Pajak Sembako

waktu baca 5 menit
Pedagang sembako di pasar

KEMPALAN: UNTUNG dokumen publik ini bocor. Diskusi publik pun bisa terjadi –meskipun kacaunya bukan main. Zoominar Narasi Institute membahasnya kemarin sore. Seru.

Itulah soal pajak sembako. Yang asalnya dari penyampaian rencana undang-undang pajak ke DPR. Lalu, isinya bocor ke publik. Terutama bagian-bagian yang paling sensitifnya. Yang mudah dilepas dari konteksnya.

Begitu hebohnya sampai ada pejabat yang kebakaran jenggot. Pejabat itu menyesalkan kehebohan itu gara-gara dokumen negara yang bocor. “Saya marah mendengar ada pejabat ngomong begitu,” ujar Enny Sri Hartati di Zoominar kemarin. “Itu kan dokumen publik. Tidak hanya harus bocor. Harus dibuka,” ujar ekonom Indef itu.

Bagian yang juga menghebohkan adalah soal pengampunan pajak. Yang oleh publik ditafsirkan sebagai tax amnesty jilid 2. Padahal, seperti dikatakan Prof Anthony Budiawan di forum itu, “tax amnesty yang lalu pun gagal total”.

Untung ada staf khusus menteri keuangan bidang komunikasi strategis di Zoominar itu. Namanya Yustinus Prastowo. Pembawaannya kalem. Bicaranya datar. Tapi intonasi dan gaya bicaranya enak. Yustinus juga bukan tipe juru bicara yang asal tangkis. Tidak pula mudah terpancing. Ia memberi kesan akomodatif. Tapi berhasil menyampaikan misinya. Tanpa ada kesan menggurui.

Ternyata semua debat di medsos itu banyak yang rujak sentul –satu ke utara, satunya ke selatan.

Pajak sembako itu misalnya, ternyata belum akan dikenakan dalam waktu dekat. RUU itu diajukan sebagai antisipasi kalau pandemi sudah terlewati.

Sebutan ”pajak sembako” sendiri ternyata juga rujak sentul. Yang akan dipajaki itu ternyata sembako premium. Kalau pun beras, beras yang akan dikenai PPN adakah beras yang harganya Rp 50.000/kg. Kalau pun daging yang kena PPN itu sejenis daging kelas wagyu ke atas. Yang kalau jadi steak satu porsi berharga Rp 1, 5 juta.

Semua itu juga baru rencana. Masih akan dibahas di DPR. Dan yang jelas, seperti dikatakan Yustinus, itu belum akan berlaku selama masih ada pandemi.

Selama pandemi, ujar Yustinus, pemerintah justru telah begitu banyak memberikan keringanan pajak. “Sekarang ini kita lagi memikirkan bagaimana pajak setelah tidak ada pandemi,” ujar Yustinus.

Yustinus itu orang Gunung Kidul. Sekolahnya di SMAN 1 Wonosari. Ayahnya guru SD. Yustinus lantas mendapat bea siswa masuk STAN Jakarta. Begitu lulus ia harus menjadi pegawai negeri. Tugas awalnya di Ditjen Pembinaan BUMN –sebelum ada kementerian BUMN– lalu ke Ditjen Pajak.

Setelah beasiswanya ”terbayar’,’ ia berhenti dari pegawai negeri. Yustinus mendirikan LSM perpajakan: CITA –Center for Indonesia Taxation Analysis.

Yusnitus produk lokal murni. Ia memiliki dua gelar master: Administrasi Publik dari Universitas Indonesia dan master filsafat dari STF Driyarkara.

Praktis semua penjelasan tentang heboh pajak ini hanya datang dari Yustinus. Rupanya kementerian keuangan hanya menugaskan Yustinus untuk satu itu.

Media juga kelihatan senang berhubungan dengan Yustinus –justru karena terasa tidak terlalu defensif. Banyak penjelasannya bernilai ”layak dikutip” di media. Misalnya: “rakyat operasi kutil ya jangan dipajaki, tapi artis operasi plastik masak tidak boleh dipajaki”.

Itu bidang kesehatan.

