Mencari Indonesia di Tengah Sibuknya Dunia
KEMPALAN: Saya bertemu Pak Yudi minggu lalu. Umurnya 48 tahun, seorang guru PPKn di Jakarta. Tangannya sedang membersihkan bendera merah putih yang akan ia kibarkan untuk perayaan 17 Agustus. “Kalau bukan kita yang rawat Indonesia, siapa lagi?” katanya sambil tersenyum.
Saya terdiam. Pertanyaan itu sederhana, tapi menjawabnya butuh keberanian. Bukan karena kita tidak cinta Indonesia, tapi karena kita terkadang terlalu sibuk untuk membuktikannya saja.
Hari ini kita hidup di zaman yang serba cepat. TikTok lebih cepat menyebar informasi daripada ajakan untuk gotong royong. Anak muda lebih hafal nama idol K-Pop daripada nama pahlawan. Namun, apakah itu salah mereka, rasanya tidak.
Masalahnya bukan kurangnya pengetahuan, tapi kurangnya makna. Kita kehilangan cara untuk membuat Pancasila terasa relevan. Pendidikan kita hanya memaksa siswa untuk menghafal, padahal yang terpenting adalah membuat mereka merasa memiliki.
Tantangan kita hari ini bukan penjajah yang datang dengan senapan. Namun, tantangan yang lebih senyap: individualisme dan apatisme. Kita harus bisa membumikan wawasan kebangsaan sebagai bagian dari hidup sehari-hari. Bukan hanya sebagai kewajiban formal, tapi sebagai kesadaran dan kebiasaan.
Saya pernah melihat anak muda di Surabaya yang menginisiasi perpustakaan jalanan. Di Malang juga ada kelompok pemuda yang mengajari anak-anak secara sukarela. Itu semua aksi bela negara. Tanpa baju loreng. Tanpa perlu pelatihan militer.
Kita pun bisa melakukannya, aksi bela negara dapat bermula dengan hal sederhana. Aksi bela negara bukan hanya datang ketika terjadi perang. Ia adalah bentuk keputusan harian. Keputusan kita memilih untuk jujur, untuk adil, dan untuk tidak diam saat ketidakadilan terjadi.
Termasuk sebagai ASN, bela negara juga merupakan sebuah kewajiban. ASN Adalah wajah negara. Ia adalah garda depan pemerintahan. Ia adalah contoh paling nyata dari hadir atau tidaknya negara dalam hidup rakyat.
Sayangnya, di banyak tempat, ASN masih dipersepsikan sebagai pegawai yang datang pukul delapan dan pulang pukul empat. Mereka lebih sibuk dengan urusan absen ketimbang urusan warga.
Padahal, peran ASN dalam penerapan nilai-nilai wawasan kebangsaan dan bela negara sangat strategis. ASN merupakan perpanjangan tangan negara yang langsung bersentuhan dengan masyarakat. Dari guru, perawat puskesmas, petugas kecamatan, hingga kepala dinas, semua adalah wajah Indonesia di mata rakyat. ASN harus banyak Mendengarkan keluhan Masyarakat. Dari mendengar akan tumbuh rasa peduli, dan dari rasa peduli akan lahir sikap membela.
Dalam menjalankan tugasnya, ASN seharusnya menunjukkan integritas yang tinggi, menjauhi korupsi, dan tidak bermain proyek. ASN juga harus menjaga netralitas politik, terutama saat pemilu, dengan tetap mengayomi semua warga tanpa membeda-bedakan.
Pelayanan yang diberikan pun harus prima, tanpa mempersulit masyarakat atau memperlambat proses hanya karena alasan birokrasi. Selain itu, ASN juga memiliki tanggung jawab moral untuk menjadi penggerak nilai-nilai kebangsaan di tengah masyarakat dengan menghidupkan kembali semangat gotong royong, keberagaman, toleransi, dan cinta tanah air.
Hal ini dapat ASN mulai dari hal sederhana. Seorang guru yang tidak hanya mengajar, tapi juga membentuk karakter muridnya. Seorang petugas kelurahan yang menyapa warga dengan senyum. Seorang camat yang turun langsung ke lapangan saat ada konflik.
Indonesia butuh ASN seperti itu. ASN yang bukan hanya bekerja demi gaji, tapi demi menjaga nyala api cinta tanah air. Karena kalau bukan kita, siapa lagi?
