Politik Pura-Pura

waktu baca 3 menit
Ilustrasi politik pura pura (*)

KEMPALAN : Di negeri yang katanya menjunjung tinggi demokrasi, kini tumbuh satu kebiasaan baru yang kian mengakar yakni politik pura-pura. Para politisi tampak bersahabat di depan kamera, namun saling menikam di ruang rapat tertutup.

Inilah wajah kekuasaan yang makin lihai memainkan dua peran: senyum di podium, pengkhianatan di balik layar.

Fenomena ini bukan lagi sekadar gosip politik, tapi bagian dari struktur kekuasaan yang sistemik.

Di panggung yang disebut demokrasi, setiap aktor berlomba menjadi paling santun di depan publik sambil memastikan musuhnya tersandung di belakang.
Politik berubah dari ajang gagasan menjadi arena transaksi.

Suara rakyat dilelang, kepercayaan publik digadaikan, dan integritas diperdagangkan dengan harga kursi kekuasaan.
Rakyat hanya dijadikan latar belakang.

Mereka hadir saat kampanye, diundang untuk bertepuk tangan, lalu dilupakan begitu tinta di jari mengering. Janji ditebar seperti benih harapan, padahal yang tumbuh hanyalah pohon kepentingan.

Setiap lima tahun, wajah di baliho berganti, tapi naskahnya tetap sama: demokrasi dijadikan panggung pencitraan, bukan perjuangan.

Sistem Kliptokrasi — kekuasaan yang dijalankan oleh para pencuri halus dengan wajah sopan — melahirkan politik frenemy, atau “persahabatan semu”.

Dalam sistem semacam ini, berpura-pura bukanlah aib, melainkan strategi bertahan hidup. Kejujuran dianggap kelemahan, sementara kemunafikan dinilai kecerdikan.

Para politisi pandai memainkan topeng moralitas, bicara integritas di siang hari, dan berpesta kuasa di malam hari.

Pemikir politik Jerman, Hannah Arendt, pernah menulis bahwa “kejahatan terbesar tidak lahir dari niat jahat yang radikal, melainkan dari kepatuhan yang dangkal terhadap sistem yang rusak.”

Dalam konteks ini, ucapan Arendt menemukan relevansinya. Banyak politisi di negeri Kliptokrat tidak lahir sebagai penjahat, tapi tumbuh dalam sistem yang menormalisasi kebohongan.

Mereka menyesuaikan diri agar tetap bertahan, meski harus mengorbankan nurani. Akibatnya, politik kehilangan arah moralnya.

Demokrasi menjelma menjadi teater oligarki, di mana rakyat hanya menjadi penonton setia drama kekuasaan.

Pemilu tak lagi menjadi ajang kedaulatan rakyat, melainkan ritual legitimasi bagi segelintir elite.

Para politisi tampil bak aktor profesional, pandai memanipulasi citra, dan memoles retorika agar tampak visioner.

Tapi di balik layar, mereka menghitung untung rugi, membagi proyek, dan menyusun peta kekuasaan yang sama sekali tak berhubungan dengan kepentingan publik.

Masyarakat perlahan jenuh. Mereka tahu ada yang salah, tapi kebohongan sudah terlalu canggih untuk dibongkar.

Maka lahirlah apatisme — penyakit baru dalam demokrasi. Ketika rakyat berhenti percaya, sistem pun kehilangan pengawalnya.

Politik yang seharusnya menjadi alat perjuangan rakyat, berubah menjadi ladang pembenaran diri bagi para pemangku kepentingan.

Namun, sejarah selalu memiliki cara untuk membalas. Setiap pengkhianatan meninggalkan jejak, setiap kebohongan menyimpan konsekuensi.

Waktu adalah hakim yang paling sabar. Ia mencatat siapa yang berjuang dengan idealisme, dan siapa yang sekadar berlakon demi posisi.

Di balik diamnya rakyat, selalu ada kesadaran yang tumbuh — bahwa kekuasaan tanpa kejujuran hanyalah sandiwara yang menunggu akhir.

Negeri ini masih bisa diselamatkan, tapi hanya jika ada keberanian untuk menanggalkan budaya berpura-pura.

Demokrasi sejati tidak tumbuh di tanah kemunafikan. Ia memerlukan kejujuran sebagai fondasi, transparansi sebagai napas, dan tanggung jawab sebagai arah.

Tanpa itu, kita hanya akan terus mengulang siklus yang sama: memilih aktor baru dalam naskah lama.

Politik pura-pura adalah refleksi dari krisis moral kolektif bangsa. Ia mengajarkan bahwa kebohongan bisa dibungkus dengan senyum, dan kerakusan bisa disamarkan dengan pidato kebangsaan.

Namun sebagaimana diingatkan Arendt, “kebenaran memiliki kekuatan keras kepala — ia mungkin tertindas, tapi tak bisa dimusnahkan.”

Kebenaran selalu menemukan jalannya, meski tertutup oleh propaganda dan pencitraan.

Suatu saat nanti, ketika panggung Kliptokrat itu runtuh dan lampu kamera padam, topeng-topeng akan jatuh satu per satu.

Saat itulah sejarah menulis dengan tinta jujur: siapa yang berjuang dengan nurani, dan siapa yang hanya berdagang dengan kebohongan.

Demokrasi sejati bukan tentang siapa yang pandai bersandiwara, tapi siapa yang berani jujur di tengah sistem yang menuntut untuk berpura-pura.

Oleh: Bambang Eko Mei
                        

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *