Mengucap “Selamat Natal”, Mengapa Muslim Mesti Dipaksa-paksa

waktu baca 4 menit
Ilustrasi

KEMPALAN: Setiap bulan Desember tiba, dimunculkan ritual mengolok-olok sikap muslim yang keukeuh menolak ucapan Natal pada umat yang merayakan. Setidaknya sudah lebih dari lima tahunan ritual “serangan” terang-terangan memaksa muslim itu dilakukan.

Seolah-olah ada upaya menggiring, semacam tuntutan, bahkan keharusan muslim sudi mengucapkannya. Bentuk memaksa dengan bingkai toleransi, seolah jadi segalanya.

Mengapa berharap pada muslim untuk mengucap Selamat Natal segala. Apa umat Kristiani yang merayakannya– tidak semua kristiani merayakan– apa butuh pengesahan dari muslim, sehingga perlu dimunculkan semangat “memaksa” itu.

Jika ada muslim menganggap mengucap ucapan Selamat Natal itu tidak masalah, ya terserah saja. Pasti pendekatannya bukan pada agamanya. Sedang jika ada yang menolak mengucapkan, pun tidak harus diolok-olok dengan umpatan seolah intoleran.

Muslim yang menolak pasti punya alasannya sendiri, dan itu anjuran atas keyakinan (akidah) yang ia bertumpu atasnya. Maka, buatnya mengucap itu punya konsekuensi pelanggaran ajaran agama tidak main-main. Toleransi pastilah tidak boleh menggerus keyakinan (agama) seseorang.

Toleransi dengan melanggar keyakinan, dipastikan lambat laun akan menimbulkan gesekan tidak saja antar umat beragama, bahkan dengan internal umat. Semestinya ini patut jadi konsen dan perhatian bersama.

Memaksa-maksa Itu Intoleran

Menjadi aneh jika muslim yang menjalankan toleransi di atas agamanya, lalu menyerang saudara sendiri yang bertumpu pada keyakinannya. Masalah keyakinan mestinya ditempatkan pada tempat tertinggi. Aneh jika mencoba mendegradasi iman yang diyakini untuk kepentingan toleransi semu.

Menjadi kelewatan, sikap tidak sopan, bahkan masuk kategori kurang ajar, jika ada non muslim “maksa-maksa” umat Islam untuk mengucap Selamat Natal. Apa urusannya dengan nekat memasuki wilayah sensitif, dan itu agama orang lain. Keyakinan orang lain.

Seperti kurang pede saja dengan kelahiran Yesus di 25 Desember, dan karenanya ingin umat Islam meyakini sesuai dengan keyakinannya. Sungguh permintaan mengada-ada. Absurd.

Adalah Emerson Juntho, aktivis Kristiani, yang coba “memaksa”, yang terkesan lebih pada mengolok-olok muslim yang tidak memilih pengucapan itu bagian dari intoleransi. Dan yang disasar Wakil Ketua MPR RI, Dr. Hidayat Nurwahid (HNW).

Memang cuma jenis “setan usil” yang hadir malam-malam, yang mendorong Emerson perlu mentwit HNW dengan nada “memaksa-maksa”.

“Malam Pak @hnurwahid Wakil Ketua MPR RI. Apakah sudah disiapkan teks ucapan Selamat Natal untuk umat Kristiani di seluruh Indonesia? Jika belum saya siap membantu Bapak membuat konsepnya. Khusus buat Bapak HNW, FREE. Tersedia dalam 3 bahasa,” ucapnya lewat Twitter pribadinya, Minggu (12 Desember 2021).

Sambil tak lupa ia kirimkan template ucapan Natal, diantaranya dalam bahasa Arab dan Cina.

“Terima kasih atas bantuannya. Fyi dari dulu saya punya hubungan baik dg Pimpinan umat Kristiani seperti Romo Magnis S, Pdt SAE Nababan (RIP), Pdt Natan S, Pdt Gumau G, juga Waket MPR yang Kristiani, EE Mangindaan. Mereka teladan dalam toleransi dengan saling menghormati,” jelas HNW.

Dan, keesokan harinya, rasanya Emerson masih kurang puas mendesaknya. Tampak emosinya mulai labil, yang tadinya menyebut HNW dengan awalan “Pak”, dan berikutnya dengan “Mas”.

“Pagi Mas. Saran saya ke Wakil Ketua MPR — wakilnya semua rakyat Indonesia — bukan ke ulama,” tampak nada ketus yang dimunculkan.

HNW pun perlu menanggapi cuitan tersebut dengan menyentil penggunaan nama “Buya” di depan nama Emerson.

“Pihak yang sebut diri sebagai “Buya”, wajarnya sudah tinggi akal budi, dan rasa hati. ‘Saran’ nya tulus, tanpa pemaksaan/framing. Apalagi kalau untuk toleransi.”

Tambahnya:

“Bertahun-tahun saya berhubungan baik dengan tokoh-tokoh Kristiani seperti J Kristiadi, Sabam Sirait (RIP), mereka tak berikan saran seperti pak Eson.”

Jawaban makjleb HNW, itu bisa jadi pembelajaran semua pihak untuk memahami toleransi dan batas-batasnya. Lagian terlalu jauh “memaksa” muslim mengucapkan ucapan Natal. Padahal banyak sekte Kristiani yang tidak mempercayai, bahwa Yesus lahir 25 Desember. Karenanya, mereka memilih tidak merayakan Natal.

Mestinya “memaksa” itu lebih pantas pada sesama Kristiani yang berbeda pemahaman tentang Natal. Lho, kok malah umat Islam yang dipaksa-paksa untuk mengucap sesuatu yang menyangkut akidahnya.

Memaksa-maksa keyakinan seseorang, itu sikap intoleran. Emerson Yuntho dan meraka yang memiliki sikap demikian, patut disebut miskin pemahaman akan apa arti toleransi sebenarnya. (*)

Editor: Muhammad Tanreha

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *