Banjir Jakarta, Kompor Meleduk, dan Antre Air di Texas
Jakarta kebanjiran, di Bogor angin ngamuk Rumeh ane kebakaran gare-gare kompor mleduk
Ane jadi gemeteran, wara-wiri keserimpet
Rumah ane kebanjiran gara-gara got mampet
Banjir Jakarta lucu kalau digambarkan oleh Almarhum Benyamin Sueb. Rumahnya terendam banjir dan terbakar gegara kompor meledak, ia lari kebingungan kesana-kemari sampai kesrimpet dan jatuh terduduk.
Penggemar dan penikmat lagu-lagu dan lenong Betawi ala Bang Ben tertawa, terhibur oleh kelucuan tingkah Bang Ben. Tingkah itu mencerminkan resilience, kekokohan mental, dan wisdom, kearifan, dalam menghadapi bencana stadium tiga yang diterima secara simultan. Sudah kebanjiran, rumah terbakar, masih tertimpa kecelakaan pribadi jatuh nyungsep karena panik.
Lagu “Kompor Meleduk” itu diciptakan dan dinyanyikan sendiri oleh Benyamin pada 1974 dan menjadi hit dan ikon sepanjang zaman. Bahkan perusahaan multinasional Google September tahun lalu menjadikan Benyamin dan ondel-ondel, kesenian khas Betawi, sebagai doodle, gambar ikon pada laman search engine, bertepatan dengan banjir besar yang mengepung Jakarta akibat hujan. Wajah Ben yang kocak dan tampilan ondel-ondel yang cerah menjadi hiburan yang meringankan derita warga ibukota.
Kemampuan untuk melakukan self-defense, pertahanan mandiri dari masyarakat membuat mereka bisa bertahan dari gempuran berbagai bencana. Rakyat menunjukkan kearifan dan kekuatan mentalnya dengan tertawa di tengah derita. Mampu menertawakan diri sendiri menjadi salah satu indikator kematangan jiwa.
Hampir setengah abad lagu Kompor Meleduk masih terasa relevan dengan situasi sekarang. Banjir tetap menjadi problem akut ibukota dan masih ditambah lagi dengan problem sosial baru akibat pandemi dan problem-problem susulan seperti resesi ekonomi. Derita warga menjadi seperti three in one, tiga sekaligus dalam sehari.
Itulah kondisi aktual sekarang. Sudah kena pandemi, kena PHK gegara banyak perusahaan bangkrut, masih ketambahan banjir lagi. Benyamin dengan sederhana mengingatkan bahwa banjir disebabkan oleh got mampet, keteledoran masyarakat dalam mengelola lingkungan. Benyamin juga sudah mengingatkan bahwa bersmaan dengan banjir Jakarta ada angin ribut di Bogor yang membuat kondisi lingkungan makin buruk.
Banjir Jakarta bukan fenomena setahun dua tahun. Ia hidup dalam psyiche masyarakat selama puluhan tahun dan menjadi kenangan kolektif bersama. Kompor Meleduk menggambarkannya dengan dengan jelas dan sederhana. Dari dulu bencana tidak pernah datang sendirian, selalu ada bencana lain yang mengiringi. Dari dulu orang selalu ribut tiap kali ada banjir.
Benyamin sudah mengingatkan, daripada ribut saling menyalahkan lebih baik turun tangan menyelesaikan masalah bersama-sama. “Ayo-ayo bersihin got,
Jangan takut badan blepot
Coba tenang jangan ribut
Jangan pade kalang kabut.”
Banjir Jakarta bagian dari problem lingkungan di Indonesia dan di seluruh dunia. Semua wilayah Jawa terendam banjir, bukan hanya Jakarta. Badan Metereologi sudah mengingatkan terjadinya anomali cuaca akibat fenomena internasional climate change, perubahan cuaca, di seluruh dunia.
Anomali cuaca menjadi bencana di seluruh penjuru dunia. Di Amerika musim dingin ini menjadi musim ekstrem sampai membuat pipa air dan gas membeku sehingga terjadi krisis air dan energi. Wilayah Texas yang dikenal sebagai daerah bercuaca panas sekarang mengalami kebekuan ekstrem.
Akhir pekan lalu sebuah kompleks apartemen di San Antonio, Texas terbakar gegara ledakan pipa gas. Petugas pemadam kebakaran tidak bisa berbuat apa-apa karena hidran air membeku. Api membakar habis seluruh kompleks apartemen meskipun petugas sudah membawa air manual menyemprotkannya secara darurat. Ratusan orang menjadi pengungsi.
Sungguh pemandangan yang membuat iba tapi juga membuat senyum. Kalau saja Benyamin melihat kejadian di Texas mungkin dia akan bikin lagu Texas Meleduk, kebakaran bukan karena kompor meleduk, tapi karena pipa gas yang meleduk. Krisis air dan enerji meluas di hampir seluruh Amerika di wilayah barat sampai timur dan pantai utara sampai ke selatan.
Orang harus mengantre untuk mendapatkan air bersih. Ada yang membawa galon ada yang membawa jirigen. Pemandangan seperti itu biasanya kita saksikan di daerah-daerah terpencil di Indonesia yang mengalami kesulitan air saat musim kering. Tapi, kali ini terjadi di Amerika, aneh tapi nyata, orang Amerika antre air karena krisis air bersih
Bukan hanya air minum, air untuk mandi pun harus antre. Malah ada yang antre dan buru-buru balik ke rumahnya untuk menyiram toilet. Orang Amerika cebok pakai kertas, tapi WC tetap harus disiram pakai air.
Anomali cuaca yang tak kalah aneh terjadi di hampir semua wilayah Timur Tengah. Akhir pekan lalu sebuah video viral menggambarkan hujan salju yang mengguyur Masjid al Aqsa di Jerusalem. Banyak netizen yang gembira dan menganggapnya sebagai berkah. Mungkin saja ada hikmah di balik semua kejadian, termasuk salju “salah mongso” di Jerusalem itu. Tapi dari perspektif lingkungan, hujan salju itu bencana bukan berkah.
Wilayah-wilayah di Iraq, Suriah, Turki, Palestina, Jordania, dan banyak wilayah Timur Tengah lain terkena cuaca dingin ekstrem sampai membeku dan membawa salju dimana-mana. Anak-anak muda bergembira mengambil video dan berswafoto lalu mengunggahnya ke media sosial. Kapan lagi bisa ke Eropa menikmati salju, begitu pikir mereka.
Tapi, sebagaimana tsunami yang ditandai dengan surutnya air di pantai, bencana besar sedang mengintai dan tak lama lagi akan menghantam lebih dahsyat dari tsunami.
Bill Gates, pendiri Microsoft, selalu mengingatkan hal itu. Prahara besar yang akan dihadapi dunia setelah pandemi Covid 19 adalah prahara lingkungan. Sama dengan Covid 19 yang menjadi pagebluk global, bencana lingkungan juga akan menjadi bencana global. Banjir Jakarta, krisis air di Texas, dan hujan salju di Jerusalem itu buktinya.
Bill Gates berteriak dimana-mana mengingatkan bahaya lingkungan. Padahal semestinya ia tak perlu berteriak, ia cukup berbisik saja, karena penjahat lingkungan paling kejam adalah Amerika Serikat sendiri.
Sampai sekarang Amerika menjadi penyumbang terbesar global warming pemanasan dunia karena konsumsi enerjinya yang luar biasa boros. Para pemimpin dunia sudah sepakat untuk menandatangani Protokol Kyoto yang mengatur pengurangan pemakaian enerji untuk mengurangi emisi udara yang menyebabkan bolongnya ozon di langit yang menyebabkan pemanasan global. Amerika sampai sekarang tidak mau menandatangani protokol itu.
Siapapun presidennya, Amerika tetap palsu-palsu dalam mengatasi global warming. Donald Trump dianggap koboi yang membatalkan perjanjian global warming dengan Eropa dan enggan meneken Protokol Kyoto. Coba lihat nanti, Joe Biden pasti sama saja, dia hanya main retorika dan basa-basi. Orang Amerika tidak peduli lingkungan, karena itu seorang calon presiden yang sangat peduli lingkungan seperti Al Gore dibatalkan kemenangannya oleh Mahkamah Konstitusi Amerika pada pemilu 2000. Amerika lebih senang kepada George W. Bush saudagar minyak kaya raya dan perusak lingkungan untuk menjadi presiden, daripada Al Gore yang intelektual dan pecinta lingkungan.
Urusan banjir di Jakarta bukan hanya masalah lokal Jakarta. Hanya orang-orang bahlul otak kosong saja yang menganggap banjir Jakarta ini masalah lokal. Berhentilah bertindak bodoh dan membodohi rakyat. Banjir Jakarta ini dampak serangkai dari seluruh masalah lingkungan di seantero Indonesia dan bersambung dengan problem climate change, perubahan cuaca yang mengakibatkan global warming, pemanasan global di seluruh dunia.
Daripada ngomong tidak karuan dan caci sana maki sini, mending dengarkan dan ikuti perintah Bang Ben, “Ayo-ayo bersihin got. Jangan takut badan blepot. Coba tenang jangan ribut
Jangan pade kalang kabut. (*)
