Jalan Tasawuf KH. Syaiful Ulum Nawawi (10)

waktu baca 3 menit
(*)

KEMPALAN : Dimana Ka’bah ? Dimana Baitullah ? Dua pertanyaan ini pernah “membingungkan” saya. Oleh karenanya, pertanyaan ini mesti hati-hati saya jawab.

“Secara geografis ada di Makkah, Saudi Arabia…,” begitu saya jawab, yang lantas saya utarakan kepada KH. Syaiful Ulum Nawawi.

“Betul, kalau itu ditinjau dari sisi geografis, secara peta kewilayahan suatu negara,” ujar KH. Syaiful Ulum Nawawi, menanggapi tentang dua pertanyaan semacam singgungan (spiritualitas) itu.

Tapi secara ‘rasa’ Baitullah itu selayaknya ada di hati masing-masing pemeluk Islam, begitu setidaknya
narasi yang disampaikan KH. Syaiful Ulum Nawawi.

“Baitullah itu secara syariat di Mekkah, ya kan. Tapi secara hakikat Rumah Allah tu sebaiknya ada pada diri masing-masing pemeluk Islam. Karena itu, apa artinya Anda sembahyang menghadap ke Baitullah, tetapi hati masing-masing pemeluk tidak berada di Rumah Allah. Oleh sebab itu, rasa memiliki Allah SWT di hati masing-masing pemeluk Islam itu penting. Kita seringkali difatamorgana oleh sesuatu yang fisikal, sesuatu yang gebyar. Padahal kunci semua ketentraman jiwa itu pada hati masing-masing yang bening, jernih, menep.”

Oleh karenanya, lanjut KH. Syaiful Ulum Nawawi, kita sering melupakan esensi, substansi, hakikat.

Lantas disampaikan beliau,
manakala setiap kita berdoa menempatkan Tuhan pada setiap hati manusia, maka segala yang ruwet-ruwet itu diharapkan selesai.

Kata Pak Kyai, kadang-kadang orang beda persepsi itu karena ada “jurang” yang namanya kekurang-pengetahuan dan kekurangan-pahaman masing-masing.

Ada orang paham seperempat pengetahuan, tapi orang lain lagi tak paham yang dikuasai orang lain itu. Namun, di sisi yang lain ia paham seperempat pengetahuan yang lain lagi. Maka masing-masing kekurangan ini InsyaAllah bisa dipersatukan oleh ‘rasa’, bukan olah ‘logika’.

Dan ‘rasa’ adanya Tuhan di setiap hati manusia, akan menjadikan Baitullah manjing ing ati manungso dewe-dewe. Bukan di wilayah geografis.

Perbedaan yang bersifat tekstual, dari sudut pandang ‘rupa’ hanya bisa ditemukan, jika ‘rasa’ yang berbicara. Oleh sebab itu, masing-masing kekurangan di ranah tekstual jangan ditabrakkan, tapi bagaimana diusahakan untuk saling melengkapi satu sama lain. Begitu pandangan KH. Syaiful Ulum Nawawi.

Yang penting dari semua itu adalah iman seseorang bagaimana untuk terus berjalan di koridor Allah SWT.

Sejauh iman masih jadi panglima, maka segala sesuatu yang berkaitan dengan nafsu akan melemah.

Jadi, apakah untuk menjadikan dunia ini ayem tentrem mesti dibutuhkan banyak sufi?

KH. Syaiful Ulum Nawawi agak kaget mendengar pertanyaan saya ini.

“Oh tidak begitu.
Kalau lantas, muncul kata ‘mesti’, itu namanya memaksa. Dan itu bukan ranaf tasawuf. Seringkali saya sampaikan, domain tasawuf itu ‘rasa’. Kalau sudah memasuki wilayah ‘rasa’, ya maka memasuki wilayah ‘ihlas’. Kalau sudah masuk ke ‘ihlas’, kata ‘harus’ jauh-jauh ya diusahakan kita hindari.

Masiyo kabeh-kabeh kepingin apik, ojok kabeh didadekno apik. Iku dudu wilayah awake dewe. Wilayah manusia itu menyampaikan, bukan memastikan. Wilayah memastikan itu opo jare Sing Gawe Urip. Kewajiban manusia itu menyampaikan dan mengajak. Bukan memaksa. Begitu pernyataan beliau.

Kosa kata ‘memaksa’ itu bukan atmosfir tasawuf. Nuansa tasawuf itu : welas asih. (Amang Mawardi – Bersambung).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *