Belajar Menulis dari Bupati Magetan

waktu baca 4 menit
Dr. Sutejo, penyair dan cerpenis Ponorogo. (Foto: wartanu)

OLEH: Dr. Sutejo, M.Hum.

KEMPALAN: DUA kali Dr. Suprawoto, memecahkan rekor MURI bidang Kepenulisan. Seorang Bupati yang berprinsip ingin dikenang anak cucu dan generasi, baik dalam kekaryaan dan tugas kedinasannya. Dia mengutip Pramudya Ananta Toer, “Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian.”

Malam minggu di acara Mbulan Dhadhari (21/1), yang diselenggarakan di Pendopo Graha Surya, Suprawoto berkisah tentang mengapa, apa, dan bagaimana dia menulis.

Apa yang ditulis beliau? Adalah apa yang beliau lihat, dengar, alami, rasakan, pikirkan, perbuat, dan impikan. Karena itu, yang dituliskan beliau adalah apa yang dialami melalui panca indera, apa yang beliau lakukan dan perbuat, dan apa yang beliau pikirkan dan impikan. Kini, khususnya berkaitan dengan pengalaman pemerintahan. Di sinilah beliau telah melahirkan tiga jilid buku yang berjudul “Menjahit Mimpi Rakyat” (2021, 2022).

Beliau juga menulis tentang kejadian sehari-hari, baik bekerja, birokrasi, sosial masyarakat, dan keluarga. Sungguh, hal demikian merupakan inspirasi bagi birokrat dan dunia pendidikan kita dalam membangun budaya di tempat masing-masing.

Tulisan-tulisan beliau terasa renyah dan komunikatif. Tulisan yang bukan bersifat teori tetapi buah pengulikan dan pengalaman praktik pemerintahan dan kehidupan, yang dipahami, disadari, dimaknai, dan disintesakan secara empirik. Pengalaman pembacaan beliau, sangat berpengaruh dalam sepak terjang kepemimpinannya. Selalu berbeda dengan pemimpin lain, dan senantiasa berdimensi futuristik, jauh ke depan. Contohnya adalah pembangunan Graha Literasi, yang sulit dipahami oleh anggota DPR.

Bedah buku berbahasa Jawa, karya Bupati Magetan Dr. Suprawoto. (Foto: Istimewa).

Selanjutnya, mengapa beliau menulis?

Dari sejumlah buku yang dihasilkan dan beberapa mengikuti Kang Woto (panggilan Dr. Suprawoto) presentasi, hemat saya dapat diungkapkan sebagai berikut.

Pertama, Kang Woto menulis karena beliau ingin mengabadikan kehidupan dan kebudayaan, agar berkesinambungan, berkeadaban, dan berkesadaran. Tentu berbasis keteladanan. Kedua, karena menulis telah jadi panggilan hidup dan jiwa Kang Woto. Apapun keadaan, tetap dan harus menulis. Ingat, menulis adalah proses terapi pikiran dan jiwa. Menulis adalah tugas kehidupan, pesan Kang Woto.

Ketiga, Kang Woto menulis karena beliau hobi. Menulis karena hobi, pasti akan merasa senang sebagaimana hobi yang lain. Pintu terbesar, seseorang menulis barangkali penting menjadikannya hobi, sehingga dalam mewujudkannya rela melakukan pengorbanan.

Keempat, Kang Woto menulis karena ingin mengabadikan pengalaman hidup. Agar bisa dikenang oleh anak cucu dan generasi penerusnya. Apa yang akan kita wariskan setelah mati? Begitu usiknya dengan ekspresi memberikan penekanan.

Kelima, Kang Woto menulis karena beliau ingin mengekspresikan pikiran dan gagasannya. Exercise of knowledge. Eksperimen pemikiran. Begitulah dia. Tak heran buku pengalaman pemerintahannya sebagai Bupati Magetan diberi judul “Menjahit Mimpi Rakyat”.

Kedua Doktor itu, Sutejo dan Suprawoto di Pendapa Graha Surya Magetan.(Foto: Istimewa).

Buku Berbahasa Jawa
Pada acara Mbulan Dhadhari edisi Januari 2023 beberapa waktu lalu, Kang Woto mengisahkan pengalaman menulis buku “Antuk Amanah Bupati Magetan” (Desember 2022), yang ditulis menggunakan bahasa Jawa. Mengapa Bahasa Jawa?

Pertama, dengan logika sosiologis, Kang Woto memaparkan untuk mengisi kerumpangan literasi bahasa Jawa yang dinilai jauh dibandingkan berbahasa Indonesia. Buku berbahasa Jawa itu, ungkapnya, dikirim ke semua sekolah di Magetan, agar pelajar tahu apa yang telah diperbuat oleh sang pemimpin.

Kedua, Kang Woto menulis buku berbahasa Jawa ini karena dia orang Jawa. Kita harus bangga berbahasa Jawa, ikut melestarikan bahasa Jawa. “Menulis dengan bahasa Jawa lebih sulit dan lama dibandingkan menggunakan bahasa Indonesia. Butuh pengorbanan dan kesabaran.” Begitulah pesan Kang Woto, penulis tetap di majalah berbahasa Jawa Panyebar Semangat.

Akhirnya, mari siapa pun kita, jika ingin beradab dan berbudaya penting berliterasi. Saya teringat pesan Prof. Suwardi Endraswara, yang berpesan bahwa hakikat literasi itu melek kahanan. Peka sosial dan situasi sehingga mampu jadi solusi kehidupan sosial masyarakat, berbangsa, dan bernegara. Tanggap ing Sasmita. Semoga! (*/aa)

Dr. Sutejo, M.Hum., seorang budayawan dan penggiat literasi yang tinggal di Ponorogo.

Editor: DAD

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *