Surabaya Oh Surabaya

waktu baca 4 menit
patung suro boyo (*)

KEMPALAN: Wacana publik terkait dengan Proyek Strategis Nasional Surabaya Waterfront Land akhir2 ini perlu dicermati karena digiring seolah sama saja dengan PIK 2 atau Rempang, dan Surabaya adalah Kota Nelayan. Keberadaan komunitas nelayan di Pamurbaya secara prosentase kecil dan terus mengecil karena NTN yg makin jauh di bawah 100, tapi jelas tidak bisa diabaikan. Padahal Surabaya sejak era Majapahit adalah kota dagang, bukan kota nelayan. Hubungan antara pelabuhan Surabaya dan Trowulan pada masa Majapahit erat kaitannya dengan fungsi keduanya dalam mendukung aktivitas ekonomi, politik, dan perdagangan Kerajaan Majapahit.

Surabaya pada masa Majapahit dikenal sebagai salah satu pelabuhan penting yang menjadi pusat perdagangan internasional. Lokasinya yang strategis di muara Sungai Brantas memungkinkan Surabaya menjadi gerbang masuk bagi kapal dagang dari berbagai wilayah, seperti Asia Tenggara, India, dan Tiongkok. Sungai Brantas menjadi jalur transportasi utama yang menghubungkan Surabaya dengan Trowulan, ibu kota Majapahit. Barang-barang hasil perdagangan yang masuk melalui pelabuhan Surabaya diangkut melalui sungai ini ke Trowulan. Sebaliknya, hasil bumi, rempah2 dan kerajinan dari wilayah pedalaman dikirim ke Surabaya untuk diperdagangkan atau diekspor.

Trowulan sebagai pusat administrasi dan ekonomi mengatur distribusi hasil bumi seperti beras, rempah-rempah, dan produk lainnya ke Surabaya. Pelabuhan Surabaya kemudian menjadi titik ekspor untuk mengirimkan komoditas ini ke pasar internasional. Surabaya juga berfungsi sebagai pangkalan angkatan laut yang mendukung kekuatan Majapahit. Hubungan dengan Trowulan terjaga untuk mengatur strategi pertahanan, terutama dalam menghadapi ancaman dari kerajaan lain atau bajak laut.

Pelabuhan Surabaya juga menjadi pintu masuk bagi budaya asing, termasuk Arab dan China, yang kemudian menyebar ke Trowulan. Hubungan ini menciptakan integrasi budaya dan informasi, yang memperkaya kebudayaan Majapahit. Kawasan Ampel dan Kembang Jepun merupakan bukti sejarah interaksi budaya Arab-China di Surabaya. Pelabuhan Surabaya memiliki peran vital dalam mendukung keberlanjutan Majapahit sebagai kerajaan maritim. Hubungannya dengan Trowulan memastikan kelancaran aktivitas perdagangan, distribusi logistik, dan pertahanan yang menjadi pilar kejayaan Majapahit.

Dokumen2 perencanaan pembangunan Kota Surabaya maupun Propinsi Jawa Timur selama 2 dekade terakhir menempatkan Surabaya Metropolitan sebagai Kota Indarmadi, yaitu kota industri, perdagangan, maritim, dan pendidikan. Kemudian berkembang konsep kawasan aglomerasi Gerbang Kertosusila yang mencakup Gersik, Bangkalan, Mojokerto, Pasuruan, Sidoarjo, dan Lamongan. Jembatan Suramadu semula dimaksudkan untuk melimpahkan pertumbuhan ekonomi dari mainland Jawa Timur ke Madura, namun boleh dikatakan gagal. Hal ini sebagian karena keterbelakangan infrastruktur di Madura, birokrasi Pemkab. Bangkalan yg kurang profesional, dan sumberdaya manusia yang belum memenuhi harapan industri. Dibutuhkan waktu lama untuk mengubah tradisi agraris menjadi tradisi industrial.

Akibatnya, Surabaya justru mekar berkembang ke arah Barat yg semula merupakan catchment area untuk menampung hujan, namun kawasan ini kemudian dikonversi menjadi kawasan komersial dan pemukiman. Belakangan kawasan konservasi di Pamurbaya juga dikonversi menjadi kawasan komersial dan pemukiman dengan mereklamasi lahan2 tambak hasil tanah oloran akibat proses2 sedimentasi aliran sungai Wonokromo maupun Porong. Konversi kawasan2 konservasi ini tentu telah meningkatkan resiko banjir saat hujan dan pasang naik yang lazim disebut rob.

Berbeda dengan konversi lahan2 konservasi yang telah cukup lama terjadi selama ini, PSN SWL direncanakan mengurug bentang perairan menjadi 4 pulau seluas 1084 Ha. Ini tentu berpotensi mengusik kegiatan nelayan yg ada selama ini yg memang sudah menurun akibat sedimentasi di pesisir. Untuk memenuhi standard reklamasi yg diperlukan, PSN SWL dengan demikian jauh lebih mahal konstruksinya walaupun tanpa membebaskan lahan dan menggusur penduduk. Jarak gugusan pulau2 ini dari hutan mangrove terdekat sekitar 300m. Hutan mangrove di Pamurbaya ini telah menjadi aset lingkungan Kota Surabaya yg penting, sehingga kelestariannya perlu diperhatikan oleh pelaksana PSN SWL dengan memperhatikan pasokan nutrisi dari laut ke kawasan mangrove ini.

PSN SWL ini sebagai investasi akan menjadi kawasan baru yg perlu mengakomodasi perikanan, pariwisata bahari, logistik laut modern, pendidikan dan pelatihan, inovasi, kawasan komersial, dan kawasan administrasi dan pelayanan publik. Ini akan membuka peluang lapangan kerja selama konstruksi (diperkirakan paling tidak 5 tahun) dan operasinya kelak. Diharapkan peluang kerja ini dapat dimanfaatkan oleh masyarakat di sekitarnya. Ini tentu memerlukan upaya pendidikan dan pelatihan serta budaya yg baru yg cukup menantang bagi komunitas Pamurbaya saat ini.

PSN SWL dengan demikian akan merevitalisasi serta menguatkan identitas dan peran Surabaya sebagai kota maritim dan pusat logistik yang telah diembannya sejak lama. Revitalisasi ini tidak hanya penting bagi Surabaya sebagai pintu gerbang Kawasan Timur Indonesia, tapi juga strategis dalam upaya mencapai pertumbuhan yg berkualitas, sekaligus memeratakan pembangunan dengan menurunkan biaya logistik nasional.

Selamat Tahun Baru 2025 !

Daniel Mohammad Rosyid @Lab OR-DOE ITS

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *