Mustafa Sabri yang Sempat Terlupakan
Judul buku: Mustafa Sabri Efendi
Penulis: Mehmet Karabela
Peresensi: A. Faricha Mantika
Penerbit: Opsi Press
Tebal: 112 halaman
Cetakan: Pertama, 2021
KEMPALAN: Turki ternyata gudang teolog cum pemikir muslim abad 20. Fakta ini sering diabaikan para orientalis atau pengkaji Islam dari Barat. Bagi mereka, kajian Islam identik pada dunia Arab, wabil khusus Saudi Arabia, Mesir atau Iran. Jarang sekali menyentuh, apalagi mengupas, perkembangan kajian Islam dari Turki. Meski Turki sesungguhnya menjadi salah-satu lokus penting perkembangan teologi serta pemikiran Islam mutakhir.
Diantaranya, Mustafa Sabri Efendi (1869-1954). Syaikhul Islam terakhir Dinasti Utsmani. Dilahirkan di Tokat, utara dari Turki Tengah, Sabri kecil memperoleh pendidikan awalnya disana dibawah bimbingan Ahmad Efendi Zulbiyezade. Pada usia 9 tahun Sabri sudah hafal isi al Qur’an dan memperoleh gelar hafizh. Pendidikannya berlanjut di Kayseri dibawah arahan Damad Mehmed Emin Efendi.
Selain belajar logika, Sabri juga mempelajari berbagai teori serta kritik sastra. Usai di Kayseri, Sabri merantau ke Istanbul guna melanjutkan pendidikannya. Dibawah bimbingan Seyf Atif Bey dan Ahmad Asim Efendi, Sabri mempelajari ilmu aqidah serta ushul fiqh. Lingkungan Istanbul mendorong pergaulan Sabri lebih luas dan berinteraksi dengan berbagai teoritisi kajian Islam saat itu. Sabri kemudian menikahi putri Ahmad Asim Efendi, yakni Ulyive Hanim, pada tahun 1892.
Karir akademis Sabri meroket. Dua tahun sebelum penikahannya, ia sudah berhasil menyabet gelar profesor kajian Islam dan mengajar di Sultan Fatih Mehmed Institute, lembaga kekaisaran Utsmani yang sangat bergengsi. Lembaga ini fokus pada kajian keislaman dari berbagai aspek. Sabri mengajar penafsiran al Qur’an, hadits serta teori hukum Islam. Suasana akademis sangat terasa dalam lembaga ini. Selain perkuliahan, juga kerap digelar diskusi, seminar serta simposium.
Memasuki tahun 1897, Sultan Abdulhamid II tertarik pada bahasan sumpah palsu yang dipresentasikan Sabri. Presentasi ini berlangsung dalam rangkaian acara ceramah kerajaan yang digelar rutin tiap tahun. Sebagai pembahas, Sabri mengurai persoalan sumpah palsu menurut khazanah keilmuan Islam. Dalam pembahasannya, Sabri menjelaskan kenapa sumpah palsu menjadi persoalan serius dalam masyarakat muslim. Menurutnya, dampak sumpah palsu sangat merugikan masyarakat. Ia menjabarkan penyebab sekaligus dampak tersebut. Sultan yang hadir spontan tertarik. Usai acara, Sultan pun menawari Sabri jabatan prestisius sebagai pengurus perpustakaan Sultan.
Lingkaran akademis Sabri pun kian luas. Bahkan ia punya kesempatan menelaah karya-karya langka yang tersimpan dalam koleksi perpustakaan Sultan. Empat tahun lamanya jabatan sebagai pengurus dilakoni Sabri. Selama periode ini, ia juga rutin mengirim risalah-risalahnya pada majalah Tarik dan Maklumat. Dua majalah yang menjadi bacaan favorit kaum terdidik Turki kala itu. Nama Sabri kian sohor dan cakrawala pemikirannya makin berbobot.
Akhir 1904, Sabri kembali mengajar di Sultan Fatih Mehmed Institute. Setahun kemudian, ia terpilih menjadi anggota komite akademis untuk kajian dan riset-riset keislaman. Keanggotaan dalam komite ini sekaligus merupakan kesempatan bagi Sabri untuk membaca dan mengkaji karya-karya sarjana kontemporer. Pada bulan Agustus 1908, Sabri bersama 112 sarjana muslim membentuk ‘Cemiyet i ilmiye i Islamiye’ (Masyarakat Kajian Islam), dan Sabri terpilih sebagai presiden organisasi ini. Sebulan kemudian, organisasi ini sudah menerbitkan jurnalnya, ‘Beyanul Hak’.
Kiprah akademis Sabri terus berlanjut. Pada November 1918, ia menjadi anggota ‘Darul Hikmate Islamiye’ (Akademi Filsafat Islam). Banyak sarjana ilmu kalam (teolog muslim) yang bergabung dalam akademi ini, dan mereka rutin mengadakan pertemuan membahas modernisasi ilmu kalam. Tak berselang lama, Sabri pun membentuk sebuah divisi para spesialis di bidang ilmu kalam. Tujuannya, mendorong sekaligus mensosialisasikan pemikiran segar dan baru dari ilmu kalam.
Sebulan kemudian, yakni Desember 1918, Sabri menjadi gurubesar ilmu hadis di Sulaimaniyye Darul Hadis. Ini posisi tertinggi dalam hirarki ilmu-ilmu keislaman pada masa itu. Tak lama kemudian, bersama dengan Said Nursi dan Mehmet Atif Efendi, Sabri bergabung ke dalam ‘Cemiyet i Muderrisin’ (Asosiasi Profesor Madrasah). Selain mengajar di berbagai kampus, mereka juga giat dalam menyebarkan pemikiran-pemikiran baru dan segar dalam berbagai kajian keislaman.
Menariknya, sedari muda selain aktif di dunia akademis, Sabri juga telah terpilih masuk ke Parlemen Utsmani sejak tahun 1908. Ia mewakili masyarakat Tokat dalam parlemen. Pidatonya sangat memikat karena berwawasan. Perwakilan Kristen di parlemen pun sangat terkesan. Walau tetap berpakaian tradisional, Sabri tetap menunjukkan kecemerlangan pikirannya di hadapan para anggota parlemen. Keunikannya ini sempat disindir Huseyn Sahid, sosok sohor dari kelompok ‘Committee of Union and Progress’. Kata Huseyn, Sabri merupakan tuan terhebat dari kelompok tradisional.
Begitu Mustafa Kemal Attaturk naik ke puncak kekuasaan, pada November 1922 Sabri bersama koleganya harus menyingkir ke Iskandariyah, Mesir. Di negeri piramid ini Sabri harus berhadapan lawan para penulis Mesir yang kesengsem menyanjung Kemal Attaturk. Diantaranya, penyair Ahmad Syauki yang begitu menyanjung Kemal. Sabri mengkritik tajam syair Syauki lewat tulisannya di harian al Muqattam. Geger kritik Sabri ini berlarut-larut sampai lama. Buntutnya, Sabri memutuskan hengkang ke Libanon pada 1924.
Hanya sembilan bulan Sabri tinggal di Libanon, selanjutnya ia pergi ke Rumania, dan menetap beberapa saat disana. Dari Rumania ia melawat ke Yunani, di negeri ini pada bulan Mei 1927 Sabri bersama 149 warga asli Turki melepas kewarganegaraan Turki mereka. Dari Yunani Sabri lantas ke Mesir. Putranya, Ibrahim Rusdi, diangkat sebagai gurubesar kajian Timur-Tengah di Universitas Alexandria. Sedangkan Sabri segera menyibukkan diri dengan menulis. Di Mesir inilah karya monumentalnya, kitab Mawqif al Aql terbit tahun 1950.
Kitab itu merupakan evaluasi kritis Sabri atas tren filsafat, teologi serta pemikiran Eropa dan Islam saat itu. Sabri cukup komprehensif dalam menjabar persoalan-persoalan dunia filsafat kontemporer dalam empat jilid kitab ini. Kritik tajam Sabri tertuju pada produk pemikiran Barat mulai Voltaire sampai Kant. Bagi Sabri, kontradiksi-kontradiksi tampak pada produk Barat itu karena kecenderungannya mengkonfrontasi subyek yang tak harus didekati secara filosofis belaka. Dampak kritik Sabri ini pada gilirannya juga tertuju pada upaya-upaya teolog muslim modern saat itu yang berkecenderungan tak kritis pada epistemologi filsafat Barat.
Berbeda dari para kritikus muslim tradisionalis yang jarang menghajar produk filsafat Barat secara argumentatif dan logis, Sabri justru lebih menggunakan taktik argumentasi dan logika. Sehingga karya-karya Sabri, baik yang ditulis dalam bahasa Turki maupun dalam bahasa Arab, sarat penjelasan argumentatif serta logis. Sepanjang karir akademisnya, Sabri telah menulis sembilan buku dan puluhan artikel ilmiah. Semua karya Sabri berspektrum luas, mulai dari kajian untuk awam sampai kajian untuk kalangan spesialis.
Tentu saja, membaca riwayat Sabri serta karyanya bisa sekaligus membaca potret masa akhir dinasti Utsmaniyah. Buku yang diangkat dari tesis master di Universitas McGill ini penuh data figur serta kiprah Sabri yang tak banyak diperbincangkan. Boleh jadi, para pengkaji keislaman selama ini terlalu terpaku pada tokoh sejarah dari kawasan Arab saja. Padahal, Sabri sangat layak dikaji dalam konstelasi pembaharuan pemikiran teologi Islam. Apalagi Sabri bukan sembarang ‘Syaikhul Islam’ dan tidak sembarang ulama punya karakter serta reputasi kaliber Sabri, pada masanya. Buku ini dibandrol seharga Rp.68.500.