Puan (Lagi)
KEMPALAN: Jarang bicara tapi viral. Itulah Puan Maharani. Sebagai ketua DPR RI Puan jarang bicara. Kalau mau berbicara ke media dia akan memakai rilis tertulis dan menyebarkannya ke berbagai media. Atau, biasanya Puan menggunakan akun medsosnya untuk mengunggah pandangan politiknya.
Tapi Puan memang unik. Dia viral karena jarang bicara. Kali ini dia viral karena melarang orang bicara. Ketika memimpin rapat paripurna pengesahan Jenderal Andika Perkasa sebagai Panglima TNI (Tentara Nasional Indonesia), Senin (8/11), Puan menolak interupsi anggota DPR dari Fraksi PKS (Partai Keadilan Sejahtera), Fahmi Alaydroes.
Fahmi sudah menghidupkan mike di depan mejanya dan meneriakkan interupsi. Puan mengacuhkan interupsi itu dan melanjutkan agenda sidang sambil menggedok palu tanda keputusan sudah sah. Fahmi masih berusaha berbicara meskipun mike di mejanya sudah tidak berfungsi karena dimatikan.
Ini bukan kali pertama Puan mengacuhkan interupsi dan mematikan mike. Pada sidang pengesahan UU Cipta Kerja Omnibus Law November 2020 hal yang sama juga dilakukan Puan. Ketika itu muncul interupsi dari floor, tapi Puan bertindak tangkas dengan mematikan saluran mike sehingga suara interupsi tidak terdengar.
Tindakan Puan ketika itu memicu banyak komentar negatif. Sebagai pemimpin sidang, tindakan seperti itu aneh dan lucu. Kelihatan sekali bahwa Puan tidak pernah punya pengalaman memimpin sidang dan meng-handle interupsi dari floor.
Cara pintas memotong interupsi dengan mematikan mike menunjukkan bahwa leadership Puan belum benar-benar teruji. Dan, yang paling penting lagi, cara-cara seperti itu sama saja dengan mengebiri hak konstitusional anggota dewan sebagai wakil rakyat.
Jurus yang sama ternyata dipakai lagi oleh Puan. Tampaknya jurus itu menjadi andalannya, sehingga setiap kali ada intrupsi, Puan secara otomatis melakukan gerakan mematikan mike sehingga suara interupsi tidak terdengar.
Puan tidak suka bicara, dan kelihatannya juga tidak suka mendengarkan orang bicara. Politisi yang pendiam seperti Puan memang tidak lazim. Politisi selalu banyak omong dan memakai semua kesempatan untuk menjadi panggung bicara.
Politisi yang banyak omong berarti politisi yang berbakat. Dari ‘’sononya’’ politisi memang didesain untuk banyak omong. Kata orang Jawa, politisi yang banyak omong adalah ‘’gawan bayi’’, bawaan sejak lahir.
Kalau kemudian anggota dewan banyak melakukan interupsi, itu bagian dari gawan bayi. Apalagi, sebagai wakil rakyat, anggota dewan dibayar mahal untuk berbicara, untuk menginterupsi. Rakyat pasti ingin mendengar dan melihat wakilnya berbicara dalam berbagai sidang. Wakil rakyat yang diam saja dan menerima gaji besar, tentu dianggap tidak lazim.
Ketua DPR yang pendiam lebih tidak lazim lagi. Dalam tradisi sistem politik Westminster ala Inggris—yang sebagian kita adopsi—tidak ada jabatan ketua dewan atau ketua parlemen. Yang ada ialah jurubicara parlemen atau speaker. Jurubicara inilah yang menjalankan fungsi sebagai ‘’ketua dewan’’ sebagaimana yang kita kenal di Indonesia.
Dalam tradisi Westminster seorang speaker duduk di depan di kursi paling tinggi. Di sisi kanannya ada deretan anggota parlemen yang menjadi menteri dari partai pendukung pemerintah dan koalisinya. Di sisi kiri ada anggota dewan dari oposisi dan koalisinya yang menjadi ‘’menteri bayangan’’ atau ‘’shadow minister’’.
Para anggota dewan yang duduk di deretan kursi depan itu disebut sebagai ‘’front-bencher’’. Mereka menjabat sebagai menteri sungguhan, dan dari pihak oposisi menjadi menteri bayangan. Para anggota kabinet yang tidak memegang jabatan menteri atau menteri bayangan duduk di kursi deretan belakang, dan disebut sebagai ‘’back-bencher’’.
Para back-bencher ini tidak punya hak bicara tapi boleh menjadi suporter dan cheer-leader atau pemandu sorak. Setiap kali terjadi debat dan ada pernyataan yang dianggap tidak tepat para back bencher akan berteriak ‘’Huuuu….’’
Ketua dewan bertugas…
