Polemik Wayang: Dari UKB, Gus Dur sampai Muhadjir
Oleh: Anwar Hudijono
(Tenaga Ahli Gerakan Nasional Revolusi Mental
Kemenko Pemberdayaan Masyarakat dan Kebudayaan)
KEMPALAN: Ustad Khalid Basalamah (UKB) sudah menegaskan tidak pernah menyatakan bahwa wayang itu haram. Dia juga sudah minta maaf. Tetapi polemik “wayang haram” terus membahana di media sosial. Permintaan maaf justru ditafsirkan sebagai pengakuan bahwa dia pernah mengharamkan wayang.
Ya itulah repotnya pesan yang sudah terlanjur viral di media sosial. Viral itu terkadang seperti banjir bandang. Alirannya meluber kemana-mana dan kian keruh. Hanya sedikit air yang bisa dikembalikan ke kanalnya.
Dalam menyikapi kontroversi wayang haram, sebagian publik tidak mencari jawaban dengan membandingkan hujah-hujah, argumen-argumen yang berkembang. Melainkan dengan menengok kepada tokoh. Di antaranya ada dua tokoh yang dipakai jawaban yaitu Gus Dur dan Menko PMK Muhadjir Effendy.
Kalau wayang haram bagaimana mungkin Gus Dur dan Muhadjir menggemari wayang? Gus Dur dipakai sebagai representasi Nahdlatul Ulama (NU). Muhadjir representasi Muhammadiyah.
Gus Dur yang pernah menjadi Ketua Umum PBNU dikenal sebagai penggemar wayang kulit. Ketika menjadi Presiden, ia memboyong koleksi kaset wayang kulitnya ke Istana. Di antara yang paling dia gemari dalang Ki Nartosabdo. Satu lakon wayang berisi sekitar 10 kaset.
BACA JUGA: Pesan Inspirasif Revousi Mental Kiai Haeda
Muhadjir adalah Ketua PP Muhammadiyah dan mantan Rektor Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) 4 periode. Semasa menjadi Mendikbud, dia beberapa menjadi dalang meski sebatas mucuki (mengawali). Termasuk mendalang bareng dalang kondang Ki Manteb Sudarsono di Jakarta.
Dia juga menganjurkan agar wayang menjadi kegiatan ekstrakurikuler di sekolah-sekolah. Sebagai bagian dari pendidikan karakter. Mengajak para dalang untuk menjadi tutor di sekolah. Langkah Muhadjir ini sejalan dengan keputusan Tanwir Muhammadiyah Denpasar tahun 2002 tentang dakwah kultural.
Guru Soeroya
Muhadjir sangat paham hal ihwal wayang. Ayahandanya, Soeroya adalah seorang guru yang merangkap sebagai dalang tiga jaman (Belanda, Jepang, dan kemerdekaan). Sebagian masyarakat juga menganggap Soeroya sebagai kiai. Tapi Soeroya merasa lebih sreg dipanggil guru. Muhadjir adalah anak ke-6 pasangan Soeroya-Hj. Sri Subitah.
Langkah Guru Soeroya menjadi dalang menuai kontroversi. Keluarganya banyak yang menentang. Maklum dia dari keluarga santri. Pada era 1930-an masih kuat adanya dikotmi santri-abangan dalam masyarakat Jawa. Ayahnya, Kiai Muhammad Thalhah adalah kiai kesohor di wilayah Caruban, Kabupaten Madiun.
