Podcast Politik dan ‘’Bojo Loro’’ Didi Kempot di Pengukuhan Prof. Redi Panuju
SURABAYA-KEMPALAN: Tawa dan airmata mewarnai pengukuhan Prof. Dr. Redi Panuju sebagai guru besar Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Dr. Soetomo, Surabaya, Selasa (4/7). Prof. Redi menyampaikan pidato pengukuhan dalam dua bagian. Bagian pertama orasi ilmiah dan bagian kedua adalah orasi sosial. Ketika menyampaikan orasi sosial inilah Redi banyak membuat tawa tapi juga sempat menyeka air mata.
Orasi ilmiah Prof. Redi berjudul ‘’Podcast Politik: Penggunaan Media Sosial sebagai Alat Propaganda Bakal Calon Presiden di Indonesia’’, mengenai penggunaan platform siniar (podcast) sebagai sarana komunikasi politik para kandidat presiden.
Meskipun kandidat presiden belum resmi didaftarkan ke KPU (Komisi Pemilihan Umum), tetapi masing-masing sudah sangat aktif memakai media sosial sebagai alat propaganda politik. Satu yang paling banyak dipakai adalah podcast politik.
Ada dua kategori podcast politik yang disorot oleh Prof. Redi, yaitu podcast yang dibuat oleh stasiun televisi swasta dan podcast yang dibuat oleh perorangan. Podcast televisi merupakan daur ulang dari siaran gelar wicara (talk show) yang sudah disiarkan sebelumnya. Acara itu diedit ulang dengan format video, dan kemudian diunggah di kanal Youtube.
Sedangkan podcast perorangan merupakan hasil produksi individu dengan format wawancara antara host dengan narasumber dengan tema tertentu. Hasil wawancara itu diunggah ke platform media sosial melalui kanal Youtube. Podcaster politik perorangan yang populer antara lain Rocky Gerung, Refly Harun, Akbar Faizal, Deddy Corbuzier, dan beberapa lainnya.
Penelitian dilakukan secara kualitatif dengan metode studi kasus dan etnografi sosial. Prosedur penelitian dimulai dengan memaknai hasil percakapan menjadi kondensasi data kualitatif berdasarkan koding tertentu. Penelitian ini mirip dengan penelitian isi (content analysis) pada media cetak, tetapi kali ini content analysis dilakukan secara digital.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa podcast televisi lebih berhati-hati dalam melakukan wawancara, membatasi diri dengan tema fungsi struktur partai dalam mencari calon presiden dan wakil presiden. Sementara podcast perorangan lebih leluasa mengelaborasi pikiran, perasaan, dan visi calon presiden.
Hal ini karena televisi dibatasi kebebasannya oleh UU 32 tahun 2002 terutama yang berkaitan dengan pelanggaran privasi. Sementara podcast perorangan bebas melakukan eksplorasi terhadap hal-hal yang bersifat pribadi. Secara keseluruhan podcast politik berhasil dalam meningkatkan jumlah pemirsa (viewers), dan karena itu akan menjadi pilihan bagi para politisi untuk melakukan kampanye politik.
Potensi podcast politik yang bisa menarik jumlah pemirsa dalam jumlah besar juga mempunyai ancaman, terutama karena belum ada regulasi yang mengatur pengawasan konten. UU 32/2002 tidak memasukkan podcast sebagai unsur penyiaran.
Karena belum ada regulasi pengawasan maka materi podcast bisa sangat liberal. Hal ini dikhawatirkan menimbulkan friksi di kalangan masyarakat yang bisa memunculkan gugatan hukum. Contoh paling aktual adalah podcast ‘’Ada Lord Luhut di Balik Relasi Ekonomi-Operasi Militer Intan Jaya’’ yang menampilkan nara sumber Haris Azhar dan Fatia Maulidianti yang digugat oleh Luhut Binsar Panjaitan dan sekarang tengah disidangkan.
Podcaster Indonesia juga belum melakukan transformasi institusional untuk menjadi lembaga pers sebagaimana yang diatur oleh UU Pers 90/1999. Hasil wawancara melalui podcast tidak masuk dalam kategori produk jurnalistik dan karenanya tidak bisa mendapatkan perlindungan dari UU Pers.
Orasi Prof. Redi pada segmen kedua berlangsung lebih cair dan penuh gelak tawa. Prof. Redi menyebutnya sebagai orasi sosial. Ia lebih banyak bercerita mengenai kisah hidupnya yang penuh duka cita, sejak dari tempat kelahirannya di Medan, kemudian merantau ke Lampung dan meneruskan SMA dan kuliah di Yogyakarta.
Redi adalah lulusan Fisipol UGM jurusan ilmu komunikasi. Sejak masih SMA di Yogya ia berjuang untuk menghidupi dirinya sendiri dengan mencari koran bekas dan kemudian menjualnya ke pasar Beringharjo. Karena tiap hari membaca tulisan dari koran bekas, bakat menulis Redi muncul. Ia mulai menulis tulisan ringan untuk media lokal.
Bakat menulisnya semakin terasah dan dia mulai bisa menembus koran besar seperti Kedaulatan Rakyat dan Berita Nasional. Beberapa media nasional di Jakarta pun bisa dia tembus. Dri situlah Redi bisa menghidupi dirinya sendiri. Tulisannya menyebar di media-media besar termasuk Jawa Pos.
Ia kemudian hijrah ke Surabaya dan menjadi dosen di Unitomo. Universitas ini menjadi cinta pertama dan cinta seumur hidup Redi. Karirnya melesat menjadi dekan dan wakil rektor serta duduk di yayasan sebagai wakil ketua. Ketika Redi menjadi dekan, fikom Unitomo mengalami masa keemasan sampai seribu mahasiswa. Redi menjadi legenda hidup di Fikom Unitomo.
Redi bercerita mengenai susahnya mengurus kepangkatan guru besar. Ajuannya sampai lima kali ditolak dan harus direvisi. Tidak terhitung berapa kali ia harus wira-wiri dari Surabaya ke Jakarta dengan mobil. Saking beratnya beban yang dirasakan Redi pernah hampir putus asa.
Pada suatu ketika ia dalam perjalanan Surabaya-Jakarta melalui jalan darat. Untuk menghilangkan kepenatan, Redi dan dua temannya mendengarkan lagu-lagu campursari dari Didi Kempot. Kebetulan mereka sama-sama penyuka Didi Kempot. Sepanjang perjalanan untuk mengusir ngantuk dan bosan mereka bernyanyi.
Redi penggemar berat lagu-lagu campursari. Salah satu lagu favoritnya adalah ‘’Bojo Loro’’ yang memang sangat populer. Dari podium Redi menyanyikan bait lagu itu, ‘’Telung dino moleh mrono, telung dino bali nang kene. Bojo enom emoh sedelo, bojo tuwo nggandoli celono’’ (tiga hari pulang kesana tiga hari balik kesini, istri muda tidak mau dikasih waktu sebentar, istri tua menarik celana).
Hadirin tergelak mendengar lagu syair lagu Redi. Tapi buru-buru Redi mengoreksi. ‘’Supaya jangan salah persepsi, saya jelaskan saya tidak punya ‘’bojo loro’’, istri saya satu tapi saya pernah menikah dua kali,’’ katanya.
Air matanya mulai jatuh dan Redi menyeka matanya. Ia pernah menikah dan dikaruniai dua anak. Istri pertama meninggal dunia pada pertengahan 1990. Pada 2000 Redi menikahi Desy Wijowati mahasiswi Fikom Unitomo yang disebutnya sebagai ‘’kembang kampus’’. Dari perkawinan ini Redi dikaruniai empat anak.
Dalam sebuah perjalanan menuju Jakarta dengan mobil Redi tersesat karena salah mengambil rute exit. Kondisi jalanan gelap. Ketika ada tanda jalan Redi kaget karena berada di wilayah Cadas Pangeran di Majalengka. Redi yang menggemari wayang kulit punya firasat aneh. Dalam kisah pewayangan Cadas Pangeran berhubungan dengan keberadaan raseksa yang berwatak buruk. Redi merasa akan terjadi sesuatu. ‘’Saya mendapat pesan Whatsapp mengabari saya di-reshuffle dari yayasan,’’ Redi tertawa getir, hadirin ikut tertawa.
Itu adalah saat-saat terendah yang dialami Redi. Tapi, ‘’Istri saya selalu mengingatkan supaya saya selalu berzikir di dalam mobil,’’ kata Redi. Ia melanjutkan, ‘’Jadinya dilematis. Di satu sisi mendengarkan Didi Kempot supaya tidak mengantuk, tapi harus berdzikir supaya tetap ingat Allah. Jadinya saya campur, berzikir sambil menyanyikan lagu Didi Kempot,’’ hadirin tertawa lagi.
Seperti kata pepatah, ‘’Malam tergelap adalah saat menjelang fajar’’. Sejak insiden Cadas Pangeran Redi seperti mendapat ilham sehingga pengurusan kepangkatan guru besar menjadi lancar. Banyak orang yang seolah dikirim untuk membantunya. Salah satunya ialah Prof. Daniel M. Rosyid, guru besar teknik kelautan ITS (Institut Teknologi 10 Nopember Surabaya).
‘’Saya mendapat karomah dari beliau, tapi saya tidak menceritakannya disini, biarlah menjadi rahasia saya dengan Prof. Daniel,’’ kata Redi sambil menoleh ke arah Prof. Daniel Rosyid yang khusus diundang sebagai anggota senat guru besar dalam pengukuhan itu.
Dalam usianya yang ke-59 Redi sudah mencapai puncak karir akademisnya. Banyak orang yang menilai pengukuhan guru besar Redi adalah formalitas belaka. Rektor Unitomo Prof. Dr. Siti Marwiyah menyebut Redi sudah menjadi ‘’guru besar substantif’’ jauh sebelum dikukuhkan sebagai guru besar resmi.
(dhimam abror)