Demikian juga bidang pendidikan. Yang sekolahnya sangat komersial harus dipajaki.

Cara Yustinus memperbaiki ”wajah” pemerintah juga elegan. Misalnya ketika ada serangan seolah pemerintah lagi menzalimi rakyat. Sembako saja dipajaki. Yustinus bercerita betapa banyak fasilitas pajak yang diberikan selama pandemi: batas kena pajak yang lebih baik, pajak bumi dan bangunan dari 5 persen tinggal 2 persen dan banyak lagi.

Tapi ekonom seperti Enny tidak mudah terpana. “Fasilitas pajak selama pandemi ini lebih banyak dinikmati oleh pengusaha besar,” katanya.

Enny bisa menampilkan angka-angkanya. Misalnya Rp 13,5 triliun dari pembebasan PPh 22 impor, Rp 20 triliun dari pengurangan angsuran PPh 25/29, dan Rp 12,6 triliun penurunan PPh badan. Sedang fasilitas PPh untuk UMKM hanya Rp 0,6 triliun.

Enny Hartati orang Karanganyar. Ayahnyi buruh tani, ibunyi guru SD. Ia sarjana studi pembangunan dari Universitas Diponegoro. Lalu S-2 dan S-3 di IPB. Disertasinya di bidang fiskal.

Enny juga tidak sependapat soal pajak pendidikan di RUU itu. “Maraknya sekolah komersial bukan harus diatasi dengan pajak,” ujar Enny.

Anthony Budiawan juga tidak setuju pendidikan dipajaki.

Pengenaan pajak pada sembako dan hasil pertanian, kata Anthony, hanya akan menambah kemiskinan.

Meski RUU itu dimaksudkan untuk persiapan ”pasca pandemi” tapi hebohnya justru bisa memperparah dampak pandemi.

Padahal, seperti dijelaskan Yustinus, RUU itu juga untuk memperbaiki struktur perpajakan. Termasuk untuk memperluas basis pengenaan pajak.

Misalnya, kata Yustinus, sekarang ini ada kecenderungan baru di seluruh dunia: menaikkan PPN dan menurunkan PPh. “Sekarang ini menuju zaman the dead of income tax,” ujar Yustinus.

Tapi menurut Anthony, itu bukan kecenderungan umum seluruh dunia. “Itu terjadi di negara-negara yang belum maju, seperti Chili,” ujar Anthony yang alumnus Amsterdam itu.

Kesan Anthony, menaikkan PPn itu, hanya cari gampangnya saja. Untuk menutup kekurangan pendapatan negara.

“Menaikkan PPn dan menurunkan PPh itu tidak sejalan dengan prinsip distribusi pendapatan,” ujar Anthony.

Maka bagus juga dokumen negara ini bocor. Agar semakin banyak pendapat bisa didengar. Lalu jangan lupa membuat keputusan.

Tapi dari mana lagi negara mendapat uang?

Enny cenderung lebih memelototi sumber daya alam. Yang ada unsur merusak lingkungan itu. Termasuk perkebunan. Demikian juga Anthony: melirik pajak sawit. Yang harganya sangat baik beberapa tahun belakangan. “Toh sifatnya sementara,” ujar Anthony. Sedang lewat kenaikan PPn itu lebih bersifat permanen.

Memang pernah dicoba pajak warisan. Tapi hebohnya bukan main. Juga pajak digital.

Tapi mengingat ekonomi ke depan adalah ekonomi digital mau tidak mau bidang itu harus dipelototi.

Tapi benarkah akan ada tax amnesty jilid 2?

Penjelasan Yustinus bisa melegakan banyak pihak: itu bukan tax amnesty seperti yang lalu. “Beda sama sekali,” katanya.

Di mana bedanya?

Yang sedang disiapkan itu begini: barang siapa mengisi SPT secara benar dan apa adanya, dan dilakukan secara suka rela, maka kalau pun di SPT yang baru itu dicantumkan harta yang belum pernah dilaporkan, tidak akan dikenakan denda.

Yang penting bayar pajaknya.

Itu tafsiran saya. (www.disway.id)

Penulis: Dahlan Iskan, Sang Begawan Media

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *