Negeri Kepruk Kendil
KEMPALAN: Kepruk kendil adalah sebuah permainan yang populer saat peringatan tujuh belasan. Dengan mata tertutup kita memegang pentungan. Berjalan ke sana ke mari tanpa arah dan tujuan. Menyabet ke samping, memukul ke depan. Lantas….pyaarr…kendil pun hancur berantakan.
Tua muda dan anak-anak menggemari permainan kepruk kendil itu. Orang di sekeliling bersorak-sorak dan berteriak-teriak. Ada yang tertawa terpingkal-pingkal ketika kita tersasar tak tentu arah. Ada yang mengejek, dan bahkan ada yang sengaja memberi instruksi yang menyesatkan.
Kita, dengan mata tertutup dan pentungan besar di tangan, mencoba menaksir arah. Mencoba mencari haluan. Di tengah riuhnya teriakan dan hujatan, kita mencoba mencari sasaran. Sering kali kita tidak bisa mendekati tujuan, dan hanya bisa memukul dan menyabet membabi buta. Dan, ketika kita bisa mengincar objek pyaar…kendil hancur sekali pukul.
BACA JUGA: Klepto
Entahlah, apa makna permainan ini. Beberapa tahun terakhir permaian kepruk kendil jarang ditampilkan pada acara tujuhbelasan di kampung. Kendil yang dibuat dari gerabah bakar makin sulit dicari. Para perajin kendil pasti sudah berguguran gulung tikar.
Dulu, ketika kita masih kanak-kanak, kita sering dolanan dengan teman-teman sepantaran. Di bawah temaram rembulan kita main petak umpet, gobek sodor, dan permainan lainnya. Sambil bermain kita menyanyikan tembang-tembangan. Konon, semua jenis dolanan dan tembangan itu ada makna filosofisnya.
Orang-orang tua terdahulu sengaja menciptakan dolanan dan tembangan itu untuk mensosialisasikan nilai-nilai tertentu. Mereka ingin menginternalisasikan ajaran moral dengan cara yang mudah dan menyenangkan, supaya lebih mudah dihayati dan diingat sampai kapan pun. Pujangga Ranggawarsita, misalnya, menciptakan tembang ‘’Ilir-Ilir’’ untuk mengajarkan syariat Islam mengenai penyucian diri. Lagu-lagu itu pun dihafal oleh semua kalangan, tua muda, dan anak-anak.
Barangkali, kepruk kendil juga ada nilai filosofisnya. Kita tidak tahu. Seorang pengamat politik mempertanyakan mengapa permainan-permainan seperti kepruk kendail, balap karung, lomba lari kelereng, panjat pinang, masih dipertontonkan di acara agustusan, apa relevansinya dengan sejarah perjuangan kemerdekaan.
Yang jelas, rasanya sekarang ini permainan itu mencerminkan kondisi bangsa kita. Bangsa ini, persis seperti gambaran anak kecil yang sedang bermain kepruk kendil. Mata tertutup tak bisa melihat arah. Kita sering tersesat amat jauh dari sasaran. Ironisnya, di tangan kita ada pentungan sebesar lengan yang bebas kita gunakan untuk apa saja. Kita boleh mengayunkan ke mana saja. Kadang memukul tembok, kadang memukul pagar, kadang menghajar kaki orang lewat.
Itulah pentungan kebebasan yang sekarang kita banggakan. Kita punya kebebasan. Sekali merdeka, tetap merdeka. Itu semboyan saat revolusi. Sekarang semboyan berubah, ‘’Sekali merdeka, merdeka sekali’’, tidak ada batas kemerdekaan dan kebebasan.
Tetapi bangsa ini masih seperti anak kecil yang matanya tertutup kain. Masa kemerdekaan yang baru 77 tahun sangatlah muda dibanding bangsa-bangsa lain. Amerika sudah merdeka hampir 250 tahun, tapi sekarang pun masih limbung karena berbagai polarisasi politik internal.
