saja, ada: Antologi Puisi 25 Penyair Surabaya (1976), Semangat Tanjung Perak (1992), Malsasa (Malam Sastra Surabaya)’91, ’92, ’94, hingga 2017 lalu, Jembatan Merah (1993), Memo Putih (2000), dan masih banyak lagi yang lain. Lantas ada juga pelukis yang penyair, bukunya berjudul Jembatan Merah yang memuat puisi penyair yang pelukis.

Belakangan, ada juga Malsabaru (2011), malam sastra bagi guru yang memuat puisi para penyair yang juga guru. Lantas ada pula buku yang ditulis para jurnalis, bertajuk Puisi Ini Kutulis Pakai Komputer (2014), yang waktu itu saya bersama Widodo Basuki yang punya ide dan menerbitkan bukunya.

Kemudian dilanjutkan Kris Mariyono, yang membentuk komunitas Warumas (Wartawan Usia Emas), dengan menerbitkan buku: Kutulis Puisi Ini, Kucinta Negeri Kutulis Puisi (2022) , dan Wartakan Kemanusiaan Kutulis Puisi (2023). Kris Mariyono memang piawai menggandeng banyak pihak untuk terselenggaranya kegiatan penerbitan buku, yang sekaligus tampilan gelaran baca puisinya. Tidak hanya buku puisi Warumas, tapi juga guru-guru se-Sidoarjo, serta alumni Unipa Surabaya.

Nah.. kali ini Kris Mariyono terbitkan antologi puisi Berjuang Hidup-Hidup Berjuang, gerakan pelaku humor, launchingnya bukunya banyak dihadiri tokoh seniman. Secara tampilan baca puisi, tampak sekali mereka tidak grogi di panggung, sebab sudah terbiasa manggung di pentas ludruk. Sehingga tampilan baca puisi mereka para pelawak cukup mengesankan penontonnya. Apalagi dibumbui dengan cerita masa lalunya ketika saat masih main ludruk di tobongan, bahkan penonton terkesan akan cerita mereka yang berdarah-darah bermain ludruk tersebut.

Hason Sitorus, pemilik Rumah Budaya Rakyat, dalam sambutan bukaan acara mengatakan bahwa seniman itu sakti. Sebab ketika tobong ludruk telah rubuh, maka kini kawan-kawan ludruk bisa pindah tampil di Rumah Budaya Rakyat di Karangmenjangan. Bahkan setiap malam minggu pasti atas pertunjukan ludruk di sini, tambahnya. Sitorus juga yakin bahwa sebaik-baik manusia, adalah seseorang yang mau berbuat baik/bermanfaat kepada orang lain. Semoga Rumah Budaya Rakyat ini bisa bermanfaat bagi tumbuhkembangnya seni di kota Surabaya.

Pada sambutan Djadi Galajapo, sebagai ketua Gerakan Pelaku Humor, antara lain mengajak salam jancukan, yang merupakan singkatan dari: jujur, adil, nasionalis, cerdas, ulet, kreatif, anti-maksiat, dan nurut-aturan.

Dalam dialog tanya-jawab, banyak yang mengeluhkan akan sedikitnya penonton yang hadir. Bicara soal sulitnya antar seniman bisa saling bekerja sama, dan bagaimana meregenerasikan ludruk kepada anak-anak milenial, serta bicara pula bagaimana membiayai ludruk bisa tetap hidup di tengah gempuran budaya luar negeri.

Kegiatan siang kemarin memang luar biasa, dan berjalan sukses! Yang pasti gelamor lagi berjuang hidup melangkah menulis dan membaca puisi. Sampai sejauh manakah? Entahlah?

Namun, harus disyukuri bahwa kota Surabaya memang luar biasa, kota berjulukan kota buaya yang sekaligus kota pahlawan, tapi dikenal banyak orang sebagai kota asal ludrukan. Guyonan, sekaligus sindiran. Siapa yang disindir, dan kepada siapa mereka menyindir? Barangkali perlu ikut baca buku antologi puisi ini.

Buku antologi puisi “Berjuang Hidup-Hidup Berjuang” akan menambah daftar panjang antologi puisi yang terdiri dari: penyair, penyair yang guru, penyair yang pelukis, perempuan penyair, penyair yang wartawan; dan kini ada penyair yang pelawak.

(Aming Aminoedhin).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *