Kasus Covid-19 di Indonesia Naik, Epidemiolog: Angka Sebenarnya Jauh Lebih Tinggi

waktu baca 6 menit

JAKARTA-KEMPALAN: Setelah empat bulan terakhir melandai, angka kasus harian baru COVID-19 di Indonesia kembali naik dan hampir mencapai 10.000.

Satuan Tugas Penanganan COVID-19 melaporkan, hingga akhir pekan (13/06) terdapat penambahan 9.868 kasus baru dan 149 kematian.

Tingginya angka kasus tersebut konsisten dengan naiknya angka kasus secara signifikan di beberapa provinsi di Pulau Jawa dalam sepuluh hari terakhir.

Angka kasus di DKI Jakarta, misalnya, naik 302 persen dengan tingkat keterisian tempat tidur di rumah sakit sebesar 62,13 persen.

Kasus baru di DI Yogyakarta naik 107 persen dengan tingkat keterisian tempat tidur 54,38 persen, sementara angka Jawa Tengah naik 80 persen dengan tingkat keterisian tempat tidur mencapai 66,89 persen.

Hingga Senin kemarin, tercatat total warga Indonesia yang dilaporkan tertular virus corona telah menembus 1,9 juta orang dan lebih dari 53 orang telah meninggal dunia akibat pandemi.

Angka kasus di Provinsi Jawa Barat juga naik 49 persen dengan 61,75 persen tingkat keterisian tempat tidur.

Juru Bicara Satuan Tugas Penanganan COVID-19 Wiku Adisasmito pada Jumat (11/06) lalu mengatakan pentingnya upaya pengendalian pandemi dengan merujuk bukan saja data di tingkat provinsi, tetapi juga di tingkat kabupaten, kota, sampai di kecamatan.

“Saya minta semua kepala daerah fokus melakukan penanganan terbaik pada pasien Covid-19. Saat ini utamakan pasien dengan gejala sedang dan berat di rumah sakit.”

“Sementara untuk gejala ringan dan tanpa gejala diimbau melakukan isolasi mandiri di rumah atau di tempat isolasi terpusat dengan terus dipantau perkembangannya,” tutur Wiku.

Ibu kota Provinsi Jawa Timur, Kota Surabaya, adalah salah satu wilayah yang tengah berusaha keras mengendalikan pandemi di tengah tren angka kasus yang melonjak di Jawa Timur.

Angka kasus di Provinsi Jawa Timur juga naik 89 persen dengan tingkat keterisian tempat tidur 31,57 persen.

Pernah merasakan berada di zona merah tahun 2020 lalu, Wali Kota Surabaya, Eri Cahyadi mengatakan, jajarannya berusaha menjaga warganya dari penularan pandemi saat ini.

Salah satunya dengan mekanisme penyekatan di jembatan Suramadu yang menjadi wilayah perbatasan Kota Surabaya dan Bangkalan, Madura menyusul lonjakan kasus di sana.

Kabupaten Bangkalan, Madura mengalami darurat COVID-19 pasca-Lebaran setelah kasus aktifnya melonjak hingga 784 persen dalam sebulan, dan tingkat keterisian tempat tidur di rumah sakit di sana sudah lebih dari 90 persen.

“Kami berusaha mengamankan warga Surabaya, bagaimana warga kami meskipun ada kenaikan kasus tapi masih tetap terjaga,” ujar wali kota Surabaya Eri Cahyadi kepada ABC Indonesia.

“Kami sudah pernah mengalami zona merah, bagaimana seluruh warga Surabaya mengalami kesusahan, seluruh perekonomian warga Surabaya berhenti, seluruh warga Surabaya ketakutan. Kami tidak ingin itu terulang kembali di Kota Surabaya.”

Menurut catatan Dinas Kesehatan Kota Surabaya dalam satu minggu terakhir sejak 5 Juni hingga 12 Juni 2021,  tes rapid antigen telah diberlakukan kepada sekitar 20.500 orang pengendara yang melintas dari arah Bangkalan, Madura.

Hasilnya, 406 orang reaktif berdasarkan rapid test antigen, dan dari jumlah tersebut sebanyak 204 orang terkonfirmasi positif berdasarkan tes PCR.

Namun, menurut epidemiolog dari Universitas Airlangga, Surabaya, dr Windhu Purnomo, langkah penyekatan itu tidak cukup.

Apalagi, tes antigen hanya mampu mendeteksi virus selama 7 hari pertama setelah on-site.

“Setelah itu, meskipun virusnya masih ada, tes ini enggak bisa mendeteksi lagi. Jadi berarti false negative-nya akan cukup tinggi, sehingga kalau ada orang dinyatakan negatif dan pergi ke Surabaya, padahal membawa virus, kan ini bahaya,” ujar Dr Windhu Purnomo.

“Begitu ada kasus meningkat, harusnya langsung ditutup, karena itu cara untuk bisa menurunkan kasus. Karena jelas penularan ini terjadi karena virus itu ikut orang, dan orang itu keluyuran,” tambahnya.

Windhu menilai yang harus dilakukan untuk mencegah penularan dari Bangkalan adalah pemberlakuan PSBB dan penutupan perbatasan.

Kondisi di Bangkalan ini diibaratkan Windhu seperti sebuah rumah yang terbakar sehingga harus dilokalisasi supaya kebakaran tersebut tidak merembet ke rumah-rumah di sebelahnya.

“PPKM mikro nggak bisa efektif kalau tracing [di Bangkalan] rendah. Jadi nggak bisa PPKM mikro, harus minimal PSBB satu Kabupaten, perbatasan di tutup, nggak boleh ada yang lalu-lalang kecuali ambulans dan kendaraan pembawa logistik,” tambah Windhu.

Angka tes dan tracing atau pelacakan memang telah menjadi kunci dari penanganan COVID-19.

Kawal COVID-19 pernah merekomendasikan angka minimal 30 orang yang dilacak untuk tiap kasus COVID-19 dalam pengendalian pandemi.

Pemerintah Kota Surabaya sendiri mengklaim telah mampu melacak 40 orang untuk setiap 1 kasus positif COVID.

Pelacakan atau tracing di Kota Surabaya dilakukan oleh gabungan petugas 63 Puskesmas beserta Babinsa dan Babinkamtibmas setempat yang totalnya mencapai sekitar 2.000 orang.

Kepala Puskesmas Sememi Kota Surabaya, dr Lolita Riamawati adalah salah satu dari ribuan petugas yang sehari-hari melacak riwayat kontak pasien COVID dari pintu ke pintu untuk dites dan dirawat.

Meski dianggap berhasil menembus angka minimal rasio lacak-isolasi, pelacakan di kota Surabaya juga tak lepas dari penolakan warga.

“Pernah saat akan mengevakuasi pasien yang positif COVID, kami dilumuri dengan kotoran manusia oleh istri si pasien itu. Ia menolak suaminya yang dalam kondisi stroke dan positif COVID dievakuasi ke rumah sakit,” ujar dr Lolita.

“Teman-teman sempat nangis, kami dalam keadaan capek mental dan fisik, kok mendapat perlakuan seperti itu. Tapi saya besarkan hati mereka, saya ingatkan bahwa ini adalah konsekuensi dari pekerjaan yang harus kita jalani.”

Menurut dr Lolita, penolakan tersebut dikarenakan sebagian besar warga tidak memiliki pengetahuan yang benar tentang COVID-19 dan stigma di masyarakat sehingga mereka merasa penyakit yang disebabkan oleh virus corona ini adalah aib.

Meski mengakui angka tracing di Kota Surabaya yang sudah jauh lebih baik dari wilayah lain, Dr Windhu Purnomo mengingatkan bahwa secara umum, baik di Jawa Timur maupun di Indonesia, angka tracing masih rendah.

Dr Windhu Purnomo juga mencoba menghitung besaran kasus aktif memakai data Jawa Timur sebagai contoh.

Pada tanggal 10 Juni, kasus aktif yang dilaporkan, sesuai data Kementerian Kesehatan dan Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur, adalah 2.286 kasus.

Namun ia menemukan, jumlah pasien yang dirawat di seluruh rumah sakit rujukan di Jawa Timur pada tanggal dan hari yang sama sebesar 2.803.

“Data ini bukan hanya membuktikan bahwa ada selisih jumlah,” kata Windhu.

“Kita tahu, mereka yang dirawat di rumah sakit hanya orang yang bergejala sedang, berat, dan critical. Dan dari statistik di Indonesia maupun negara lain, kasus yang perlu perawatan di rumah sakit itu hanya maksimum 15 persen dari semua orang yang positif, karena yang paling banyak adalah mereka yang tidak bergejala dan gejala ringan.”

Dengan demikian, Windhu menghitung, jika yang dirawat ada 2.803 orang dan itu hanya 15 persen dari total kasus, maka jumlah keseluruhan kasus aktif sedikitnya adalah 18.687 kasus.

“Itu bisa terjadi karena testing dan tracing yang rendah. Dan ini bukan khas Jawa Timur, saya hanya belum menghitung angka daerah lain saja. Tapi kira-kira sama,” tutur Windhu.

“Kita harus tahu gambarannya bahwa angka yang dilaporkan hanya seperdelapan, atau bahkan bisa lebih kecil lagi, dari angka yang sebenarnya.” (te)

 

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *