Ekonomi Bersyukur

waktu baca 6 menit
Ilustrasi: Bumi, matahari, dan langit beserta segala isinya adalah karunia Allah kepada manusia untuk disyukuri. (foto: ist)

KEMPALAN: Bulan Ramadan adalah bulan puasa. Bulan yang penuh berkah. Bulan yang mengajarkan manusia untuk menahan diri dari segala perbuatan yang haram, bahkan yang halal sekalipun hingga pada waktu yang ditentukan.

Apa-apa yang akan dilakukan harus penuh pertimbangan. Inilah yang kemudian disebut ketakwaan, yakni kehati-hatian dalam bertindak, bertutur kata, bahkan berfikir maupun suara dalam hati.

Dalam berpuasa, umat beriman akan menemukan bahwa nikmat Allah yang dikaruniakan kepadanya begitu melimpah. Karenanya berpuasa juga akan mengajarkan baginya untuk bersyukur.

Bersyukur merupkan bentuk ungkapan terima kasih atas segala pemberian dan nikmat yang diperoleh manusia selama menjalani kehidupan di dunia. Di dalam Islam, bersyukur dapat dilakukan melalui perbuatan, lisan, termasuk hanya di dalam hati.

Menyukuri nikmat Allah adalah dengan berhati-hati. Melakukan pengelolaan segala aspek kehidupan agar tidak terjerumus dalam dosa yakni melanggar apa-apa yang dilarang oleh Allah. Dan, inilah menjadi pusat dalam ekonomi Islam.

Ekonomi Islam, Ekonomi Perenial

Secara substantif, definsi Ilmu ekonomi adalah ilmu yang mempelajari tentang manusia dan interaksi diantara manusia. Definsi ini pun tidak jauh beda dengan definisi muamalah dalam Islam.

Muamalah merupakan bagian dari pengetahuan mengenai pola relasi manusia dengan manusia atau hablu min annas, sedangkan relasi ibadah adalah relasi antara hamba dengan Allah SWT atau hablu min Allah.

ekonomi islam mengajarkan keseimbangan pemenuhan kebutuhan dunaiwi dan ukhrawi, kebutuhan pribadi dan masyarakat.

Segala kegiatan muamalah yang dilakukan muslim akan bernilai ibadah jika kemudian diniatkan untuk menghambakan diri kepada Allah dan dilakukan dengan cara-cara yang telah diajarkan Allah. Ini sebuah keseimbangan antara kebutuhan dunia dan akhirat.

Muamalah merupakan pengetahuan problem solving berbasis syariat yang sesuai dengan petunjukNya dalam Al-Quran dan AsSunnah RasulNya atas hubungan manusia dalam interaksi sosial dan ekonomi. Muamalah merupakan cabang ilmu syariah dalam cakupan fikih atau pemahaman tentang hukum Islam.

Muamalah mencakup di dalamnya bidang-bidang yang menjadi bagian integral dalam hidup manusia. Salah satunya adalah ekonomi.

Ekonomi Islam sebagai sebuah bidang keilmuan boleh dibilang masih muda, baru beberapa dekade umurnya. Sedangkan ilmu ekonomi konvensional baik itu kapitalisme maupun sosialisme/komunisme, usinya sudah hampir dua setengah abad lamanya.

Meski jauh lebih muda, namun, ekonomi Islam hadir bukan untuk menandingi atau memberi alternatif lain bagi ekonomi yang ada konvensional yang hadir melalui proses saintifik yang melakukan pengelolaan “rumah tangga” pribadi hingga negara.

Ekonomi Islam tidak seperti  ekonomi komunisme yang community centric (mengedepankan hingga menghilangkan hak individu) yang lahir menjadi alternatif atas ekonomi kapitalisme yang individual centric (indivitu sebagai pusat ekonomi). Ekonomi Islam adalah ekonomi yang mengembangkan nilai-nilai abadi, perenial, yang telah ada sejak generasi pertama manusia dan akan terus ada hingga akhir zaman.

Namun fokus pembahasan saat ini akan menitikberatkan pada perbandingan ekonomi Islam dengan ekonomi kapitalisme yang saat ini mendunia dan menjajah.

Ekonomi Islam lahir dan berkembang adalah untuk mengembalikan ekonomi yang telah berkembang sejak adanya manusia, yakni ekonomi sejak Nabi Adam yang diteruskan hingga Nabi Muhmmad. Ekonomi yang berbasis pada tauhid dan aturan Islam. Ekonomi yang menghargai secara adil hak individual namun juga mengedepankan hak komuntas.

Islam bermakna menyerahkan diri kepada Allah SWT, dalam segala aspek, termasuk ekonomi. Namun, faktanya kini secara dominan gambaran gambaran ini berubah dan dunia ekonomi dikuasai oleh ekonomi konvensional yang berserberangan dengan Islam secara paradigmatik sejak lahirnya era modern yang positivistik.

Masalahnya Ekonomi Islam

Paradigma ekonomi konvensional mengajarkan apa yang menjadi akar persoalan ekonomi adalah sebuah kondisi dimana sumber daya yang dimiliki manusia terbatas sedangkan kebutuhan dan keinginan tidak terbatas, yang memunculkan kondisi yang disebut dengan kelangkaan (scarcity).

Kelangkaan merupakan masalah inti atau masalah dasar ekonomi. Kelangkaan adalah suatu keadaan dimana sumber daya barang atau jasa tidak tersedia dalam jumlah yang cukup untuk memenuhi keinginan semua orang tanpa pengorbanan (dalam bahasa yang lebih mudah: “tanpa perlu membayar” atau at zero price).

Ilustrasi antikapitalisme (foto:ist)

Efek yang terjadi adalah persaingan. Bahwa untuk memenuhi kebutuhan manusia itu maka manusia harus bersaing memperebutkan atas sumber daya yang langka itu. Terjadilah eksploitasi, alienasi, hingga manipulasi manusia atas manusia yang lain. Manusia pun menjadi serigala bagi manusia yang lain (homo homini lupus). Yang kuat mengalahkan yang lemah. Yang berkembang kemudian adalah self interest atau mementingkan diri sendiri, mengabaikan orang lain demi keuntungan pribadi.

Tentu ini berseberangan dengan prinsip Islam yang mengajarkan bahwa sumber daya ciptaan Allah itu tak terbatas. Bahwa Allah menciptakan alam semesta untuk memenuhi kebutuhan manusia. Allah berfirman dalam Al Quran Surat Al Baqarah: 29, “Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu dan Dia berkehendak (menciptakan) langit, lalu dijadikan-Nya tujuh langit dan Dia Maha mengetahui segala sesuatu.”

Sumber daya itu terhampar luas di bawah bumi, permukaan bumi, di udara, dan di langit. Sehingga secara ekonomi ini bukanlah permasalalahan sebenarnya. Semua tersedia untuk manusia, tinggal manusianya yang mengelola dan mendistribusikannya secara adil merata kepada setiap manusia. Dan hingga kini sumber daya tersebut belum pernah secara maksimal dikeola, belum lagi energy matahari, angin, dan sejenisnya.

Pengelolaan yang benar dari produksi, konsumi, dengan distribusi yang adil ini menjadi isu utama dalam ekonomi Islam. Namun Allah mengingatkan bahwa permasalahan yang dialami manusia adalah karena ia tidak bersyukur atas nikmat karunia Allah yang melimpah.

Allah berfirman dalam Al Quran Surat Al-A’raf: 10,” Sesungguhnya Kami telah menempatkan kamu sekalian di muka bumi dan Kami adakan bagimu di muka bumi (sumber) penghidupan. Amat sedikitlah kamu bersyukur.” Dianjutkan ayat ke-17, “Sesungguhnya Allah benar-benar mempunyal karunia yang dilimpahkan atas manusia, akan tetapi kebanyakan manusia tidak bersyukur.”

Ilustrasi: Kerusakan di bumi dan laut adalah karena ulah perbuatan tangan-tangan manusia (foto:ist)

Selain tidak bersyukur, manusia juga bahkan merusak alam semesta. Allah berifirman dalam Al Quran Surat Rum: 41, “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia; Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).”

Bersyukur inilah yang menjadikan perbedaan antara ekonomi kapitalisme dan ekonomi Islam. Dan yang menjadi problem dalam ekonomi Islam bukanlah kelangkaan sumber daya, karena alam semesta begitu melimpah ruah, tetapi problem ketidakbersyukuran manusia atas karunia Allah. Ditambah lagi kerusakan yang dibuat oleh manusia sehingga memunculkan pemanasan global, kerusakan alam laut, udara dan berbagai polusi di daratan. Yang terjadi berikutnya ketidakmerataan ekonomi karena orang enggan berbagi.

Dan Allah berfriman dalam Al Quran Surat Luqman: 12. “…Barang siapa yang bersyukur kepada Allah maka sesungguhnya ia bersyukur untuk dirinya sendiri, dan barang siapa yang tidak bersyukur maka Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji.”

Karenanya nikmat Allah yang dikaruniakan kepada manusia jika disyukuri, yakni memanfaatkannya dengan benar, maka itu akan kembali kepada manusia berupa kenyamanan hidup di dunia. Dengan bersyukur maka berbagai sumberdaya itu dapat diubah menjadi kemanfaatan, kemaslahatan yang merata tidak hanya bagi individu maupun komunitas/sosial.

Allah berfirman dalam Al Quran Surat Ibrahim:7, “Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan; “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.”

Karena itu ekonomi Islam lebih lebih mengedepankan problem bersyukur di antara manusia. Dengan demikian akan mewujud masyarakat yang semakin meningkat kesejahteraannya. Ketika manusia tidak bersyukur maka yang akan kembali kepada manusia adalah bencana atau adzab dari Allah.

Memang, yang diperlukan pada pengembangan ekonomi Islam di era modern ini adalah metode bersyukur yang tidak hanya dalam hati dan lisan, tapi pada perbuatan. (Dr. Kumara Adji Kusuma, penulis adalah dosen pada Universitas Muhammadiyah Sidoarjo dan pengurus Majelis Sarjana Ekonomi Islam (MASEI))

BACA LAINNYA

Syukur

Kempalan News
0
0
0
0

TNI dan Komunisme

Kempalan News
0

Gatot Nurmantyo dan KGB

Kempalan News
0

Tantangan Kesaudagaran

Kempalan News
0

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *